Wednesday, October 30, 2013

Kenangan Akan Marore (Part 1)





Bulan Oktober hampir paripurna, Hampir kurang lebih satu tahun yang lalu saya shooting film documenter tentang pulau terluar nusantara di Pulau Marore. Pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga, Filipina bagian selatan. Bahkan jarak dan waktu jauh lebih dekat dengan Filipina di bandingkan dengan ke Sangir yang merupakan kota terdekat di bagian Negara Indonesia. Jangan Tanya lagi jarak dengan ibukota provinsi di Manado, butuh waktu lebig dari 2 hari untuk menempuhnya.

            Terkenang masih bagaimana masyarakat pulau tersebut menyambut kami dan terutama bagaimana mereka menyikapi kehidupan serba terbatas di daerah perbatasan. Sungguh segala rasa bercampur dalam hati, sedih, bangga sekaligus miris bercampur aduk mengganggu rasa dan pikiran saya hingga kini.

            Sebelum lebih jauh, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk kawan Bama dan Bp. Julius yang sudah memberi saya kesempatan untuk ikut serta dalam project ini. Sungguh menjadi salah satu pelajaran hidup yang tak terkira dan tak akan terlupakan.

             Hmmm….mulai dari mana enaknya saya mengomentari suasana kehidupan suasana masyarakat di Marore? Ok, saya mulai dari kehidupan para guru pendidik disana. Ini sebenarnya merupakan point terakhir dalam liputan film documenter saya, namun ini menjadi point paling membanggakan untuk saya. Bertemu dan berbicara langsung dengan orang-orang hebat.

            Ketika itu hanya tersisa dua orang guru sekolah dasar dengan yang dapat kami temui di sana. Lainnya sedang menjalani pelatihan peningkatan kompetensi di kota. Suasana akrab dalam perjumpaan perdana kami langsung rasakan. Segala cerita pun langsung mengalir tanpa kami minta. Nampak sekali mereka butuh kawan berkeluh kesah selama ini. Sungguh miris mendengar cerita bapak dan ibu ini.

            Mereka bukanlah orang asli Marore, mereka juga seperti halnya kami adalah pendatang. Mereka mulai bertugas di Marore sebagai tenaga pengajar honorer pada masa akhir tahun 80-an. Menurut mereka masa itu kondisi di Marore jauh lebih memprihatinkan dari sekarang. Gedung sekolah masih belum seperti sekarang. Gedung yang menempati bekas rawa itu selalu banjir jika laut pasang atau jika cuaca buruk berangin. Jika kondisi seperti itu mereka pasti langsung meliburkan seluruh anak didiknya. Rumah dinas pun masih belum berdinding bata seperti sekarang. Perlahan mereka berinovasi untuk memperbaiki keadaan sekolah dan kehidupan mereka. Dengan anggaran pendidikan yang sangat-sangat terbatas yang mereka terima, bersama dengan guru-guru lainnya mereka bergotong royong di bantu penduduk untuk memperbaiki sekolah. Bermodalkan dana yang hanya cukup untuk tiga ruang kelas, mereka akali bagaimana caranya cukup untuk memperbaiki sekaligus menambah ruang kelas yang sudah ada. Bahkan juga menambah ruangan untuk guru dan kepala sekolah. Dengan mengandalkan besi-besi pipa bekas tiang pelabuhan yang tenggelam, mereka membangun system pengairan yang akhirnya berhasil membebaskan sekolah mereka dari banjir sekaligus juga mambuat lapangan upacara dan lapangan voli. Dari sisa memperbaiki dan penambahan ruang kelas, mereka masih mampu untuk memperbaiki rumah dinas guru yang selama ini mereka tempati. 

            Di balik semangat mereka mendidik, ternyata tergurat kegundahan dalam kehidupan mereka. Dulu mulai dari awal mereka mengajar hingga akhir tahun 90-an. Bapak dan Ibu guru ini selalu terlambat menerima honor dan gaji mereka. Bahkan itu pun masih di potong pula dengan alas an untuk membayar transport mengantar gaji tersebut ke Marore. Belum lagi tunjangan sebagai guru di perbatasan yang selalu mereka tanda tangani hingga kini, namun juga belum pernah sekalipun mereka lihat dan rasakan. Belum lagi berbagai pelatihan kompetensi yang terkesan di berikan secara asal-asalan kepada mereka. Bagaimana tidak asal-asalan jika guru ips misalnya di berikan pelatihan kompetensi sebagai guru ipa. Sehingga akibatnya jarang sekali guru-guru di Marore mampu lulus dari pelatihan kompetensi

            Namun segala ke tidak adilan dan keterbatasan tidak membuat mereka menyerah. Hingga kini setelah 20 tahunan mereka mengajar, mereka tetap semangat mengajar anak-anak Marore. Bahkan salah satu anak didiknya, kini menjadi dokter di Manado. Sang dokter pun saat saya temui, tidak pernah melupakan jasa para guru itu akan keberhasilannya. Semangat juang para guru, membuat sang dokter bertekad dan berkeyakinan bahwa suatu hari nanti dia harus kembali dan membangun Marore. Ada jawaban dari Bapak dan Ibu guru yang mungkin tak akan terlupakan oleh saya, suatu jawaban yang sangat patriotic dan harusnya membuat para pejabat di Jakarta ini malu seharusnya. Ketika mendengar segala ketidak adilan dan keterbatasan yang di hadapi mereka, saya sempat bertanya, kenapa mereka masih tetap mau mengajar di Marore? toh mereka pendatang yang bias kapan saja sebenarnya meninggalkan Marore. Dan mereka menjawab “Jika kami pergi, siapa lagi yang mau di tempatkan di sini mas? Bahkan para polisi itu pun enggan untuk menetap disini. Anak-anak Marore itu anak Indonesia. Kami berkewajiban untuk mendidik mereka agar suatu hari nanti mereka mampu membangun bangsanya.”

            Bagai tersambar petir mendapatkan jawaban seperti itu. Betapa tidak, seringkali kita sebagai warga kota besar mengeluh ini dan itu. Sumpah serapah acap kali keluar dari mulut kita ketika mendapatkan sedikit saja masalah. Belum lagi para anak sekolah kota besar yang sering kali menyia-nyiakan kesempatan. Tapi semangat para guru di Marore sangat bertolak belakang dengan kita di kota besar ini. Mari kita mengaca bersama kawan-kawan, sudahkan kita membangun bangsa ini?

Kisah selanjutnya tentang kehidupan warga Marore akan saya tulis dalam tulisan-tulisan saya berikutnya. Tidak cukup rasanya satu dua lembar untuk mengisahkan kekaguman saya akan kehidupan di sana