Setelah
saya bercerita tentang para guru dan petugas keamanan di pulau Marore di
tulisan terdahulu. Di tulisan ini, saya ingin bercerita tentang masyaralat
Marore berikut aparat pemerintahan di sana. Kunjugan yang tidak lama, bahkan
bisa di bilang hanya mampir, tapi kenangannya berinteraksi dengan mereka
merupakan pengalaman tak terlupakan.
Sejenak setelah menginjakkan kaki di
pulau Marore, interaksi non verbal langsung terjalin dengan masyarakat Marore.
Tatapan mata mereka dan senyuman di bibir mereka, tampak mengiringi kedatangan
kami. Melihat bagaimana ekspresi dan senyuman mereka membuat hati ini tenang
karena merasa di terima baik oleh mereka. Setelah saya dan kawan-kawan
merapihkan diri dan barang-barang bawaan, seorang anak datang menghampiri kami
di pos Angkatan Laut tempat kami menginap. Anak tersebut ternyata anak bapak
Camat Marore. Dia memberi tahu kalau kami serombongan di tunggu bapak Camat
untuk makan siang bersama. Tidak menyangka kedatangan kami, ternyata akan
mendapat sambutan seperti ini.
Selepas makan bersama, bapak Camat
mengajak saya dan beberapa teman yang melakukan liputan untuk ke kantornya.
Kita banyak mendengar cerita bapak Camat tentang kehidupan masyarakat Marore,
sekaligus melihat langsung juga bagaimana pemerintahan daerah berjalan di sana.
Sejujurnya kesan pertama saya pribadi tidak terlalu baik dengan jalannya
pemerintahan daerah di sana dan kinerja para aparatnya. Namun berjalan dengan
waktu, kesan saya itu luntur dan berganti dengan kekaguman pada bapak Camat
ini. Seperti halnya yang lain, bapak ini adalah pendatang dari Sangir. Tapi
kecintaannya terhadap Marore tidak dapat di ragukan lagi. Saya melihat langsung
bagaima semangat beliau berjuang agar Marore bisa menang dalam kompetisi desa
terbaik se-Indonesia yang di selenggarakan oleh pemerintah. Dan hasilnya Marore
berhasil menempati posisi ke 3 terbaik. “Marore harus bisa menang mas, agar
pemerintah pusat dan masyarakat Indonesia lainnya bisa tau dimana itu Marore.
Dan sekaligus membuktikan kalau kami yang di perbatasan ini masih ada” , begitu
omongnya ketika bersama saya satu kapal dalam perjalanan ke Manado sebelum
melanjutkan ke Jakarta dimana kompetisi desa terbaik itu di selenggarakan. Ya,
memang dengan semakin banyak orang tahu tentang Marore, akan semakin banyak pula
orang yang peduli dengan daerah ini. Dan siapa tahu bisa berdampak luas juga
bagi daerah-daerah perbatasan lainnya.
Keramahan sang Camat, tercermin pula
dari masyaraktnya. Saya sudah menjelajah hampir seluruh daerah di Indonesia.
Mulai dari Sumatera hingga ke tanah Papua. Tapi hanya di sini, di Marore setiap
saat saya berpapasan dengan masyarakat, selalu mendapat salam “Selamat
pagiiiiii”, “Selamat siaaaannngggg” dan “Selamat malaaaammmmm”. Sambil tentunya
senyum tersungging di bibir mereka. Setiap kali saya berkeliling pulau untuk
liputan dan harus berhenti untuk beristirahat, selalu ada saja masyarakat yang
menghampiri untuk sekedar mengajak ngobrol atau bahkan membawakan minuman,
bahkan makanan kecil. Begitu ramahnya mereka, sampai saya sering malu kalo
teringat bagaimana mungkin sikap kita terhadap sesame kita di perkotaan. Saling
sikut di jalan dan saling memaki sudah menjadi santapan kita warga masyarakat
kota besar sehari-hari.
Sebelum kami pergi ke Marore,
sejumlah riset kami lakukan. Salah satu riset kami ada satu hal yang menarik.
Kabarnya peso, mata uang Filipina berlaku sebagai alat pembayaran di Marore.
Tapi ternyata hal itu tidak lagi terjadi. Hanya rupiah yang menjadi alat
pembayaran sah di sana. “I love Rupiaj, hidup Indonesia” , begitu kata seorang
pedagang warung di Marore ketika kami bertanya tentang mata uang yang di
gunakan dalam transaksi. Tapi jangan mencari makanan produksi Indonesia di
warung-warung Marore. Hanya sedikit sekali kita bisa menemukannya. kondisi
terbalik dengan produk-produk makanan Filipina. Hampir semua produk yang di
jual adalah buatan Filipina. Tidak heran memang karena bagi masyarakat
Marore lebih ekonomis jika mereka
berbelanja di Filipina dibandingkan mereka harus berbelanja ke Sangir atau
Manado. Biaya transportasi akan menjadi sangat besar.
Ada satu hal yang menjadi catatan
saya berkaitan dengan masyarakat Marore. Yaitu fasilitas kehidupan mereka di
sana. Sebenarnya untuk ukuran daerah terdepan Nusantara, apa yang ada di Marore
cukup lengkap. Aliran listrik tenaga surya bisa mereka nikmati setiap malam.
Jaringan komunikasi selular pun cukup baik. Tapia da sejumlah perlengkapan
bantuan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Dari hasil riset kami, pemerintah
pernah memberikan bantuan perahu untuk para nelayan disana. Tapi ujung-ujungnya
perahu-perahu itu tidak terpakai dan masyarakat kembali menggunakan perahu lama
mereka. Perahu bantuan pemerintah tidak memperhatikan kearifan local. Tidak
sesuai dengan kondisi geografis laut Marore. Pemerintah juga pernah memberikan
bantuan lemari pendingin untuk penyimpanan ikan. tapi kembali tidak terpakai.
baru dua tahun di berikan lemari pendingin sudah rusak. Tidak ada orang yang di
bekali ilmu untuk merawat dan memperbaiki jika rusak. Sayang fasilitas yang
bgitu mahal tapi tidak pernah di pikirkan bagaimana kelanjutan pemakaiannya.
Untuk jalur transportasi memang
sepertinya akan mejadi pekerjaan rumah panjang bagi instansi terkait. Pertemuan
dua samudra, membuat kondisi laut di sekitar Marore tidak pernah tenang
gelombangnya. Tidak jarang kapal penumpang regular pun tidak bisa merapat di
dermaga yang ada. Dermaga pun ini sudah berkali-kali di ganti karena dermaga
yang sudah di bangun berkali-kali pula karam di hajar gelombang.
Tulisan ini tidak bermaksud
menyudutkan seseorang atau instansi tertentu. Hanya sekedar berbagi dan
mengingatkan betapa kita di kota besar ini harus banyak bersyukur dengan apa
yang sudah kita terima selama ini Betapa saudara kita di ujung nusantara sana
hidup begitu terbatas tetapi mereka begitu tegar dan begitu mencintai bangsa
ini. Hanya ingin menggugah para sahabat untuk tetap menjunjung NKRI dan
meneruskan cita-cita para bapak bangsa
No comments:
Post a Comment