Wednesday, November 20, 2013

Menggapai Low Peak di Negeri Jiran

Setelah menempuh penerbangan Jakarta-Kota Kinabalu (KK), menginap semalam di Kota Kinabalu dan menginap semalam di Kinabalu Park. Pendakian saya, Dedi Bokep, Budi dan Latief Betok di Gunung Kinabalu pun dimulai pagi itu, 11 November 2013. Kami memulai pendakian jam 08.30 pagi melalui Timpohon Gate.

Kami di dampingi guide bernama Francis berusia 33 tahun. Dia berasal dari etnis Dusun, suku asli Kinabalu. Dusun adalah suku terbesar di Kinabalu. Memasuki hutan Gunung Kinabalu, persis sama dengan hutan di taman nasional Gede Pangrango. Bentuk trek yang tertata bertangga dengan tumpukan batu tertata rapi mengingatkan kita dengan jalur pendakian Cibodas di gunung Gede. Kecuramannya juga mengingatkan kita dengan jalur gunung Putri di Cipanas. Hampir setiap kilometer di sediakan pos peristirahatan yang semuanya di lengkapi dengan kamar kecil dan perlengkapan rescue. Sekitar jam 12-an siang itu, kami sampai di pos Layang-layang. Sesuai target untuk makan siang. Hujan pun mulai menyambut kami di pos ini. Di bulan November ini memang merupakan awal memasuki musim hujan. Di sini juga lah kami bertemu dengan teman-teman dari Indonesia lainnya yang sedang turun dari puncak. Seru juga ketemu teman-teman di gunung dan di luar negeri pula, yang justru di Indonesia sendiri kita jarang bisa ketemu.

Selepas makan siang, hujan tidak juga reda. jam sudah menunjukkan pukul 1 siang waktu setempat. Fransis menganjurkan kami untuk menembus hujan melanjutkan perjalanan. Karena sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Jalan semakin menanjak, terasa semakin berat dari jalan yang sudah kami tempuh sebelumnya. Apalagi di tambah dengan hujan deras bercampur angin membuat kaki hanya sanggup melangkap satu demi satu. Udara pun terasa sesak karena angina yang kencang mendera. Ritme jalan kami pun akhirnya terpecah. Tidak bisa lagi mempertahankan jalan bersamaan. Saya dan dedy di depan, disusul dengan Budi dan Latief di dampingi Francis. Jaraknya cukup jauh. Saya akhirnya tiba di Laban Rata Resthouse yang merupakan target perjalanan hari itu sekitar jam 3 sore. Disusul oleh Dedy dan Latief setengah jam kemudian. Budi terakhir tiba sekitar jam setengah 5. Makanan dan minuman hangat berupa teh dan kopi sudah siap kami santap di Laban Rata. Rasa lapar dan lelah sepanjang perjalanan terbayar lunas begitu cuaca mendadak cerah jam 5 sore itu di Laban Rata. Pemandangan begitu indah, makanan nikmat dan tempat tidur hangat dengan selimut akan menemani kami selama bermalam di sana. Francis sempat datang ke meja makan kami sebelum dia meninggalkan kita sore itu. Dia menyampaikan berita kurang menyenangkan berkaitan dengan cuaca buruk. Jika besok pagi cuaca masih seperti sekarang, hujan dengan angin kencang, maka dengan berat hati pendakian ke puncak akan tertutup bagi seluruh pendaki. Wah semoga saja cuaca cerah sore itu merupakan pertanda bagus bahwa cuaca besok harinya akan mendukung kami semua menuju puncak.

Jam 2 pagi makanan pun siap. Di temani dengan pusing kepala yang menimpa Dedy dan Latief. Kami semua memaksakan makan dini hari itu. Kami butuh tenaga untuk pendakian pagi ini. Jarak ke puncak sudah tidak jauh memang, tapi saya yakin akan lebih berat dari hari sebelumnya. Jam 02.30 kami mulai pendakian dari Laban Rata menuju puncak. Di depan kami sudah lebih dulu beberapa rombongan dari Inggris, Amerika dan Jerman, juga ada rombongan besar dari Singapore sebanyak 41 orang. Sementara di belakang kami ada rombongan dari Sabah dan Kuala Lumpur. Perjalan pendakian terasa sangat lambat pagi itu. Di temani dengan sorot lampu dari headlamp masing-masing pendaki, udara dingin pun terasa menembus pakaian hangat yang saya pakai. Perlahan saya mulai menyusul rombongan Singapore yang berjalan sangat lambat. Dedy dan Latief memutuskan untuk memperlambat jalan mereka untuk mengurangi efek sakit kepala yang mereka rasakan dari semalam.

Pukul 04.30 saya sampai di pos check point terakhir, Sayat-Sayat check point. Disini sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, kami regrouping. Budi menjadi yang terakhir sampai di pukul 05.00. Menurut Francis, kami harus mempercepat jalan kami menuju puncak setelah ini. Dia mengkuatirkan cuaca buruk yang mungkin setiap saat datang selepas matahari terbit. Dia kasih kami target waktu. Jam 07.30 sampai di titik manapun kami harus turun.  Regrouping cukup lama di Sayat-Sayat tadi membuat rombongan Singapore kembali melewati kami. Cukup sulit melewati mereka di rute pendakian menuju puncak. Kemiringan yang curam dengan di bantu fix rope, memaksa kami harus antri dalam mendaki. Di tambah lagi dengan angin yang sangat kencang menerpa dengan bebasnya. Medan terbuka dengan karakter batuan granit, membuat taka da penghalang sama sekali bagi angin yang bertiup kencang. Sesekali jalan terhuyung terdorong angin. 100 meter sebelum puncak matahari terbit. Saya sempatkan untuk mengabadikan dengan kamera. sementara dari arah puncak terlihat rombongan dari negara-negara eropa yang sudah lebih dulu sampai, mulai turun. dari ketinggian memang tinggal 100 meter lagi, tapi rasanya nafas semakin sesak dan langkahpun semakin berat. 100 meter menuju puncak adalah medan scrambling. Antrian panjang rombongan Singapore di depan menambah pendakian semakin berat. Bekas muntahan ku lihat di beberapa spot menjelang puncak, menunjukkan ada beberapa orang pendaki yang mulai terkena AMS (Acute Mountain Sickness).

Akhirnya setelah merayapi tebing puncak, pukul 06 waktu Sabah saya berhasil mencapai puncak Low Peak Gunung Kinabalu. Cuaca cerah saat itu. Puncak kecil yang di tandai dengan plakat tulisan dalam bahasa setempat, di penuhi oleh pendaki dari Singapore, Sabah, Kuala Lumpur dan saya dari Indonesia. Dedy terlihat masih merayapi tebing menuju puncak, disusul Latief dan Budi di bawah sana. Akhirnya pukul 07.30 Budi sebagai orang terakhir berhasil pula menjejakkan kaki di puncak Kinabalu. Puncak tertinggi di pulau Borneo. Bertambah lagi koleksi puncak 4000an, setelah sebelumnya puncak Jaya dan Carstensz di Papua. Semoga masih terus akan bertambah lagi koleksi puncak lainnya, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Lain gunung, lain pula kesulitan dan keindahannya.


            Perjalanan yang mengesankan, tidak hanya bertambah pengalaman perjalanan tapi juga bertambah saudara sesama pendaki. Pendaki Sabah, Kuala Lumpur dan Eropa. ALAMAITI (we are all together)

Tuesday, November 5, 2013

Satu Minggu Bercumbu Dengan KRI OWA

Pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi penumpang di kapal perang? Kesempatan berharga itu saya dapatkan akhir tahun 2012 lalu. Dalam suatu latihan gabungan Angkatan Laut Indonesia, saya berkesempatan menjadi penumpang KRI Oswald Siahaan atau lebih dikenal dengan OWA dengan nomer lambung 354. Ini adalah salah satu kapal Fregate terbaik yang dimiliki Indonesia. Kemampuannya untuk menghadang musuh dari tiga matra, udara, permukaan dan dasar laut, membuat KRI OWA menjadi salah satu armada yang di takuti oleh lawan. Apalagi dalam latihan kali ini, kemampuan KRI OWA semakin di pertajam dengan di lengkapi senjata baru, Rudal Yakhont buatan Rusia. Yang di klaim sebagai rudal tercepat saat ini. Tingkat keakuratannya sampai di atas 90%.

            Saat itu saya berangkat dari Pangkalan ARMATIM di Surabaya. Ini adalah pangkalan kapal perang Angkatan Laut terbesar di Indonesia. Memasuki jajaran kapal-kapal perang membuat timbul banyak harapan pada para bapak-bapak AL dalam menjaga kedaulatan Indonesia terutama di perbatasan. Walaupun banyak mendengar cerita tentang lemahnya pasukan kita di laut, tapi saya yakin siapapun orang awam yang memasuki pangkalan ini akan menaruh harapan besar seperti halnya saya.

            Setelah mencari-cari di jajaran kapal perang di dermaga ARMATIM, akhirnya saya menemukan KRI OWA. Termasuk besar ukurannya membuat KRI OWA tidak terlalu sulit di cari. Kapal yang mulai masuk dalam jajaran KRI pada tahun 1980an  ini memiliki jam pengabdian yang cukup tinggi. Salah satu penugasannya yang terakhir adalah dalam konflik Ambalat dengan Malaysia. Tidak heran dalam perbincangan selanjutnya dengan para ABK tidak jarang saya mendengar cerita mereka dalam konflik perbatasan dengan Malaysia.

            Memasuki ruangan dalam KRI OWA, ditemani oleh bapak Julius dari DISPENAL, saya langsung diajak bertemu dengan komandan kapal saat itu. Dengan ramah beliau menyambut saya dan dua orang teman saya lainnya. Terlihat bapak kolonel ini begitu humble dengan orang sipil seperti kami. Pada hari-hari berikutnya tidak jarang beliau mengajak saya atau kawan-kawan saya untuk sekedar mengobrol ringan atau berdiskusi tentang apapun yang sedikit berat. Orang yang cerdas, tegas dan bijaksana. Beliau begitu disayangi oleh anak buahnya.

            Setelah berkenalan dengan komandan, selanjutnya saya diantar ke kamar yang akan saya tempati selama di sana. Kamar kecil di tempati ber tiga, tapi bersih, rapih dan dingin karena menggunakan ac. Tidak jauh dari kamar, juga bisa di temukan kamar mandi dan ruang cuci. Nah untuk penggunaan air memang ada strateginya. Tidak setiap jam air akan mengalir. Maklum air sangat terbatas, jadi memang ada managemen khusus untuk mengatur pengguanaan air. Kamar mandi dan ruang cuci pun relative sangat bersih. Belum lama saya masuk kamar, ada ketukan di pintu. Seorang perajurit dengan seragam lapangan loreng khas angkatan laut memberitahukan bahwa makan siang sudah siap. Saya dan kawan-kawan di minta untuk segera merapat ke ruang makan perwira di lantai bawah.

            Memasuki ruang makan perwira, ternyata sudah begitu penuh. Baru tahu saya bahwa kapal ini merupakan salah satu kapal utama dalam latihan gabungan kali ini. Sehingga begitu banyak perwira tinggi yang ada di kapal ini. Sedikitnya ada lima kolonel dari angkatan laut dan satu orang kolonel dari angkatan darat yang hadir sebagai peninjau.  Awalnya risih juga berada di tengah para perwira tinggi ini. Tapi berjalan dengan waktu, ternyata sangat seru juga. Ngobrol dengan mereka merupakan hal yang saya tunggu setiap hari. Banyak sekali share cerita dari mereka yang selama ini tidak mungkin kita dengan di luar. Diskusi dengan mereka pun sangat menyenangkan. Sangat open minded, itulah kesan saya kepada para para perwira itu. Mereka begitu menerima masukan dari kami orang-orang sipil ini. Sesekali terjadi perdebatan tapi selalu diakhiri dengan saling mengerti posisi kedua pihak. Bahkan para perwira itu juga begitu senang bisa banyak berbagi dengan saya dan kawan-kawan. Ya, mereka menganggap kami netral dalam melihat segala permasalahan militer dan kebangsaan.

            Diskusi dan obrolan ngalur-ngidul tidak hanya terjadi di runag makan. Tapi kemudian setelah semakin akrab, juga terjadi di kamar tidur, di dek belakang sambil merokok , di dek depan sambil mencari signal telepon genggam dan bahkan di ruang kemudi kapal dengan para perwira menengah. Sangat menyenangkan, suatu kesempatan yang mungkin belum tentu bisa saya dapatkan lagi. Hingga kini, hubungan dengan para awak kapal OWA masih terjalin. Setiap kali saya ke Surabaya, saya selalu sempatkan untuk bisa bertemu dengan mereka. Laut telah membuat kami menjadi saudara dan sahabat.

            Berhari-hari menjelang uji coba penembakan rudal Yakhont, diisi dengan latihan persiapan penembakan. Mulai dari pemeriksaan alat dan personil hingga simulasi penembakan. Bapak-bapak ini tidak mau ada kesalahan sedikit pun pada hari H nanti. Teknisi-teknisi dari Rusia pun tidak kalah sibuk membantu persiapan yang di lakukan oleh para personil KRI OWA. Di sela-sela latihan tiu lah sejumlah obrolan dan diskusi terjalin di atara kami. Ada satu cerita atau tepatnya keluhan di sampaikan saat itu. “Laut Indonesia ini sangat luas mas, tapi jumlah kapal perang kami belum mencukupi untuk batas idela meng-cover seluruh perairan. Tapi kami selaku prajurit, tetap berusaha semaksimal kita untuk menjaga kedaulatan NKRI. Tidak jarang kami mengejar para pencuri ikan sampai berhari-hari hingga daerah perbatasan Australia. Kami tangkap mas, kami serahkan ke polisi di daratan untuk di proses secara hokum. Tapi kemudian di pengadilan mereka semua di lepas begitu saja, atau paling tidak mendapat hukuman yang tidak setimpal. Belum lagi kasus-kasus lainnya, yang paling berat adalah pelanggran batas negara yang sering di lakukan oleh kapal-kapal perang negara tetangga kita yang satu itu lho mas (seraya mengedipkan mata). Ujungnya kami angkatan laut ini di cap tidak ada kerjanya oleh masyarakat. Kehadiran kami di lautan di pertanyakan. Ya semoga saja mas-mas disini bisa secara objective menyuarakan kondisi kami di lautan”, demikian secuil yang keluar dari mulut bapak-bapak patriot bangsa di lautan ini.

            Memang aneh, negara kita yang notabene memiliki wilayah laut jauh lebih luas dari wilayah daratannya. Tapi memilih menjadi bangsa agraris pada pemerintahan presiden Suharto. Kekuatan di darat di perkuat luar biasa sementara berpuluh-puluh tahun kekuatan laut kita bisa dibilang di lumpuhkan. Ya semoga saja pemerintahan ke depan menyadari betapa pentingnya kekuatan laut di negeri yang seharusnya memilih hidup MARITIM ini. Kembali ke kejayaan masa lalu dimana kerajaan-kerajaan nusantara menguasai lautan hingga ASIA. Salut melihat kerja dan kemampuan para prajurit TNI AL. Begitu professional dan patriotik. Terlihat dari ekspresi mereka yang tanpa lelah berlatih untuk keberhasilan suatu misi uji coba penembakan rudal. Bahkan ketika akhirnya uji coba itu berhasil, kegembiraan tak bisa di sembunyikan dalam suasana di KRI OWA. Akankah jasa dan kerja keras mereka masih di pertanyakan? Untuk saya, tidak ada alas an mempertanyakan itu. Hanya kebanggan yang tersisa dari perjalanan satu minggu dengan KRI OWA.

JALESVEVA JAYAMAHE !!!

Di Laut Kita Jaya

Sunday, November 3, 2013

Senyum Manis Dari Tapal Batas (Marore part 3)

Setelah saya bercerita tentang para guru dan petugas keamanan di pulau Marore di tulisan terdahulu. Di tulisan ini, saya ingin bercerita tentang masyaralat Marore berikut aparat pemerintahan di sana. Kunjugan yang tidak lama, bahkan bisa di bilang hanya mampir, tapi kenangannya berinteraksi dengan mereka merupakan pengalaman tak terlupakan.

            Sejenak setelah menginjakkan kaki di pulau Marore, interaksi non verbal langsung terjalin dengan masyarakat Marore. Tatapan mata mereka dan senyuman di bibir mereka, tampak mengiringi kedatangan kami. Melihat bagaimana ekspresi dan senyuman mereka membuat hati ini tenang karena merasa di terima baik oleh mereka. Setelah saya dan kawan-kawan merapihkan diri dan barang-barang bawaan, seorang anak datang menghampiri kami di pos Angkatan Laut tempat kami menginap. Anak tersebut ternyata anak bapak Camat Marore. Dia memberi tahu kalau kami serombongan di tunggu bapak Camat untuk makan siang bersama. Tidak menyangka kedatangan kami, ternyata akan mendapat sambutan seperti ini.

            Selepas makan bersama, bapak Camat mengajak saya dan beberapa teman yang melakukan liputan untuk ke kantornya. Kita banyak mendengar cerita bapak Camat tentang kehidupan masyarakat Marore, sekaligus melihat langsung juga bagaimana pemerintahan daerah berjalan di sana. Sejujurnya kesan pertama saya pribadi tidak terlalu baik dengan jalannya pemerintahan daerah di sana dan kinerja para aparatnya. Namun berjalan dengan waktu, kesan saya itu luntur dan berganti dengan kekaguman pada bapak Camat ini. Seperti halnya yang lain, bapak ini adalah pendatang dari Sangir. Tapi kecintaannya terhadap Marore tidak dapat di ragukan lagi. Saya melihat langsung bagaima semangat beliau berjuang agar Marore bisa menang dalam kompetisi desa terbaik se-Indonesia yang di selenggarakan oleh pemerintah. Dan hasilnya Marore berhasil menempati posisi ke 3 terbaik. “Marore harus bisa menang mas, agar pemerintah pusat dan masyarakat Indonesia lainnya bisa tau dimana itu Marore. Dan sekaligus membuktikan kalau kami yang di perbatasan ini masih ada” , begitu omongnya ketika bersama saya satu kapal dalam perjalanan ke Manado sebelum melanjutkan ke Jakarta dimana kompetisi desa terbaik itu di selenggarakan. Ya, memang dengan semakin banyak orang tahu tentang Marore, akan semakin banyak pula orang yang peduli dengan daerah ini. Dan siapa tahu bisa berdampak luas juga bagi daerah-daerah perbatasan lainnya.

            Keramahan sang Camat, tercermin pula dari masyaraktnya. Saya sudah menjelajah hampir seluruh daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera hingga ke tanah Papua. Tapi hanya di sini, di Marore setiap saat saya berpapasan dengan masyarakat, selalu mendapat salam “Selamat pagiiiiii”, “Selamat siaaaannngggg” dan “Selamat malaaaammmmm”. Sambil tentunya senyum tersungging di bibir mereka. Setiap kali saya berkeliling pulau untuk liputan dan harus berhenti untuk beristirahat, selalu ada saja masyarakat yang menghampiri untuk sekedar mengajak ngobrol atau bahkan membawakan minuman, bahkan makanan kecil. Begitu ramahnya mereka, sampai saya sering malu kalo teringat bagaimana mungkin sikap kita terhadap sesame kita di perkotaan. Saling sikut di jalan dan saling memaki sudah menjadi santapan kita warga masyarakat kota besar sehari-hari.

            Sebelum kami pergi ke Marore, sejumlah riset kami lakukan. Salah satu riset kami ada satu hal yang menarik. Kabarnya peso, mata uang Filipina berlaku sebagai alat pembayaran di Marore. Tapi ternyata hal itu tidak lagi terjadi. Hanya rupiah yang menjadi alat pembayaran sah di sana. “I love Rupiaj, hidup Indonesia” , begitu kata seorang pedagang warung di Marore ketika kami bertanya tentang mata uang yang di gunakan dalam transaksi. Tapi jangan mencari makanan produksi Indonesia di warung-warung Marore. Hanya sedikit sekali kita bisa menemukannya. kondisi terbalik dengan produk-produk makanan Filipina. Hampir semua produk yang di jual adalah buatan Filipina. Tidak heran memang karena bagi masyarakat Marore  lebih ekonomis jika mereka berbelanja di Filipina dibandingkan mereka harus berbelanja ke Sangir atau Manado. Biaya transportasi akan menjadi sangat besar.

            Ada satu hal yang menjadi catatan saya berkaitan dengan masyarakat Marore. Yaitu fasilitas kehidupan mereka di sana. Sebenarnya untuk ukuran daerah terdepan Nusantara, apa yang ada di Marore cukup lengkap. Aliran listrik tenaga surya bisa mereka nikmati setiap malam. Jaringan komunikasi selular pun cukup baik. Tapia da sejumlah perlengkapan bantuan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Dari hasil riset kami, pemerintah pernah memberikan bantuan perahu untuk para nelayan disana. Tapi ujung-ujungnya perahu-perahu itu tidak terpakai dan masyarakat kembali menggunakan perahu lama mereka. Perahu bantuan pemerintah tidak memperhatikan kearifan local. Tidak sesuai dengan kondisi geografis laut Marore. Pemerintah juga pernah memberikan bantuan lemari pendingin untuk penyimpanan ikan. tapi kembali tidak terpakai. baru dua tahun di berikan lemari pendingin sudah rusak. Tidak ada orang yang di bekali ilmu untuk merawat dan memperbaiki jika rusak. Sayang fasilitas yang bgitu mahal tapi tidak pernah di pikirkan bagaimana kelanjutan pemakaiannya.

            Untuk jalur transportasi memang sepertinya akan mejadi pekerjaan rumah panjang bagi instansi terkait. Pertemuan dua samudra, membuat kondisi laut di sekitar Marore tidak pernah tenang gelombangnya. Tidak jarang kapal penumpang regular pun tidak bisa merapat di dermaga yang ada. Dermaga pun ini sudah berkali-kali di ganti karena dermaga yang sudah di bangun berkali-kali pula karam di hajar gelombang.


            Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan seseorang atau instansi tertentu. Hanya sekedar berbagi dan mengingatkan betapa kita di kota besar ini harus banyak bersyukur dengan apa yang sudah kita terima selama ini Betapa saudara kita di ujung nusantara sana hidup begitu terbatas tetapi mereka begitu tegar dan begitu mencintai bangsa ini. Hanya ingin menggugah para sahabat untuk tetap menjunjung NKRI dan meneruskan cita-cita para bapak bangsa

Para Patriot Bangsa Di Tapal Batas Sulawesi Utara (Marore part 2)

Masih dari Pulau Marore di batas negara. Setelah bicara tentang para guru di sana, kini saya bicara tentang para penjaga keamanan dan penegak hukum disana. Ya semua yang saya tulis memang bersifat subjektif. Pendapat saya berdasar apa yang saya lihat, dengar dan rasakan selama beberapa hari di Marore. Berinteraksi langsung dengan semua lapisan masyarakat di sana.

            Pertama menjejakkan kaki di Marore, rombongan saya saat itu di sambut oleh komandan pos AL beserta pasukannya. Mereka banyak membantu kami dalam proses merapatnya kapal karena situasi laut yang bergelombang tinggi membuat sangat tidak mudah. Sebagai gambaran, rombongan harus menambah satu malam di kapal karena terlalu beresiko merapat di tengah gelombang yang sangat tinggi siang itu. Proses hingga sore hari dan akhirnya tetap gagal merapat. Baru keesokan paginya dengan bantuan para personil AL kami berhasil merapat dengan selamat. Selanjutnya, selama di pulau Marore kami tinggal di pos AL. 

            Di pulau Marore, ada beberapa unsur pasukan yang bertugas. Dimana semuanya berada dalam satu koordinasi satuan perbatasan. Satuan yang saya temui di sana adalah unsur AD, AL dan polisi. Khusus untuk polisi menjadi catatan bagi saya. Kantor polisi yang relative besar dan bagus untuk ada di daerah ujung nusantara, namun sayang tidak berpenghuni. Tidak ada satu pun polisi yang ada standby di pulau ini. Saat saya dan teman-teman akan melakukan liputan di sana, kantor kosong melompong terkunci. Seorang anak yang tinggal di depan kantor polisi pun menghampiri kami. Dia memberi tahu kalo bapak-bapak polisi adanya di Sangir, sudah beberapa bulan tidak datang ke Marore. Ya, sayang sekali menurut saya. Dengan fasilitas yang dimiliki, yang notabene jauh lebih baik dari fasilitas yang dimiliki instansi lain, tapi tak seorang pun polisi yang bertugas standby di pulau ini.

            Suasana berbeda saya lihat di pos AL dan AD. Suasana kesibukan suatu pos penjaga keamanan. Patroli rutin di lakukan walaupun tetap di tengah berbagai keterbatasan yang mereka miliki. Pos AL yang hanya memiliki satu perhu karet untuk patrol, tetap melakukan penjagaan wilayah. Satu buah perahu bermotor berbahan fiber sudah lama tidak beroperasi karena rusak dan tak kunjung juga mendapat perbaikan atau penggantian. Demikian juga dengan para pasukan AD tetap berpatroli di wilayah kepulauan, walaupun menurut mereka, mereka sudah lama tidak berganti personil yang seharusnya sudah beberapa bulan kemarin itu dilakukan.

            Satu instansi lain yang tidak bias di lupakan adalah Imigrasi. Sedikit sulit bicara yang satu ini. Bangunan kantor Imigrasi Indonesia bersebelahan dengan kantor Imigrasi Filipina. Suasana santai terlihat jelas di kedua kantor imigrasi tersebut. Ya memang tidak terlalu banyak aktifitas yang bias di lakukan di sana, selain urusan lintas batas tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Marore ataupun warga Filipina Selatan. Yang cukup menarik bagi saya justru klasifikasi petugas imigrasi Filipina yang di tempatkan di Marore. Filipina menempatkan seorang prajurit Marinir yang memiliki klasifikasi intelijen di sana. Menunjukkan keseriusan Filipina melihat betapa pentingnya perbatasan dengan Indonesia ini. Bahkan di kantor imigrasi Filipina ini juga dilengkapi dengan peta wilayah perbatasan dan yang paling luar biasa menurut saya, di sini saya di tunjukkan buku tebal besar berisi perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Filipina berkaitan dengan perbatasan kedua negara. Alat komunikasi berupa radio komunikasi pun tersedia dan beroperasi dengan baik. Hal berbeda di kantor imigrasi kita. Kantor terasa kosong walaupun bapak petugas imigrasi standby siap membantu. Tak ada peta wilayah perbatasan dan taka da copy dari perjanjian kedua Negara menyangkut perbatasan. Pengetahuan dari petugas pun jauh berbeda dari petugas dari Filipina. Dalam hati yang paling dalam saya hanya bisa mengeluh. Beginikah perhatian pemerintah pada aparatur perbatasan kita?


            Tak ada kata patriotik yang keluar memang dari mulut bapak-bapak itu. Berbeda dengan apa yang sempat di katakana oleh bapak dan ibu guru. Tapi apa yang bapak-bapak AD, AL dan imigrasi lakukan sudah lebih dari sekedar arti sebuah kata untuk menggambarkan bagaimana pengabdian mereka terhadap kedaulatan NKRI. Jauh dari keluarga untuk waktu yang tidak sebentar tentunya bukan suatu hal yang mudah. Belum lagi hambatan-hambatan teknis yang selalu mereka temui dalam menjalankan tugas. Sementara di Jakarta yang jauh dari sepi dan keterbatasan fasilitas, para pejabat pengambil keputusan tengah asik berebut kekayaan dan jabatan.