Bulan
Oktober hampir paripurna, Hampir kurang lebih satu tahun yang lalu saya
shooting film documenter tentang pulau terluar nusantara di Pulau Marore. Pulau
terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga, Filipina bagian
selatan. Bahkan jarak dan waktu jauh lebih dekat dengan Filipina di bandingkan
dengan ke Sangir yang merupakan kota terdekat di bagian Negara Indonesia.
Jangan Tanya lagi jarak dengan ibukota provinsi di Manado, butuh waktu lebig
dari 2 hari untuk menempuhnya.
Terkenang masih bagaimana masyarakat
pulau tersebut menyambut kami dan terutama bagaimana mereka menyikapi kehidupan
serba terbatas di daerah perbatasan. Sungguh segala rasa bercampur dalam hati,
sedih, bangga sekaligus miris bercampur aduk mengganggu rasa dan pikiran saya
hingga kini.
Sebelum lebih jauh, saya ingin
mengucapkan banyak terima kasih untuk kawan Bama dan Bp. Julius yang sudah
memberi saya kesempatan untuk ikut serta dalam project ini. Sungguh menjadi
salah satu pelajaran hidup yang tak terkira dan tak akan terlupakan.
Hmmm….mulai dari mana enaknya saya
mengomentari suasana kehidupan suasana masyarakat di Marore? Ok, saya mulai
dari kehidupan para guru pendidik disana. Ini sebenarnya merupakan point
terakhir dalam liputan film documenter saya, namun ini menjadi point paling
membanggakan untuk saya. Bertemu dan berbicara langsung dengan orang-orang
hebat.
Ketika itu hanya tersisa dua orang
guru sekolah dasar dengan yang dapat kami temui di sana. Lainnya sedang
menjalani pelatihan peningkatan kompetensi di kota. Suasana akrab dalam
perjumpaan perdana kami langsung rasakan. Segala cerita pun langsung mengalir
tanpa kami minta. Nampak sekali mereka butuh kawan berkeluh kesah selama ini.
Sungguh miris mendengar cerita bapak dan ibu ini.
Mereka bukanlah orang asli Marore,
mereka juga seperti halnya kami adalah pendatang. Mereka mulai bertugas di
Marore sebagai tenaga pengajar honorer pada masa akhir tahun 80-an. Menurut
mereka masa itu kondisi di Marore jauh lebih memprihatinkan dari sekarang.
Gedung sekolah masih belum seperti sekarang. Gedung yang menempati bekas rawa
itu selalu banjir jika laut pasang atau jika cuaca buruk berangin. Jika kondisi
seperti itu mereka pasti langsung meliburkan seluruh anak didiknya. Rumah dinas
pun masih belum berdinding bata seperti sekarang. Perlahan mereka berinovasi
untuk memperbaiki keadaan sekolah dan kehidupan mereka. Dengan anggaran
pendidikan yang sangat-sangat terbatas yang mereka terima, bersama dengan
guru-guru lainnya mereka bergotong royong di bantu penduduk untuk memperbaiki
sekolah. Bermodalkan dana yang hanya cukup untuk tiga ruang kelas, mereka akali
bagaimana caranya cukup untuk memperbaiki sekaligus menambah ruang kelas yang
sudah ada. Bahkan juga menambah ruangan untuk guru dan kepala sekolah. Dengan
mengandalkan besi-besi pipa bekas tiang pelabuhan yang tenggelam, mereka
membangun system pengairan yang akhirnya berhasil membebaskan sekolah mereka
dari banjir sekaligus juga mambuat lapangan upacara dan lapangan voli. Dari
sisa memperbaiki dan penambahan ruang kelas, mereka masih mampu untuk
memperbaiki rumah dinas guru yang selama ini mereka tempati.
Di balik semangat mereka mendidik,
ternyata tergurat kegundahan dalam kehidupan mereka. Dulu mulai dari awal
mereka mengajar hingga akhir tahun 90-an. Bapak dan Ibu guru ini selalu
terlambat menerima honor dan gaji mereka. Bahkan itu pun masih di potong pula
dengan alas an untuk membayar transport mengantar gaji tersebut ke Marore.
Belum lagi tunjangan sebagai guru di perbatasan yang selalu mereka tanda
tangani hingga kini, namun juga belum pernah sekalipun mereka lihat dan
rasakan. Belum lagi berbagai pelatihan kompetensi yang terkesan di berikan
secara asal-asalan kepada mereka. Bagaimana tidak asal-asalan jika guru ips
misalnya di berikan pelatihan kompetensi sebagai guru ipa. Sehingga akibatnya
jarang sekali guru-guru di Marore mampu lulus dari pelatihan kompetensi
Namun segala ke tidak adilan dan
keterbatasan tidak membuat mereka menyerah. Hingga kini setelah 20 tahunan
mereka mengajar, mereka tetap semangat mengajar anak-anak Marore. Bahkan salah
satu anak didiknya, kini menjadi dokter di Manado. Sang dokter pun saat saya
temui, tidak pernah melupakan jasa para guru itu akan keberhasilannya. Semangat
juang para guru, membuat sang dokter bertekad dan berkeyakinan bahwa suatu hari
nanti dia harus kembali dan membangun Marore. Ada jawaban dari Bapak dan Ibu
guru yang mungkin tak akan terlupakan oleh saya, suatu jawaban yang sangat
patriotic dan harusnya membuat para pejabat di Jakarta ini malu seharusnya.
Ketika mendengar segala ketidak adilan dan keterbatasan yang di hadapi mereka,
saya sempat bertanya, kenapa mereka masih tetap mau mengajar di Marore? toh
mereka pendatang yang bias kapan saja sebenarnya meninggalkan Marore. Dan
mereka menjawab “Jika kami pergi, siapa lagi yang mau di tempatkan di sini mas?
Bahkan para polisi itu pun enggan untuk menetap disini. Anak-anak Marore itu
anak Indonesia. Kami berkewajiban untuk mendidik mereka agar suatu hari nanti
mereka mampu membangun bangsanya.”
Bagai tersambar petir mendapatkan
jawaban seperti itu. Betapa tidak, seringkali kita sebagai warga kota besar
mengeluh ini dan itu. Sumpah serapah acap kali keluar dari mulut kita ketika
mendapatkan sedikit saja masalah. Belum lagi para anak sekolah kota besar yang
sering kali menyia-nyiakan kesempatan. Tapi semangat para guru di Marore sangat
bertolak belakang dengan kita di kota besar ini. Mari kita mengaca bersama
kawan-kawan, sudahkan kita membangun bangsa ini?
Kisah
selanjutnya tentang kehidupan warga Marore akan saya tulis dalam
tulisan-tulisan saya berikutnya. Tidak cukup rasanya satu dua lembar untuk
mengisahkan kekaguman saya akan kehidupan di sana
No comments:
Post a Comment