Dua kali sudah usaha saya untuk
mendaki ke gunung Kinabalu di Malaysia batal Karena masalah permit pendakian
yang gagal didapat karena terbatasnya jumlah pendakian di sana. Tak terbayang
begitu banyaknya orang yang ingin mendaki kesana, bahkan banyak diantaranya
adalah turis-turis asing. Banyak sudah foto-foto dan literature yang say abaca
tentang gunung Kinabalu dari teman-teman yang sudah melakukan pendakian kesana.
Kesimpulan saya adalah, kita di Indonesia
memiliki banyak gunung yang jauh lebih indah dari gunung Kinabalu di Sabah, Malaysia.
Salah satu gunung indah yang kita miliki adalah sepasang gunung “kembar”,
gunung Gede-Pangrango di cianjur, Jawa Barat.
Tidak
hanya indah dari kondisi alamnya, tapi gunung Gede-Pangrango juga kaya akan
potensi alam, sejarah hingga mitos. Sayang sekali kekayaan tiada dua yang
dimiliki belum bisa dimaksimalkan hingga kini. Banyak fasilitas yang belum
mendapat perhatian seperti halnya di taman nasional gunung Kinabalu. Ini
mungkin yang menyebabkan gunung Gede-Pangrango dan gunung lainnya di Indonesia
belum mampu di “jual” seperti halnya Kinabalu.
Mari
kita lupakan Kinabalu dan mulai bicara tentang Gede-Pangrango. Gunung Gede
adalah salah satu gunung berapi aktif yang terletak di Cianjur, Jawa Barat. Gunung
Gede bagaikan gunung kembar dengan gunung Pangrango yang bersebelahan
dengannya. Kedua gunung ini memiliki kekayaan flora fauna yang luar biasa
hingga kini. Statusnya sebagai taman nasional menjadikan gunung Gede-Pangrango
bagaikan tempat yang nyaman bagi beberapa flora dan fauna yang dilindungi.
Tersebut diantaranya Owa Jawa, Macan Kumbang, Elang Jawa menjadi penghuni di
wilayah taman nasional ini. Selain itu wilayah ini juga menjadi salah satu
tempat singgah bagi banyak jenis burung. Sehingga banyak pula para peneliti dan
pengamat burung yang memilih Taman Nasional Gede-Pangrango sebagai laboratorium
alam mereka.
Ada kaiitannya dengan
laboratorium alam, sesungguhnya wilayah gunung Gede-Pangrango sudah sejak lama
menjadi laboratorium alam penelitian para ahli. Tepatnya sejak masa penjajahan
Belanda. Salah satu bukti yang bisa di lihat hingga kini adalah dengan adanya
Kebun Raya Cibodas di kaki gunung Gede-Pangrango. Bahkan konon kabarnya di
sekitar pos pendakian Kandang Badak, masih terdapat sisa reruntuhan bangunan laboratorium
penelitian biologi Belanda. Jika hal ini benar, tentunya betapa besar potensi
sejarah yang dimiliki taman nasional ini.
Masih
berkaitan dengan sejarah di masa penjajahan Belanda, dalam beberapa literature
yang ditulis oleh para petualang Belanda, menyatakan bahwa ternyata gunung
Gede-Pangrango juga merupakan salah satu tempat tinggal terakhir dari badak
Jawa. Bahkan dalam bukunya, Junghuhn menulis, dalam pendakiannya dia bertemu
dengan sekumpulan badak Jawa yang sedang minum di sumber air, tepatnya yang
saat ini kita kenal dengan pos pendakian Kandang Badak. Nama pos pendakian ini
pun di ambil untuk mengenang kejadian yang di alami oleh Junghuhn. Sayangnya
kini tak ada lagi badak Jawa yang masih bisa kita temukan di taman nasional
ini.
Masih
bicara tentang potensi sejarah gunung ini, masih teringat dalam benak saya
cerita dari almarhum bapak Ook, yang rumahnya sering saya dan kawan-kawan
tumpangi sebelum mendaki ke gunung Gede-Pangrango. Dia pernah bercerita bahwa
gunung Gede-Pangrango juga merupakan basis benteng terakhir dari para tentara
pemberontak DI/TII. Di masanya, para tentara pemberontak, di malam hari sering
turun ke perumahan masyarakat untuk meminta makanan, terutama kediaman bapak
Ook yang pada masa itu adalah rumah terdekat dari batas hutan gunung
Gede-Pangrango. Menurut cerita dari para senior yang sudah mendaki disana sejak
tahun 60-an, juga tidak jarang dalam pendakiannya mereka menemukan sisa-sisa
camp dan kotak-kotak peluru yang di duga merupakan sisa peninggalan para tentara
pemberontak DI/TII.
Selain
dari potensi alam dan sejarah, Taman Nasional Gede-Pangrango juga menyimpan
kisah-kisah mithos dari kepercayaan masyarakat sekitar. Setidaknya ada dua
mithos yang kuat melekat di gunung Gede-Pangrango yang saat ini bisa saya dapatkan.
Mithos pertama ada di wilayah air terjun Cibereum di jalur pendakian Cibodas.
Di tengah derasnya air yang jatuh, ada sebongkah batu yang sekilas mirip dengan
orang besar berjubah. Penduduk sekitar percaya bahwa batu tersebut adalah
perwujudan dari seorang pertapa yang begitu khusuk dalam pertapaannya hingga
akhirnya membatu.
Cerita
mithos lainnya ada di alun-alun Suryakencana. Alun-alun Suryakencana adalah savanna
luas dekat kubah puncak gunung Gede yang di penuhi oleh pohon edelweiss. Nama
Suryakencana diambil dari mithos tentang seorang pangeran kerajaan Padjajaran
yang melarikan diri bersama pasukannya ke gunung Gede, ketika kerajaan Padjajaran
dihancurkan. Dan dalam pelariannya tersebut sang pangeran berikut pasukannya di
percaya masyarakat muksa atau naik ke nirwana. Hingga kini di saat-saat
tertentu ada beberapa orang yang pernah bersaksi mendengar suara derap pasukan
berkuda dan suara ringkikan kuda di area alun-alun Suryakencana. Ada versi cerita lain
yang mengatakan pangeran Suryakencana adalah anak keturunan raja Padjajaran
dari pernikannya dengan seorang jin.
Tentunya
mithos-mithos tersebut sulit untuk bisa dipercaya dengan logika. Di luar kita
percaya atau tidak, mithos-mithos yang ada di gunung Gede-Pangrango justru
menambah daya tarik dari gunung indah ini. Ya Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango, hingga saat ini masih merupakan gemilang mutiara yang belum
maksimal terasah. Kepedulian pemerintah baik daerah maupun pusat, juga
kepedulian para pendaki dalam menjaga kebersihan dan kelestarian di kawasan
ini, tentunya sangat diharapkan untuk bisa membuat kawasan ini menjadi kawasan
unggulan. Tidak hanya sebatas tingkat daerah, tapi bisa menyaingi gunung
Kinabalu di kawasan Asia Tenggara. Ini baru satu contoh kawasan unggulan yang
belum terasah. Sementara begitu banyak, bahkan mungkin ribuan lokasi yang bisa
menjadi unggulan wisata Indonesia
yang hingga kini bagai terabaikan.
Sorowako,
pertama kali mendengar nama ini adalah di tahun 90an. Ketika kakak saya bekerja
di PT INCO yang berbasis di Sorowako. Kesan pertama dari nama itu adalah tempat
yang terpencil dan serba terbatas. Apalagi ketika dengar kalau
keponakan-keponakan saya berenang di danau. Hati ini makin miris membayangkan
kehidupan kakak saya dan keluarga yang serba terbatas di daerah terpencil. Tapi
semua bayangan itu sirna seketika, ketika di tahun 2006 saya mendapat
kesempatan untuk bekerja disana. Jatuh Cinta pada pandangan pertama, itulah
kata yang tepat mewakili perasaan saya saat itu.
Setelah
satu jam penerbangan dari Makasar dengan menggunakan pesawat perintis milik
Pelita Air Service, sampailah saya di bandara mungil kota Sorowako. Kota di tengah pegunungan Verbeck, Nuha, Sulawesi
Selatan. Kesan yang pertama saya rasakan dalam perjalanan dari bandara, kota ini adalah kota
kecil yang sangat teratur dan tertib lalu lintasnya. Mobil perusahaan yang
menjemput saya, bahkan tidak mau jalan sebelum para penumpangnya semua menggunakan
seat belt. Mobil melaju perlahan sesuai anjuran rambu lalu lintas. Suatu
situasi lalu lintas yang belum pernah saya temukan di Jakarta.
Memasuki
kompleks perumahan karyawan, seperti memasuki surga dunia yang selama ini saya
impikan. Rumah-rumah panggung berbahan kayu di kelilingi oleh pohon-pohon besar
membuat suasana yang memang berudara sejuk pegunungan, semakin sejuk. Tak hanya
sejuk di mata, tapi juga sejuk di hati tentunya. Bentuk rumah panggung tidak
diadopsi dari bentuk rumah panggung tradisional Indonesia,
tetapi merupakan adopsi dari bentuk rumah di Canada, tempat asal perusahaan
INCO. Sayang, padahal budaya arsitektur tradisional Indonesia juga banyak mengenal
bentukan rumah panggung yang tentunya sesuai dengan kondisi alam sekitarnya.
Suasana
kerja yang terbagi menjadi tiga shift dalam seharinya, secara tidak langsung
membuat saya lebih disiplin waktu. Terutama dalam membagi waktu untuk makan,
istirahat dan olah raga. Untuk fasilitas olah raga, kota ini tidak ada kurangnya. Mau jenis olah
raga apapun, hampir semua bisa kita lakukan. FitnessCenter
dengan peralatan yang sangat baik, bisa diakses kapan pun. Bersepeda gunung
ataupun berlari lintas alam, Sorowako juga surganya. Apalagi yang mencintai
olah raga air. Berenang, kayaking, diving, windsurfing, jet ski ataupun sekedar
memancing, bisa dilakukan di danau Matano yang sangat jernih airnya.
Danau
Matano adalah salah satu dari tiga danau yang ada di daerah Sorowako. Danau
lainnya bernama danau Mahalona dan danau Towuti. Danau Matano adalah danau yang
terkecil diantara dua danau lainnya. Tapi jangan salah, Matano merupakan danau
nomer tujuh terdalam di dunia dan terdalam di Asia Tenggara. Dan kabarnya danau
Matano juga merupakan salah satu danau purba yang terletak di Indonesia. Bagi
orang yang menyukai olah raga selam, menyelam di danau Matano tentunya akan
memiliki sensasi tersendiri. Danau Matano memiliki jarak pandang yang baik, ini
dikarenakan airnya yang sangat jernih. Begitu jernihnya hingga jika kita masih
berada tidak jauh dari tepian, kita bisa melihat dasar danau. Di danau ini pula
kabarnya masih di temukan, tumbuhan air dan binatang air yang endemic atau
hanya ada di danau Matano. Belakangan ini, para penyelam juga menemukan banyak
peninggalan bersejarah masa lalu di dasar danau Matano. Penemuan itu berupa
antara lain, pecahan gerabah dan lain-lain.
Bicara
tentang sejarah daerah ini, ternyata pada masanya di tepian danau Matano
terdapat sebuah kerajaan yang konon tertua di Sulawesi.
Lebih tua dari kerajaan Gowa. Dan kabarnya pula, pada masa itu terjalin
hubungan yang baik antara kerajaan Matano dan kerajaan Majapahit. Diduga
kerajaan Matano lah yang mensuplai senjata untuk keperluan kerajaan Majapahit.
Hal itu dikaitkan dengan catatan dalan kitab Negarakertagama yang menyiratkan
hal tersebut. Bahkan ada jenis pamor pada keris Jawa, yang menggunakan namanya.
Jika dilihat dari masa sekarang, tentunya bukanlah tidak mungkin. Mengingat
sampai saat ini pun daerah Sorowako terkenal sebagai penghasil nikel yang
terbaik dan terbesar di dunia. Beberapa kali penelitian arkeologis pun
dilakukan oleh para ahli dari UNHAS. Sayangnya, menurut sumber di Sorowako,
penelitian-penelitian yang dibuat belumlah tuntas hingga kini karena terhalang
masalah biaya. Mudah-mudahan suatu hari nanti semua misteri arkeologis Sorowako
dengan Matanonya bisa terungkap.
Tidak
jauhnya jarak Sorowako dengan laut, membuat kita tidak sulit menemukan makanan
laut segar di kota
ini. Banyak restoran dan tempat makan yang menyediakan makanan laut. Salah satu
makanan khas Sorowako, Paco’ dan Kapurung juga menggunakan ikan sebagai bahan
bakunya. Bagi yang kurang menyukai makanan laut, tidak perlu khawatir. Karena
banyak tempat makan, terutama di hotel-hoter seputaran Sorowako menyediakan
berbagai jenis makanan, baik local ataupun internasional. Tapi sebaiknya jangan
terlalu berharap banyak tentang rasa makanan, selain makanan laut. Tidak bisa
dibilang tidak enak, tapi juga tidak bisa dibandingkan dengan makanan serupa
yang kita jumpai di Jakarta
misalnya.
Yang
sedikit sulit di Sorowako mungkin adalah penginapan yang layak dan memiliki
harga yang sesuai. Penginapan bisa dengan mudah kita jumpai di Sorowako. Tapi
harga yang harus dibayar seringkali membuat kita mengernyitkan dahi jika kita
bandingkan dengan apa yang kita dapatkan. Penginapan di Sorowako terbiasa
mendapatkan tamu dari para kontraktor ataupun tamu perusahaan PT INCO. Sehingga
mereka menerapkan standard harga yang cukup tinggi. Berbeda dengan
daerah-daerah wisata lain yang tersebar di Indonesia.
Keindahan
alam luar biasa dan keramahan masyarakatnya, membuat saya langsung jatuh cinta
pada daerah ini. Sekaligus membuat saya berat ketika harus meninggalkan
Sorowako untuk kembali ke Jakarta.
Sorowako adalah surga, yang jika dapat dikelola dengan benar akan menjadi
sumber kehidupan yang tidak habis bagi masyarakatnya. Tidak hanya hasil
nikelnya yang sangat layak jual, tapi keindahan alam dan potensi sejarah
Sorowako, tentunya sangat masih bisa di olah sebagai sumber pendapatan alternative
bagi masyarakat Sorowako. Yang perlu diingat, material tambang pasti lah ada
habisnya. Suatu hari nanti nikel akan habis dan INCO yang sekarang berubah nama
menjadi PT VALE akan meninggalkan Sorowako. Tapi potensi alam dan sejarah yang
dimiliki Sorowako tidak akan ada habisnya. Apalagi jika mulai dari sekarang
masyarakat dan pemerintah daerah bisa memulai usaha untuk menyelamatkan asset tersebut.
Sorowako mungkin kini jauh dari mata saya, tapi Sorowako akan selalu ada dalam
hati. Sorowako adalah surga yang terjatuh di bumi Celebes.
Hingga
beberapa tahun lalu, mungkin tidak banyak orang yang tahu nama desa Sawarna.
Mungkin hanya sebatas mendengan nama iya, tapi hanya segelintir orang saja yang
pernah mengunjungi tempat itu. Keindahannya, membuat desa Sawarna mendapat
julukan “Surga yang Tersembunyi di Selatan Jawa”. Tapi sangat berbeda dengan
kondisi dua hingga satu tahun terakhir. Di saat liburan terutama, desa Sawarna
sudah layaknya tempat-tempat hiburan pada umumnya. Ramai bagaikan pasar, padat
akan manusia dan kendaraan bermotor. Penginapan-penginapan di sekitar sana pun penuh oleh
pengunjung. Jangan lagi membayangkan tempat sunyi nan damai di tepian laut
selatan Jawa. Sudah jauh panggang dari api.
Desa
Sawarna, merupakan sebuah desa yang terletak di pantai selatan Jawa. Secara administrative
desa ini berada di wilayah provinsi Banten. Untuk mencapainya, dapat di akses
melalui jalur Sukabumi ataupun Pandeglang. Desa Sawarna terkenal dengan pantai
pasir putihnya yang memiliki garis pantai hingga 65 km, dan juga memiliki ombak
yang sangat bagus untuk kegiatan surfing. Sebenarnya selain dari keindahan
alamnya yang sangat menawan, Sawarna menyimpan sejuta pesona lainnya. Tidak
kurang dari latar belakang sejarah dan budaya yang dimiliki Sawarna, layak
untuk disimak.
Daerah
ini sangat kental sebenarnya dengan bagian dari jejak sejarah penjajahan
Belanda dan Jepang pada masanya. Sangat menarik jika di perhatikan, desa
Sawarna yang terletak di wilayah Banten, ternyata memiliki budaya Priangan yang
lebih kental. Jika di tarik ke belakang, ternyata ini ada kaitannya dengan
kehadiran perkebunan dan pertambangan batu bara tradisional milik Belanda di
daerah Sawarna. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Sawarna, Belanda yang
saat itu membuka perkebunan kelapa, membawa para pekerja dari daerah Sukabumi
dan Bandung
untuk mengerjakan perkebunan tersebut. Daerah yang masih kosong tanpa penduduk
itupun, akhirnya menjadi suatu desa baru yang kemudian dinamakan Sawarna. Ada satu bukti sejarah
lain lagi yang sampai sekarang masih tanda tanya. Ada sebuah makam bangsa Belanda, tidak jauh
dari pinggir pantai. Tidak banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan kuburan
ini. Pada nisannya tertulis nama Van Gogh. Banyak cerita yang simpang siur
tentang siapakah Van Gogh ini. Namun paling tidak ada dua cerita yang cukup
kuat di masyarakat. Cerita pertama adalah, Van Gogh yang nisannya ada di
Sawarna ini adalah masih ada hubungan darah dengan pelukis Belanda terkenal Van
Gogh. Yang pada saat itu sedang melakukan perjalanan dengan kapal laut. Tapi di
perjalanan beliau terserang penyakit hingga meninggal ketika kapal sedang berada
di sekitar Sawarna. Hingga akhirnya dimakamkanlah dia di pantai Sawarna. Cerita
lain lagi, VanGogh ini adalah kepala perkebunan kelapa Belanda pada masanya,
yang akhirnya meninggal di tanah Sawarna. Tentunya hal itu semua masih harus
dikaji lagi kebenarannya.
Memasuki
masa penjajahan Jepang, daerah ini merupakan titik konsentrasi Romusha. Banyak
korban yang jatuh pada masa ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari tugu
Romusha yang dapat kita jumpai tidak jauh dari Sawarna. Kisah pedih kehidupan
masyarakat Sawarna pada masa penjajahan Belanda, bisa kita lihat dalam film
lama berjudul “Saijah dan Adinda” yang diangkat dari buku tulisan tokoh
nasional Max Havelaar.
Pada
masa kemerdekaan, pemerintah mengirimkan sejumlah tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan. Mereka adalah warga Priangan, yaitu Bandung dan Sukabumi. Menurut kesaksian
beberapa saksi sejarah. Pada masa itu, mereka harus berjalan kaki dari
Malimping, kota
terakhir yang bisa dicapai dengan kendaraan. Hutan dan rawa harus mereka lalui
sebelum akhirnya sampai di desa Sawarna. Lama perjalananpun beragam, mulai dari
seharian penuh hingga 2 hari perjalanan untuk mencapai Sawarna. Baru belakangan,
akhirnya pemerintah daerah membuka akses jalan menuju Sawarna. Bahkan kini
aspal mulus akan menemani perjalanan orang yang akan mengunjungi Sawarna dengan
kendaraan bermotor.
Pada
masa awal pengembangan Sawarna menjadi daearah wisata, konsep eco tourism coba
di terapkan. Rumah-rumah penduduk didorong untuk menjadi penginapan bagi
wisatawan. Makanan tradisional juga bisa dinikmati oleh wisatawan yang tinggal
bersama dengan penduduk. Dengan konsep ini, selain masyarakat bisa mendapatkan
keuntungan dari kehadiran wisatawan secara langsung, bagi para wisatawan juga
lebih bisa menyelami budaya masyarakat Sawarna. Dan yang utama, penduduk
Sawarna menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun sayang, dalam perkembangannya,
jenis penginapan yang dikenal dengan home stay ini, mulai tersingkirkan oleh
kehadiran penginapan-penginapan jenis cottage yang mulai tumbuh. Para investor dari luar tidak ragu menanamkan modalnya
untuk membuat penginapan disana. Ujungnya tentulah kembali masyarakat Sawarna
sebagai tuan rumah hanya lah sebagai pekerja dan tidak lagi sebagai pemilik
dari perkembangan wisata Sawarna. Kontrol pemerintah daerah yang kurang juga
terlihat di pantai Sawarna. Jika sebelumnya pantai bersih dari aktifitas warung
makan dan minum, sehingga kebersihan dan keindahan pantai terjaga. Kini kondisi
tersebut jauh berubah. Sederetan warung menjamur di sepanjang garis pantai.
Tumpukan sampai tidak jauh dari sana
terlihat menumpuk. Juga ceceran-ceceran sampah terlihat di sepanjang pantai.
Melihat
potensi alam, budaya dan sejarah Sawarna yang begitu besar, apakah kita akan
membiarkan Sawarna tergerus oleh kepentingan ekonomi semata? Dibutuhkan kerja
keras dari semua pihak untuk menyelamatkan Sawarna sebelum kondisi menjadi
semakin sulit. Masyarakat dan Pemerintah Daerah harus berani mengambil
keputusan untuk menyelamatkan Sawarna. Tidak mudah silau dengan keuntungan
ekonomi sesaat. Sebaiknya mulailah belajar dari lokasi-lokasi wisata lain yang
sudah terlanjur rusak karena dampak industri wisata yang tidak terkendali.
Tulisan
ini saya buat, berdasarkan apa yang saya lihat dan amati selama beberapa kali
melakukan kunjungan ke Sawarna. Saya mencintai desa ini dan masyarakatnya. Dan
saya yakin masih banyak yang mencintai tempat ini. Masyarakat Sawarna harus
kembali menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Kami pendatang ini hanyalah tamu
dan sahabat.
Siapa pendaki di Indonesia
dan mungkin juga di dunia yang tidak bermimpi suatu hari di masa hidupnya bisa
mencapai puncak Carstenz Pyramid di tanah Papua? Gunung dengan ketinggian 4884
mdpl, merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan merupakan salah satu
dari 7 puncak tertinggi di tujuh lempeng benua. Dan menurut seorang teman yang
sudah mendaki beberapa puncak dunia, pendakian ke puncak Carstensz merupakan
salah satu yang tersulit secara technical maupun dari sisi non teknisnya.
Puncak
Carstensz Pyramid terletak di kawasan pegunungan Sudirman, Papua. Yang sampai
saat ini masih merupakan lokasi yang dianggap berbahaya dari gerakan
bersenjata. Meskipun wilayah ini sudah dinyatakan sebagai Taman Nasional,
tetapi perijinan untuk mendaki kesana tidak semudah pendakian atau perjalanan
ke taman nasional lainnya di Indonesia. Paling tidak perijinan dari pihak TNI
dan POLRI merupakan salah satu yang harus dikantongi oleh siapapun yang akan
melakukan pendakian kesana. Selain sulitnya perijinan pendakian, kesulitan juga
di perparah dengan sulitnya akses ke pegunungan ini. Hampir tidak ada
penerbangan regular ke desa awal pendakian. Pintu lain menuju kawasan ini
adalah melalui tambang Freeport,
yang bisa dibilang juga sulit didapat ijinnya. Segala hal tersebut sudah pernah
saya alami mulai dari tahun 92 hingga 99.
Sekitar
tahun 92, waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMA 68 Jakarta.
Bersama beberapa rekan yang kebetulan memiliki mimpi untuk bisa mendaki ke
Carstensz Pyramid, kami mencoba mengurus perijinan untuk melakukan pendakian,
namun gagal. Di tahun 99, saat itu saya sudah semester akhir kuliah di sastra
UI, bersama dengan teman-teman satu angkatan di Mapala UI kembali mencoba untuk
membuat pendakian ke Carstensz Pyramid dan kembali gagal. Di tahun 99,
perijinan dari semua pihak berwenang sudah kami kantongi, namun kami harus
berbesar hati untuk gagal berangkat karena tidak mencukupinya biaya perjalanan
yang mencapai 20jt per orang diluar biaya peralatan. Usaha untuk mendapat ijin
melintas dari Freeportpun sudah kami coba, namun juga tidak berhasil di dapat.
Sekedar informasi, bila kita berhasil mendapatkan ijin melintas dari Freeport, kita bisa
menghemat biaya lebih dari setengah total biaya pendakian normal. Yah sampai
saat itu, saya dengan semua anggota tim pendakian harus berbesar hati untuk
memendam kembali mimpi bisa menjejakkan kaki di titik tertinggi di Indonesia.
Kurang
lebih tujuh tahun setelahnya, tahun 2006, tanpa saya duga ternyata mimpi saya
akhirnya bisa menjadi kenyataan. Saat itu bulan Mei 2006, saat saya menjelang
kepulangan ke Jakarta
dari lokasi kerja saya di Sorowako yang telah habis masa kontraknya, saya
mendapat kabar bahagia tersebut. Ripto Mulyono yang akrab dipanggil Mul,
memberi kabar bahwa saya akan dia ajak mendampingi tim Liputan 6 SCTV mendaki
Carstensz Pyramid di bulan Agustus. Antara percaya dan tidak dengan ajakan
tersebut. Masih seperti mimpi mendengar tawaran itu. Mimpi bertahun-tahun yang
sudah sempat saya pikir tidak akan bisa tercapai, sekarang sudah ada di depan mata.
Tak kurang kata sukur saya panjatkan ke Allah saat itu.
Ripto
Mulyono adalah salah satu senior dan pelatih tim saya di Mapala UI, saat saya
menyiapkan pendakian ke Carstensz di tahun 99. Dari dialah selama ini, mimpi
untuk bisa suatu hari mendaki Carstensz dan puncak dunia lainnya terus terjaga
di hati nurani saya dan teman-teman di Mapala UI. Ripto adalah salah satu dari
sedikit pendaki gunung Indonesia
yang menjajaki pendakian “Seven Summits” oleh orang Indonesia. Bahkan di tahun 96,
Ripto hampir saja berhasil mencapai puncak Everest di Nepal bersama dengan tim
Kopassus. Dan hingga kini, saya rasa hanya dialah yang sudah melakukan
pendakian terbanyak ke Carstensz Pyramid. Saya yakin segudang pengalamannya lah
yang membuat SCTV meminta dia untuk menyiapkan dan membentuk tim untuk
pendakian di Agustus 2006 itu.
Dan
hari besar itupun tiba. Enam orang pendaki dari Liputan 6 SCTV dan enam orang
pendaki dari beberapa pencinta alam universitas, berangkat menuju Timika. Kota awal yang akan
menjadi awal pendakian kami ke pegunungan Sudirman. Pendakian yang akan kami
lakukan mendapat akses melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia.
Dengan menumpang pesawat Airfast, kami berangkat pagi itu. Kurang lebih tujuh
jam waktu tempuh penerbangan normal Jakarta-Timika. Penerbangan yang
melelahkan. Dan ternyata itupun masih harus ditambah dua jam karena cuaca
buruk, sehingga pesawat yang kami tumpangi harus transit di Nabire, sebelum
akhirnya bisa mendarat di Timika. Faktor cuaca memang juga salah satu obstacle perjalanan
dengan pesawat ke tanah Papua.Setelah perjalanan berjam-jam, akhirnya pesawat
kami pun mendarat di Bandar udara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Namanya
adalah Bandar Udara Internasional, tapi jangan berharap melihat bandara mewah
seperti layaknya Bandar udara di belahan Indonesia yang lainnya. Bandara
yang sangat minimalis, bahkan gedung terminalnya mungkin tidak lebih besar dari
satu gedung fakultas di UI. Tidak akan dapat kita jumpai roda berjalan tempat
kita menunggu bagasi layaknya di Bandar udara lainnya. Yah semua serba
minimalis, namun di balik segala keterbatasan itu, bandara ini relative bersih
dan teratur. Tidak seperti Cengkareng yang kian hari kian kumuh.
Sesampainya di
Timika, rombongan kami di jemput oleh perwakilan dari PT Freeport, om Ronald
namanya. Orang yang kemudian saya kenal sebagai orang yang sangat ramah dan
baik hati. Setelah mendapatkan safety induction sebagai safety standard
memasuki kawasan Freeport, om Ronald mengajak
kami menuju penginapan di kota
Timika. Yah kami memang tidak langsung menuju Tembagapura, karena masih ada
beberapa persiapan yang akan kami lakukan di kota ini. Yang paling utama adalah berbelanda
beberapa kebutuhan makanan. Karena akan sangat sulit dan mahal jika kita
membelinya di Tembagapura nanti. Penginapan yang sederhana tapi sangat baik
kondisinya. Sangat nyaman bahkan. Ini adalah penginapan yang biasa digunakan
oleh para tamu Freeport
jika menginap di Timika. Malam itu, selepas ngobrol ngalur ngidul antara
anggota tim pendakian, kami pun terlelap di kelam malam kota Timika.
Pagi itu selepas
bangun tidur, saya lihat ada sebuah bis yang sangat besar di parkiran halaman
hotel. Ternyata itu adalah bis yang akan mengangkut kami menuju Tembagapura
hari ini. Selepas sarapan dan sedikit berbelanja kebutuhan makanan pendakian,
rombongan kami pun berangkat. Hari sudah menjelang siang saat itu. Perjalanan
menuju Tembagapura menyajikan pemandangan alam luar biasa. Tak jarang, bis yang
kami tumpangi harus berhenti hanya karena kebutuhan rombongan mengambil gambar.
Sayang rasanya jika keindahan seperti ini tidak terabadikan. Banyak pula
kendaraan tambang yang berpapasan dengan bis kami. Pemandangan yang umum, khas
daerah pertambangan. Yang membedakan dari lokasi tambang lain yang pernah saya
sambangi, mungkin ukuran dari kendaraan-kendaraan di Freeport relative lebih
besar. Perjalanan dari Timika menuju Tembagapura juga terkesan ketat dari sisi
keamanannya. Bis kami di kawal oleh dua kendaraan security mulai dari gerbang
masuk kawasan tambang di kota
Timika tadi. Selain itu, tidak kurang dari tiga buah pos pemeriksaan keamanan
harus kami lalui hingga sampai di Tembagapura.
Di Tembagapura,
rombongan kami mendapatkan pinjaman sebuah “Flat” mirip apartment di area
perumahan baru mereka yang nama daerahnya adalah HiddenValley.
Sesuai dengan namanya, lokasi perumahan ini memang terletak di dasar lembah
yang dikelilingi oleh hutan dan tebing. Sangat indah. Belum pernah dalam hidup
saya, menemukan keindahan alam seperti yang saya jumpai saat itu. Sampai di
Tembagapura, tidak ada waktu istirahat bagi kami ternyata. Sejumlah agenda
sudah disiapkan. Mulai dari persiapan peliputan upacara kemerdekaan,
pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan peralatan pendakian, jamuan makan malam dan
masih banyak lagi. Ada
hal menarik ketika kami baru saja memasuki ruangan yang di pinjamkan untuk
kami. Tiba-tiba saja pintu ada yang mengetuk, ketika dibuka seorang anak dengan
sepiring pisang goreng berdiri di muka pintu. Ternyata anak itu mengirimkan
titipan ibunya, sekaligus mengundang kami untuk makan bersama dengan
keluarganya malam itu. Begitu hangat sambutan para warga disini, cukup
menghangatkan hati di tengah membekunya suhu udara di HiddenValley.
Empat hari saya
dan seluruh anggota tim tinggal di Tembagapura. Segala persiapan dan peliputan
yang dibutuhkan oleh tim SCTV sudah rampung kami lakukan. Sekaligus juga kami
gunakan guna proses aklimatisasi tubuh dengan ketinggian. Dan pagi itu
rombongan kami pun di jemput dengan bis untuk menuju High Camp. Semua peralatan
kami bagi dua. Peralatan pendakian untuk empat hari pertama kami bawa dalam
ransel masing-masing, sementara sisanya termasuk peralatan pemanjatan dan
peralatan listrik dipisahkan untuk di drop dengan helicopter langsung di Lembah
Danau-Danau, base camppendakian kami nantinya.
Cuaca cukup dingin pagi itu, dengan diiringi pula oleh gerimis hujan, kami
menuju High Camp. Bis yang mengangkut kami, menurunkan rombongan di tempat
keberangkatan kereta gantung. Untuk mencapai High Camptidak
bisa dengan menggunakan bis. Dari kereta gantung ini kami bisa melihat dengan
jelas lokasi pertambangan Freeport.
Kabut tipis sesekali menutupi pandangan. Sampai di High Camp bis lain sudah
menunggu, termasuk juga satu mobil Emergency Response Group yang akan mengawal
rombongan hingga Bali Dam. Berikutnya yang kami sambangi adalah Pos Ayam Hitam.
Pos pemeriksaan keamanan terakhir di wilayah tambang Freeport. Pos ini dijaga oleh para prajurit
TNI. Sejumlah urusan admisnistrasi harus kami lakukan disini sebelum memulai
pendakian. Pos yang kecil, dingin tapi cukup bersih dan rapi. Dari Pos Ayam
Hitam, rombongan kami menuju Bali Dam, titik awal pendakian kami. Ripto Mulyono
sebagai ketua pendakian memutuskan kami akan menginap malam ini di kaki tebing
Zebra Wall, tepat di bawah Bali Dam. Keputusan ini di buat untuk proses
aklimatisasi seluruh anggota tim pendakian. Maklum saja, ketinggian saat itu
sudah hampir 4000 mdpl, berbeda lebih dari 1000 mdpl dibandingkan ketinggian
Tembagapura. Malam pertama di pegunungan Sudirman, saya bisa istirahat dengan
baik walau semalaman diiringi suara alat berat pertambangan Freeport.
Hari ke dua
pendakian, semua anggota tim dalam kondisi prima. Tidak ada masalah dengan
aklimatisasi tubuh. Cuaca juga cukup cerah, walaupun sempat gerimis dan
berkabut tipis. Target pendakian kami hari ini adalah Danau Biru di kaki tebing
Wachter, New ZealandPass dan Pintu Angin.
Tidak lama berjalan, kami sudah sampai di tujuan. Cuaca cukup berangin di sini.
Udara dingin menusuk tulang mulai saya rasakan. Di hadapan kami adalah tanjakan
tajam melewati Pintu Angin unutk menuju Base Campkami
nantinya di Lembah Danau-Danau. Malam ini saya merasakan sedikit pusing di
kepala. Mungkin ini adalah tanda gejala mountain sickness, proses aklimatisasi
yang kurang baik di tubuh saya. Tapi bagaimanapun saya paksakan untuk bisa
tidur dan istirahat maksimal malam itu. Sampai besok paginya ternyata sedikit
pusing di kepala belum juga hilang. Dan ternyata saya tidak sendiri, beberpa
anggota tim pendakian juga mengalamai hal serupa. Ripto pun memutuskan unutk
menambah satu hari lagi untuk menginap di tepian Danau Biru ini untuk bisa
memperbaiki kondisi tubuh, sekaligus juga menunggu kepastian dropping logistic
dengan helicopter dari Freeport.
Hari ke tiga ini cuaca kurang bersahabat. Seharian campkami
diguyur hujan walaupun tidak lebat. Angin pun sedikit kencang menghantam tenda
kami. Suhu sedikit lebih dingin dari hari kemarin. Aktifitas hari ini kami isi
dengan memasak dan mengobrol penuh canda, menghibur diri. Dan tentunya sejumlah
gambar tidak juga luput dari kamera kami.
Hari ke empat
pendakian, kami semua bangun dengan kondisi tubuh yang prima kembali. Tidak ada
lagi pusing di kepala. Dan ketika kami selesai makan serta packing ransel
masing-masing, helicopter pengangkut logistic kami pun lewat di atas kami
menuju Lembah Danau-Danau. Cuaca cukup baik hari itu. Hampir siang saat kami
memulai pendakian menuju Base Camp. Melewati tanjakan menuju Pintu Angin sangat
melelahkan. Kecuraman tanjakannya memang lumayan, mungkin juga di tambah dengan
faktor ketinggian yang sudah 4000 mdpl membuat kami lebih mudah lelah.
Rombongan pendakian berjalan pelan saling berdekatan. Ripto sesekali berteriak
memberi semangat. Hari menjelang sore ketika saya sampai di Lembah Danau-Danau.
Hujan deras menyambut kedatangan tim kami di sana. Sebuah flysheet darurat kami bentangkan
untuk melindungi tubuh dan beberapa peralatan yang rawan dari air hujan. Ketika
hujan tidak lama kemudian mereda, kami pun mulai membangun tenda. Enam buah
tenda kami dirikan, meliputi satu tenda makan, satu tenda peralatan elektronik
penyiaran dan empat tenda untuk kami tidur. Udara semakin dingin malam itu,
anginpun kurang bersahabat. Selepas makan malam dan membersihkan semua alat
makan masing-masing. Seluruh anggota tim pendakian pun telah terlelap dalam
tenda masing-masing. Malam itu sekitar jam 3,00 dini hari, Ripto membangunkan
kami. Base Campkami di terjang badai salju. Tenda makan
kami sudah rata dengan tanah karena tidak kuat menahan beban salju yang
menimpanya. Sejadinya lah tengah malam dingin kami harus menyelamatkan tenda
dan peralatan kami dari terjangan badai salju. Hujan salju di barengi dengan
angin baru mereda sekitar pulul 05,00 pagi. Berbarengan dengan mulai terbitnya
matahari. Kami pelan-pelan mulai membangun kembali tenda makan kami yang rata
dengan tanah. Memasak makan pagi itu pun terpaksa kami lakukan di luar.
Di hari ke lima
ini, saya, Fahmi dan Epoy, di tugaskan Ripto untuk mendrop sebagian peralatan
di teras besar Puncak Jaya, ini diperlukan untuk menghemat beban yang akan kami
tanggung pada hari pendakian tim besar nantinya. Mengingat beban peralatan yang
akan kami bawa nantinya sangat banyak. Target pendakian ini nantinya adalah
pemecahan record oleh tim Liputan 6 SCTV sebagai tim peliputan pertama yang
melakukan siaran langsung dari titik tertinggi. Dan kesempatan itu, saya pikir
akan baik bagi proses aklimatisasi tubuh. Kami bertiga sampai kembali di campketika
hari hampir sore. Saat kami tiba, tim SCTV sedang menyiapkan siaran langsung
dari campkami di Lembah Danau-Danau. Hari-hari di
camp, sejauh ini kami lalui dengan bahagia. Walaupun ada beberapa kejadian
seperti badai salju, tapi kami sangat menikmati perjalanan ini. Malamnya, di
tengah tidur, saya terbangun. Kepala rasanya bagai dipukuli palu. Sakit bukan
main. Ya saya kembali terkena mountain sickness dan ini lebih berat dari yang
saya rasakan sebelumnya. Segala cara saya coba, tidak juga berhasil
menghilangkan sakit kepala itu. Akhirnya pilihan terakhir, obat dari Ripto saya
konsumsi. Dan tidak lama sakit kepala berangsur berkurang dan malam itu saya
bisa tidur lagi. Alhamdulillah…
Pagi hari ke
enam pendakian, Ripto mencek kondisi seluruh anggota tim. Ternyata saya tidak
sendirian terkena serangan mountain sickness. Aldian, produser Liputan 6, juga
terkena dan sedikit lebih parah dari saya. Novri, kameramen Liputan 6, juga
merasakan hal serupa. Menanggapi hal itu akhirnya Ripto memutuskan untuk
menambah hari istirahat di camp Lembah Danau-Danau. Tidak ada hal yang istimewa
hari itu, selain hunting foto sekitaran camp dan peliputan yang dilakukan tim
Liputan 6. Tak jauh dari campkami, saya menemukan
sebuah prasasti dari alumunium tebal, mengenang rekan-rekan Aranyacala Trisakti
yang meninggal dalam usaha pendakiannya ke Carstensz Pyramid. Sejenak saya dan
beberapa teman memanjatkan doa saat itu. Apapun yang terjadi, usaha mereka
merupakan catatan sejarah pendakian di Indonesia.
Hari ke tujuh
adalah hari awal pendakian kami menuju puncak Jaya. Target pendakian kami hari
ini hanya sampai di teras besar, dimana kami telah mendrop beberapa peralatan
sebelumnya. Perjalanan hari ini sedikit lebih lambat dari ketika saya mendrop
barang. Mungkin jumlah beban dan banyaknya orang mempengaruhi. Sekitar jam
16,00 kami baru tiba di teras besar. Dua buah tenda pun kami dirikan. Malam yang
terasa panjang. Tidur malam itu terasa sangat tidak nyaman, hanya tidur ayam
saja. Tidur berdesakan di tambah beralaskan serakan batu di bawah tenda, tidak
mampu membuat saya dan beberapa teman istirahat dengan baik. Belum lagi di
tambah dengan angin yang dinginnya menusuk tulang di luar sana.
Jam menunjukkan
pukul 5,00 pagi waktu itu. Kami mulai bersiap melakukan summit attack di hari
ke delapan pendakian kami. Diiringi hujan salju, kami mulai merayapi rute
pendakian puncak Jaya. Ice Axe cukup membantu saya melewati medan bersalju yang semakin tebal karena efek
dari hujan salju yang belum juga berhenti. Beberapa ratus meter dari puncak,
kami berhenti di sebuah medan
batuan rata yang cukup luas. Di situ Aldian dan Ripto membagi tim menjadi dua.
Tujuh orang termasuk saya akan terus menuju puncak, sementara sisanya akan
menetap disana untuk menyiapkan siaran langsung ke Jakarta. Pendakian pun kami lanjutkan.
Aldian, Radit dari Liputan 6 dan saya bergantian mengoperasikan kamera, meliput
pendakian menuju puncak. Semakin mendekati puncak, hujan salju semakin deras
turun menimpa kami. Lapisan saljupun semakin tebal. Setiap langkah yang saya
lakukan, akan masuk sekitar setinggi dengkul ke dalam salju. Hal itu membuat
langkah pendakian semakin lambat. Maklum di tim kami, relative hanya Ripto yang
sudah berpengalaman mendakidi situasi seperti itu. Dan akhirnya, masih di
tengah cuaca buruk, baru sekitar jam 12,00 siang kami sampai di puncak Jaya
dengan ketinggian 4862 mdpl. Siaran langsung pun kami lakukan. Alhamdulillah
berhasil siaran langsung ini, dan sekaligus juga untuk saya pribadi akhirnya
bisa mencapai puncak salju khatulistiwa ini. Tinggal satu puncak lagi
berikutnya, Carstensz Pyramid.
Perjalanan turun
dari puncak tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Tubuh semakin
terkuras tenaganya. Sementara hanya indomie dan coklat, makanan yang masuk ke
dalam perut seharian ini. Sekitar jam 20,00 saya, Radit dan Epoy sampai di
camp. Jalan sudah bagaikan zombie, pandangan sudah tidak focus, dan sandungan
batu-batu sepanjang jalan cukup untuk membuat kami berkali-kali terjatuh.
Beruntung cuaca cukup cerah malam itu mengiringi perjalanan kami turun.
Sesampai di camp, sebelum istirahat, sambil menunggu teman lain kami sempatkan
untuk memasak minuman hangat. Dan saya memaksakan diri untuk bisa memasukkan
makanan ke dalam perut. Kelelahan yang amat sangat di tambah suhu dingin
membuat napsu makan menghilang. Malam itu saya tidur bagai mayat. Mungkin kalo
ada badai lagi malam itu, saya belum tentu dengar dan mampu membuka mata.
Beruntung, benar-benar Allah memberikan bonus cuaca cerah malam itu mengiringi
tidur kami.
Pagi hari di
hari ke sembilan pendakian ini, selepas sarapan pagi Aldian meminta ke Ripto
untuk turun ke Tembagapura. Dia merasa kondisi tubuhnya makin drop setelan
pendakian puncak Jaya sehari sebelumnya. Mountain Sickness semakin menggerogoti
tubuhnya. Dia cerita kalo dia sudah mengalami halusinasi pagi itu. Ripto
bergerak cepat, dia minta Fahmi mengkontak ke ERG di Freeport untuk bersiap
melakukan evakuasi. Sementara tim Liputan 6 juga melakukan koordinasi siapa
yang akan melanjutkan peliputan pendakian Carstensz Pyramid dan siapa yang akan
turun menemani Aldian. Akhirnya diputuskan Radityo Wicaksono dan Akemona untuk
tetap di camp, berisap untuk peliputan berikutnya, sementara yang lainnya dari
Liputan 6 akan turun mendampingi Aldian. Perpisahan pun terjadi, sedikit sedih
setelah satu minggu bersama. Kini harus ada beberapa teman yang harus kembali
lebih cepat. Tapi saya rasa ini adalah keputusan yang tepat dari pada
memaksakan kondisi.
Tiga hari
lamanya kami di Lembah Danau-Danau menanti cuaca yang bagus untuk memulai
pemanjatan ke puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya di hari ke 12 dini hari
itu, sekitar jam 2,00 Ripto membangunkan kami. Peralatan yang sudah kami
siapkan dari beberapa hari terakhir membuat persiapan yang kami lakukan tidak
terlalu lama. Radit dan Akem memutuskan untuk tidak berangkat, mengingat
pemanjatan ke Carstensz berbeda dengan ke puncak Jaya. Di Carstensz sangat
dibutuhkan kemampuan teknis dan pengalaman pemanjatan tebing yang mumpuni.
Tidak ingin menghambat pemanjatan, menjadi alas an mereka untuk tidak ikut
menuju puncak. Akem menitipkan kamera ke saya, Radit pun menitipkan liputan
yang dia butuhkan. Kamera saya bagi dua. Saya pegang satu kamera, Epoy juga
pegang satu kamera. Berdasar pengalaman hari sebelumnya di Puncak Jaya, battere
akan sangat boros di cuaca dingin ini. Saya putuskan kamera akan menyala
bergantian antara saya dan Epoy. Perjalanan pun di mulai. Dari Lembah
Danau-Danau, kami mendaki menuju lembah kuning yang terpisah kawasan puncak
tengah. Kami sampai di kaki tebing Carstensz di lembah kuning sekitar jam 3,00
dini hari. Sinaran dari cahaya headlamp menerangi pemanjatan kami. Satu persatu
kami ber enam merayapi tebing Carstensz dengan bantuan fix rope. Saya menjadi
pemanjat terakhir. Jam menunjukkan hampir jam 6,00 pagi ketika sampai di teras
besar. Kami istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan alam tiada dua.
Cuaca cerah pagi itu. Terlihat hampir semua puncak di pegunungan Sudirman,
termasuk puncak Jaya dan puncak Soemantri yang diliputi salju abadi. Tak bisa
lama kami beristirahat, karena waktu terus berpacu. Summit Ridge kami susuri
dengan hati-hati. Beberapa jurang dalam harus di lalui. Lumayan membuat hati
ini kecut juga melihat dalamnya jurang yang harus kami lewati. Seratus meter
sebelum puncak, hujan salju kembali turun. Tali yang kami gunakan juga semakin
kaku dan licin. Membuat ascender yang kami gunakan tidak lagi bisa menggigit
maksimal. Perlahan tapi pasti terus kami susuri tebing puncak Carstensz
Pyramid. Dan akhirnya tepat jam 12,00 siang itu saya berhasil menjejakkan kai
di puncak Carstensz Pyramid, 4884 mdpl. Puncak tertinggi di Indonesia dan
juga Austrolasia. Air mata tanpa sadar mengalir, mimpi ini akhirnya tercapai.
Ripto datang memeluk dan memberi selamat. Begitu juga Fahmi, Heru, Epoy dan Avi
bergantian saling memberi selamat. Dalam hati, tak henti saya mengucap syukur
atas nikmat yang diberikan Allah pada saya.
Yah hari itu
saya merasakan sendiri akhirnya, bahma jangan pernah kita mnegubur mimpi.
Karena suatu hari mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Dan benar adanya bahwa
segala sesuatu juga berawal dari mimpi, Maka jangan pernah berhenti untuk
bermimpi. Bermimpi untuk mencapai suatu target setinggi langit jika perlu. Mari
kawan kita lanjutkan mimpi kita.
Tidak pernah terbayang dalam
benak saya selama ini untuk melakukan perjalanan bersepeda dengan jarak yang
jauh. Apalagi sampai lebih dari satu hari alias harus pakai menginap di
perjalanan. Perjalanan terjauh saya dengan bersepeda selama ini hanyalah Jakarta-Bogor
PP dengan jarak kurang dari 200 km, itupun terkadang pulangnya saya menumpang
KRL dari stasiun Bogor. Tapi entah apa yang ada di benak sayaa saat itu, ketika
mengiyakan ajakan Asep untuk ikut touring ke Sawarna. Yang jaraknya dari Jakarta kurang lebih 250
km. Apalagi Asep berencana untuk melakukannya pulang pergi.
Dan
hari itu pun tiba. Sesuai dengan janjian sebelumnya, meeting point yang
disepakati adalah di rumah Iye di daerah Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ternyata
cukup banyak yang ikut dalam perjalanan ini. Di rumah Iye sudah ada Bayu, Devin
dan pak Mito.
Dari rumah Iye kita menuju rumah Odel di Tangerang dengan melalui BSD. Di
tengah perjalanan Asep pun bergabung. Perjalanan menuju Tangerang tentunya
tidak ada yang menarik selain kepadatan kendaraan dan jalanan yang berdebu juga
rusak disana sini. Setelah menjemput Odel di rumahnya, perjalanan pun kami
lanjutkan menuju Rangkas. Tidak jauh dari rumah Odel, kami sepakat untuk makan pagi
yang terlambat dulu di sebuah warung Warteg yang kami lalui.
Tidak
lama kami makan, sekedar menurunkan makanan, perjalananpun di lanjutkan.
Jalanan rusak cukup menyiksa dan menghambat perjalanan karena kecepatan tidak
bisa dipacu maksimal. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi terasa
sangat lama. Baru sekitar jam 15,00 rombongan kami sampai di kota Rangkas. Perut terasa sudah kosong lagi,
terkuras energi di jalanan rusak, berdebu dan panas matahari yang menyengat. Sebuah
warung yang lumayan lengkap kami temui. Lumayan cukup banyak pilihan menu untuk
mengisi perut kami yang kosong ini. Baru saja selesai makan dan bersiap
melanjutkan perjalanan, hujan deras mengguyur kota Rangkas. Dan ternyata hujannya cukup
awet. Dua jam sudah kami menunggu tidak ada tanda hujan berkurang. Akhirnya
kami putuskan untuk menginap di Rangkas malam itu. Karena cukup berbahaya jika
kita kemalaman di daerah Gunung Kencana nanti. Mencari-cari penginapan, belum
juga dapat yang sesuai. Tiba-tiba ibu warung menawari kami untuk meninap di
rumahnya. Wah Alhamdulillah kalo begitu. Tidak masalah untuk kami walaupun
hanya beralaskan matras, yang penting bisa beristirahat mala mini untuk
melanjutkan kembali perjalanan besok yang masih panjang menuju Sawarna. Melahap
tanjakan Gunung Kencana yang kabarnya aduhai.
Sekitar
jam 9 pagi esok harinya, selepas sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Asep
yang sudah berkali-kali ke Sawarna beada di depan sebagai penunjuk jalan.
Jalanan relative jauh lebih baik kondisinya dibandingkan jalan yang kemarin
kita lalui. Karakter jalannya mulai sedikit banyak menanjak. Awalnya saya piker
wajar karena seperti yang saya tahu dari Asep, kita akan menuju kawasan gunung
Kencana. Tapi setelah beberapa jam berjalan, Asep baru sadar kalo jalan yang
kami lalui ternyata berbeda dengan jalan yang biasa dia lalui. Wah bagai
mendapat jackpot kagetnya, kami membuang waktu berjam-jam untuk rute yang
ternyata salah. Untuk kembali lagi ke kota
Rangkas rasanya tidak mungkin. Akhirnya Asep memutuskan untuk memotong jalan
seperti arahan penduduk. Berjam-jam kami melalui jalan “potong” yang ternyata
merupakan jalanan yang belum selesai pembangunannya. Masih berbatu dan
bercampur tanah. Perjalanan pun saya rasakan semakin berat. Apalagi untuk saya
yang baru kali ini melakukan touring dengan sepeda.
Keuntungan
dari “nyasar” ini, kami menemukan pemandangan yang cukup indah. Tidak seperti
jalur normal yang biasa saja, khas daerah pinggiran Banten. Berjam-jam kami
lalui jalanan setengah jadi ini sebelum akhirnya kami menemukan kembali jalan
yang sebenarnya menuju Gunung Kencana. Perjalanan menanjak yang sebenarnya pun
saya lalui. Jalanan aspal cukup halus membelah perkebunan sawit Gunung Kencana.
Cuaca sangat panas. Perbaikan jalan sedang berjalan di beberapa titik yang kami
lalui. Makan siang hari ini lumayan membangkitkan selera. Tanpa sengaja kami
menemukan warung kecil yang menjual satay maranggi. Lumayan mengenyangkan,
mengisi perut yang terkuras menghadapi tanjakan Gunung Kencana, yang seperti
Asep bilang memang aduhai.
Rombongan
sudah terpecah, tidak lagi berjalan berdekatan seperti sebelumnya. Kemampuan
fisik dan pengalaman berjalan panjang terlihat sangat berpengaruh. Saya sudah
tidak peduli lagi dengan siapa yang ada dimana, yang ada dipikiran saya cuma
bagaimana bisa mencapai Malimping, kota
kecil sebelum masuk daerah Sawarna. Sial memang tidak bisa di duga. Tas Pannier
yang baru saja saya beli di Rodalink, jebol sangkutannya ke rack. Baut
pengikatnya hilang pula. Tidak lama, tiba-tiba sebuah angkot berhenti. Di
dalamnya ada Iye dan Bayu yang menawari saya ikut naik angkot dengan mereka
menuju Malimping. Tak berpikir dua kali, saya iyakan ajakan itu. Pikiran
terlanjur kesal dengan pannier bag yang jebol. Angkot yang kami tumpangi sampai
di Malimping pukul 16,00. Sambil menunggu teman-teman yang lain, saya langsung
berusaha memperbaiki pannier bag. Untungnya, saya punya cadangan baut yang saya
simpan di tools box. Tidak lama pak Mito,
Devin dan Odel datang dan kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Sawarna.
Hari
semakin gelap dan hujan gerimis sudah mulai mengguyur membasahi perjalanan
kami. Kami memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan di pinggir jalan
sambil menunggu Asep. Beragam pesanan untuk mengisi perut yang kosong
dilayangkan ke pemilik warung. Sambil makan, candaan pun mengalir dari mulut
teman-teman. Apalagi setelah Asep tidak lama kemudian sampai juga di warung
itu. Hal lucu terjadi ketika kita membayar makan. Apapun makanannya, mulai dari
Indomie sampai nasi Ayam, harganya sama. Tentu saja hal itu membuat dongkol
kami yang hanya memesan indomie. Bukan marah yang keluar dari mulut kami, tapi
malah tawa yang berderai.
Asep
sebagai yang sudah tahu jalur berpesan kepada kami tentang perjalanan menuju
Sawarna. Perjalanan malam tentunya berbeda dengan perjalanan siang. Kami
diminta untuk saling menjaga jarak tidak lagi berjauhan seperti di Gunung
Kencana. Jalur yang akan kami lalui berikutnya akan didominasi dengan jalan
aspal halus di tengah hutan. Cuaca setelah hujan menimbulkan kabut tipis yang
menghalangi pandangan di tengah hutan itu. Kayuhan pelan tapi pasti terus kami
lakukan. Perjalanan naik turun, rolling menuju Sawarna. Cahaya lampu sepeda
kami tak mampu menembus kabut yang terus ada tak mau menyingkap. Tibalah kami
akhirnya di sebuah warung yang sudah tutup. Desiran angina laut akhirnya kami
rasakan. Di kejauhan di bawah sana
terlihat samar lampu-lampu dari rumah pedesaan. Yah akhirnya kami sampai di
desa Sawarna. Hampir jam 24,00 kami tiba di rumah kang Hendi. Tempat kami
menumpang menginap selkama di desa Sawarna. Dua buah saung telah disiapkan bagi
kami untuk menginap. Rasa lelah membuat kami tak banyak ngobrol malam itu.
Dalam sekejap, semua sudah terbuai dalam mimpi masing-masing.
Pagi
harinya, akhirnya saya baru bisa menikmati keindahan Sawarna seperti yang
selama ini saya dengar dari Asep. Pantai yang bersih dengan garis pantainya
yang panjang, tebing Tanjung Layar yang gagah menantang, dan masih banyak
tempat lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu keindahannya. Belum lagi
makanan lautnya yang berlimpah dan murah tentunya. Semua itu membuat kami betah
belum mau melanjutkan perjalanan yang seharusnya dilanjutkan menuju Sukabumi
hari itu. Kami sepakat untuk melupakan ke Sukabumi, kami extend menginap di
Sawarna. Belum puas mata ini rasanya menikmati satu lagi keindahan lukisan
Allah di muka bumi.
Hari
itu, hari Kamis di akhir April 2012. Selepas subuh, saya dan Emil menuju
bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng untuk berangkat ke Makasar dengan
penerbangan pertama. Segala rasa bercampur sudah sejak seminggu sebelum
keberangkatan ini. Bahkan malam sebelum berangkat mata tidak bisa terpejam.
Rasa over excited menguasai diri ini. Maklum perjalanan bike trip kali ini akan
menjadi perjalanan panjang, lebih dari 2 hari, pertama bagi saya dan Emil.
Hampir 600 km jarak antara Makasar dan Sorowako akan kami tempuh. Segala
persiapan, mulai dari peralatan, kesiapan sepeda, plotting jalur di peta,
hingga mencari kontak di sepanjang perjalanan untuk keperluan emergency pun
telah kami selesaikan. Di atas ketas perjalanan ini akan lancar tanpa halangan,
hanya kuasa Allah yang tidak mungkin dapat kami elakkan.
Tapi
rencana hanya sebatas rencana di atas kertas. Kendala pertama langsung
menghadang. Sepeda berikut perlengkapannya yang setahu kami masuk dalam sport
equipment dan tidak terkena bagasi, ternyata dihitung. Over baggage gila-gilaan
harus kami tanggung saat itu. Segala upaya negosiasi kami lakukan tapi tak
berhasil. Tak kurang dari 1 juta rupiah terpaksa di keluarkan hanya untuk
membayar over baggage. Saya dan Emil hanya bisa berdoa semoga awal tak baik ini
justru merupakan awal dari perjalanan yang menyenangkan. Hati dongkol pun
terpaksa kami simpan jauh-jauh. Segala obrolan canda kami buat untuk melupakan
kejadian tadi. Beruntung pesawat tidak terlambat, berangkat tepat pada
waktunya. Sepanjang perjalanan, kami gunakan untuk tidur, membayar hutang
istirahat semalam sebelumnya.
Saya
terbangun tepat ketika pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi melakuakn
p[ersiapan untuk pendaratan. Badan terasa begitu segar. Tidur pendek tapi
pulas, membuat kekuarangan tidur semalam terbayar sudah. Seperti biasa pesawat
ini mendarat dengan halus, dan akhirnya saya kembali ke tanah Celebes.
Setelah enam tahun yang lalu terakhir kali saya meninggalkan pulau nan indah
dan eksotis ini. Bandara Sultan Hassanudin sangat jauh berubah. Saat ini
bandara Hassanudin mungkin merupakan salah satu bandara terbaik di Indonesia.
Mata ini bagai tak percaya melihat perubahan yang ada di sana. Sulit di wakili oleh kata-kata yang
tepat untuk menunjukkan kekaguman saya terhadap perubahan yang terjadi.
Sambil
menunggu bagasi kami yang lumayan banyak, sahabat saya dari PT Vale, Imran,
yang kebetulan sedang di Makasar bertepatan dengan kedatangan kami, menelpon.
Ternyata dia menjemput kami di bandara. Wah ini adalah kejutan pertama dalam
perjalanan kami di tanah Celebes. Yang ada
dalam benak saya saat itu, lumayan untuk menghemat biaya transportasi kami
selama di Makasar. Kangen juga saya dengan sahabat saya yang satu itu. Saya dan
Imran sama-sama bekerja di Fire and Emergency Service PT Vale pada tahun 2006.
Sejak itu sesekali kami masih ketemu jika Imran bertugas di Jakarta atau hanya sekedar menjalin
komunikasi melalui BBM pun terus kami jalin. Dari bandara, Imran mengantar kami
menuju Rodalink untuk men-setup sepeda kami, untuk bisa siap digunakan dalam
touring menuju Sorowako esok harinya. Setelah dari Rodalink, kami menuju
penginapan dekat pantai Losari. Sebelum meninggalkan kami untuk istirahat,
Imran mengabarkan kalau nanti malam kami akan di jemput oleh teman-teman bike 2
work chapter Makasar. Wah-wah senang sekali perasaan kami, karena tidak ada
yang lebih indah dalam perjalanan selain menambah teman dan saudara. Dan Imran
pun pergi setelah kami janjian lagi untuk ketemu di Sorowako.
Nah,
perut lapar di siang hari pun mengalahkan rasa lelah kami. Saya dan Emil
memutuskan untuk mencari makan siang di sekitaran penginapan. Tidak sulit bagi
kami menemukan tempat makan. Hanya berjarak 100 meter dari penginapan, berjajar
tempat-tempat makan khas Makasar yang didominasi dengan menu makanan laut. Kalap
juga melihat ikan, cumi dan makanan laut lainnya yang tentunya sangat menggugah
selera. Dan pastinya dengan harga yang lebih murah di bandingkan dengan harga
makanan serupa di Jakarta.
Ya Makasar dan Sulawesi memang terkenal dengan
makanan lautnya yang luar biasa. Terbayang inilah kurang lebih yang akan kami
temukan hampir sepanjang perjalanan kami menuju Sorowako, mungkin kecuali di
daerah Toraja yang area pegunungan.
Selepas
tertidur di kamar yang dingin, berbeda dengan cuaca di luar yang super panas,
saya dan Emil menuju pantai Losari malam itu untuk bertemu dengan teman-teman
bike 2 work Makasar. Tante Titin menyambut kami dengan senyum. Bersama dia
ternyata sudah banyak juga om-om dan tante-tante yang juga ikut menyambut kami.
Perkenalan singkat pun terjadi, obrolan ngalur ngidul terjalin. Sungguh suasana
yang menyenangkan. Menghapus rasa kesal yang masih terselip tantang kasus
bagasi waktu keberangkatan dari Jakarta.
Pisang Epe, makanan khas Makasar, menemani perbincangan kami malam itu. Suasana
kekeluargaan timbul, menghilangkan kesan bahwa kami baru kenal beberapa menit
sebelumnya. Ini yang tidak berubah dari bumi Celebes,
keramahan luar biasa dari masyarakatnya. Ini juga yang membuat saya selalu
kangen dan selalu ingin kembali lagi ke sini. Tak ingin kekurangan istirahat,
saya dan Emil pamitan untuk kembali lebih dulu ke penginapan. Maklum kami
berencana berangkat selepas subuh besok harinya.
Alarm
berbunyi menandakan kami sudah harus bersiap untuk berangkat menuju Pare-pare
sebagai kota
tajuan kami di hari pertama perjalanan ini. Kurang lebih 155 km harus kami
tempuh hari ini. Setelah menyiapkan sepeda dan menyelesaikan pembayaran
penginapan, saya dan Emil pun mulai menggowes sepeda dengan pelan menyusuri
aspal kota
Makasar. Satu jam perjalanan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung
sate yang kebetulan sudah buka di pagi itu. Perut terasa enak setelah kena
hangatnya kuah sop kambing. Tapi saya merasakan kondisi badan sedikit drop
terkena flu dadakan pagi itu. Wah, ini akan menjadi obstacle tersendiri dalam
perjalanan kami nantinya. Tapi saya berusaha untuk tidak memikirkan sakit flu
yang mulai mendera.
Perjalanan
kami lanjutkan. Pemandangan indah sepanjang perjalanan tak pernah lepas dari
mata lensa kamera yang kami bawa. Perjalanan santai tapi stabil terus berjalan.
Kecepatan rata-rata kami antara 15-20 km/jam. Karakter jalan di lintas
Makasar-Parepare mirip dengan Pantura Jawa. Jalan raya dekat laut, panas luar
biasa dan aspal rusak di sana-sini mendominasi etape hari ini. Tapi semua
sesuai dengan perhitungan yang kami buat. Tepat jam makan siang sekitar pukul
13,00 waktu Indonesia tengah
kami memasuki kota
Barru. Disini kami memanfaatkan untuk istirahat dan makan siang. Tak ada yang
istimewa dari kota
ini. Kota kecil di pinggir laut selat Sulawesi,
yang menjadi kota
singgah kendaraan-kendaraan pengangkut kebutuhan pokok untuk perdagangan. Cuaca
sangat panas ternyata berdampak tidak baik pada flu yang mendera tubuh saya.
Terasa badan semakin drop. Tapi saya bertekad harus menyelesaikan etape ini
sampai di parepare.
Kondisi
badan yang drop membuat perjalanan menuju Parepare malambat. Target yang kami
buat tak tercapai. Kami menargetkan sekitar sebelum maghrib sudah bisa masuk kota Parepare. Ternyata
kami baru bisa masuk kota
sekitar pukul 19,00. Dalam keadaan lelah, kami mencari penginapan. Peta yang
kami gunakan di GPS ternyata sudah tidak akurat. Sudah banyak nama jalan dan
penginapan yang berubah. Alhamdulillah kami bertemu dengan seorang tukang becak
yang baik hati, yang telah dengan tulus mengantarkan kami menuju penginapan.
Penginapan kecil, bangunan lama, tapi bersih, makanannya enak dan tentunya
murah. Yah suatu berkah bagi kami hari ini.
Menanggapi
kondisi badan saya yang drop, malam itu sebelum istirahat, saya dan Emil membuat
Plan B jika sampai besok kondisi badan saya masih jelek. Kami merencanakan jika
sampai bsk pagi badan saya tidak membaik, maka kami akan menyewa mobil bak
untuk mengevakuasi kami hingga Makale, kota
kecil pintu masuk kota
Toraja. Saya berkeras walaupun sedikit, harus dipaksakan untuk tetap bersepeda
untuk menjaga kondisi otot kami. Dan inipun kami sepakati malam itu. Setelah
makan malam yang lezat dan sebelum tidur, saya minum obat flu yang kami bawa
dari Jakarta.
Dan malam itu manjadi malam yang sangat nyaman untuk badan saya terutama dalam
tidur.
Sama
seperti sebelumnya, kami bangun tepat waktu subuh. Dan yang kami takutkan
terjadi. Badan saya masih drop, jadi plan B pun dilakukan. Kami akan men-skip kota Enrekang sebagai
target di hari ke dua. Dan langsung dengan mobil menuju Makale, dan dilanjutkan
dengan sepeda menuju Toraja. Emil langsung meminta bantuan petugas hotel untuk
membantu mencarikan kendaraan untuk kami. Sambil menunggu, saya dan Emil
menyiapkan barang-barang dan sarapan mengisi perut pagi itu. Sekitar jam 9
pagi, mobil yang kami sewa pun tiba. Kami langsung packing sepeda dan
barang-barang dalam bak mobil. Sepanjang perjalanan saya tidur terus, berusaha
untuk mengembalikan kondisi tubuh. Mobil sempat beristirahat di kawasan gunung
Nona di Enrekang tepatnya di kaki tebing Bambapuang, sebelum melanjutkan
perjalanan menuju Makale. Sekitar jam 13,00 akhirnya kami tiba di Makale. Sang
supir menurunkan kami di depan tempat makan di kota itu. Saya yang terus tidur sepanjang
perjalanan, merasa badan sudah jauh lebih baik kondisinya. Mudah-mudahan
setelah makan siang, badan ini akan semakin membaik.
Gak
disangka, ternyata pemilik rumah makan itu juga penggiat bersepeda di kota Makale. Sedikit
perbincanganpun terjalin antara kami dengan pemilik rumah makan dan beberapa
temannya. Sungguh perjalanan yang berkah untuk saya. Sekali lagi menambah teman
dan keluarga di tempat yang jauh dari rumah, luar biasa. Dari mereka kami
mendapatkan gambaran perjalanan Makale menuju Toraja sekaligus juga referensi
penginapan di Toraja nanti. Setelah saling bertukar alamat FB, kami pun
melanjutkan perjalanan. Sesuai harapan, selepas makan siang pun, badan saya
jauh membaik. Dan perjalanan menuju Toraja bisa dengan lancar kami tempuh. Jam
16,00 kami memasuki wilayah Tana Toraja. Saya dan Emil menyempatkan mampir ke
salah satu desa wisata disana. Namanya Kete Kesu. Kurang lebih sekitar 1 km masuk
ke dalam dari jalan utama. Desa tradisional dengan rumah adat dan pemakaman
keluarga di bibir tebing menjadi pemandangan kami disana. Sayang saat itu tidak
ada upacara adat pemakaman yang menjadi daya tarik Toraja selama ini.
Setalah
puas berkeliling Kete Kesu, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari
penginapan sesuai referensi kawan-kawan dari Makale. Hampir jam 18,00 akhirnya
kami sampai di penginapan. Sejauh ini sambutan masyarakat di sepanjang
perjalanan kami hingga di Toraja ini sangat luar biasa. Begitu juga di
penginapan di Toraja ini. Apalagi setelah mengetahui kami dari Jakarta dan menggunakan
sepeda dalam perjalanan kami. Ruangan khusus disiapkan untuk sepeda kami
parkir. Tak kurang dari manager hotel di malam itu, yang turun langsung
membantu kami. Beberapa tamu manca Negara juga sempat berbincang dengan kami
menanyakan pejalanan kami menuju Toraja. Setelah mandi dan bersih-bersih. Kami
mencari makan malam sekaligus juga mencari oleh-oleh khas Toraja. Seorang
keponakan dari teman lama yang tinggal di Toraja menjadi guide kami malam itu
di kota Toraja.
Sayang tidak bisa bertemu si kawan lama yang kebetulan hari itu justru sedang
di Jakarta.
Hari
ke tiga perjalanan kami adalah menuju kota
Masamba, melaui kota
Palopo. Target kami bisa makan siang di Palopo dan tiba di Masamba sebelum
maghrib. Perjalanan hari ini berat di sekitar 26 km pertama. 26 km pertama ini
karakter medannya adalah tanjakan panjang berkelok-kelok. Mengingatkan saya
akan kondisi puncak, jawa barat, ketika saya kecil dulu. Jalanan tidak lebar,
kanan-kiri hutan, jarak antar rumah penduduk jauh dipisahkan hutan dan
persawahan, dan juga tentunya kabut yang berulang kali turun menemani
perjalanan kami. Sesampai di ujung tanjakan panjang ini, medan
berikutnya adalah turunan panjang sekitar 40-an km menuju kota Palopo. Sesuai target, tepat jam makan
siang, kami tiba di Palopo. Agak sulit kami menemukan tempat makan yang baik di
jalur Palopo-Masamba. Akhirnya pilihan kami jatuhkan di warung gado-gado.
Jangan membayangkan gado-gado seperti di tanah betawi, sangat jauh tentu
rasanya dan tampilannya. Tapi tidak ada pilihan, kami harus mengisi perut kami
yang kosong. Menuju Masamba adalah perjalanan membosankan. Jalanan lurus dan
flat harus kami santap. Di tambah cuaca panas yang lagi lucu-lucunya.
Tepat
jam 16,00 kami memasuki kota
Masamba. Tempat penginapan yang di rekomendasikan oleh Imran langsung kami
tuju. Tepat di KM 0 kota Masamba dan di depan
kantor polisi kota
Masamba adalah letak dari hotel ini. Dari depan kondisi hotel sepertinya sangat
baik, tapi jangan di tanya bagaimana kondisi dalamnya. Sangat tidak layak.
Pendingin ruangan yang tidak berfungsi, kamar madi yang bocor airnya, aroma
kamar yang apek khas kamar lama kosong menjadi teman kami malam itu. Tapi
lelahnya badan setelah seharian bersepeda, membuat kami tidak lagi merasakan
kekurangan kondisi hotel ini. Rasa lelah membuat otak kami seolah enggan lagi
memikirkan yang jelek-jelek.
Di
kota Masamba
bukan hanya mencari penginapan layak yang menjadi obstacle tapi juga mencari
makanan layak. Dan masalah makanan, masih kami alami selama perjalanan di hari
ke empat, etape Masamba-Malili. Hanya ada orang berjualan gorengan dan ketan di
pagi hari itu. Tapi Alhamdulillah, si ibu penjual mau memberikan nasi yang
seharusnya di masak untuk keluarganya untuk kami. Dan disini keramahan luar
biasa kembali kami temui sepanjang perjalanan, selain si ibu penjual sarapan
tadi. Tak sedikit penduduk yang menyempatkan berhenti ketika melihat kami
istirahat, hanya untuk sekedar menemani mengobrol. Belum lagi si keluarga
petani rambutan yang sudah memberikan saungnya untuk tempat kami beristirahat
siang itu, ditemani rambutan hasil panen dan teh manis hangat. Sungguh luar
biasa. Suatu keramahan tanpa pamrih yang bahkan kita sudah sulit temui di tanah
Jawa apalagi Jakarta.
Cuaca panas menemani kami menembus jalan di atara hutan sawit sepanjang
Masamba-Malili.
Tapi
tanpa terasa, ternyata perjalanan di hari ke empat ini lebih cepat dari target
yang kami buat. Belum sampai jam 12,00 siang, kami sudah sampai di Wotu. Wotu
adalah persimpangan jalan antara menuju Poso di Sulawesi Tengah dan menuju
Malili atau Kendari. Disini banyak warung penjual makanan berjajar si sepanjang
pinggiran jalan. Tapi sayangnya tidak ada satupun kami jumpai yang menjual nasi
dan lauknya. Warung-warung tersebut hanya berjualan makanan ringan, minuman dan
indomie rebus. Gak punya pilihan, kami toh harus mengisi perut kami sebelum
melanjutkan perjalanan ke Malili. Akhirnya Indomie dua porsi pun saya dan Emil
santap. Hanya berdoa dalam hati, semoga ini cukup untuk booster tenaga kami
menuju Malili. Selagi makan siang, tiba-tiba handphone sayan berbunyi. Di layar
tampak nomer yang tidak saya kenal. Ternyata itu adalah telpon dari teman-teman
sepeda di kota
Malili. Imran ternyata sudah mengabari mereka kalo kami akan tiba di Malili.
Mereka menanyakan kami sudah di mana. Betapa terkejutnya mereka ketika saya
bilang ada di Wotu. Karena perkiraan mereka kami baru tiba di Malili sekitar
dua hari lagi. Yah normalnya memang, jika sesuai dengan rencana, kami baru akan
masuk Malili besoknya. Kami lebih cepat satu hari karena kami sempat “mencuri”
hari dalam perjalanan menuju Toraja saat saya sakit.
Selepas
makan dan melepas lelah, saya dan Emil pun melanjutkan perjalanan. Emil tampak
drop kondisinya. Dia terus tertinggal jauh. Cuaca panas, suasana perjalanan
yang membosankan karena relative flat dan membelah hutan sawit, tampaknya
mempercepat penurunan kondisi Emil. Tapi walaupun demikian perjalanan menuju
Malili tetap relative cepat. Jam 16,00 kami sudah masuk kota Malili. Di luar dugaan, teman-teman
komunitas sepeda di Malili menjemput kami di batas kota. Mereka rata-rata masih berseragam
kantor, menandakan mereka membelakan waktu mereka hanya untuk menyambut kami.
Rasa haru dan senang berbaur di hati menerima sambutan seperti ini. Minuman
dingin sudah mereka siapkan untuk kami. Luar biasa memang teman-teman sepanjang
perjalanan Celebes ini. Jangan menilai mereka
dari cara mereka berbicara, karena cara bicara mereka memang cenderung keras
untuk kita yang dari tanah Jawa. Tapi hati mereka sangat ramah dan baik. Ini
yang membuat saya selalu cinta tanah Celebes.
Mudah-mudahan ini tidak tergerus oleh jaman.
Malam
itu kami menginap di penginapan milik salah satu anggota komunitas sepeda
Malili, Verbeck nama komunitasnya. Sepanjang jam tak berhenti gelombang
rekan-rekan lain lagi yang datang untuk bertemu dengan kami. Sampai malam
bahkan, masih saja ada yang datang untuk menemui kami. Tidak banyak perubahan
di kondisi fisik kota
Malili dibandingkan terakhir saya ke sini di tahun 2006. Tetap merupakan kota pelabuhan kecil yang
sepi tapi nyaman. Hujan gerimis panjang, menemani istirahat kami malam itu.
Dan
hari terakhirpun tiba. Selepas subuh saya dan Emil mulai mengayuh sepeda
membelah kota Malili menuju Sorowako, ditemani
hujan gerimis yang masih saja mengguyur kota
Malili. Etape terakhir ini paling pendek di bandingkan perjalanan kami di
hari-hari sebelumnya. Hanya 55 km, tapi full tanjakan. Karena kota Malili yang di pinggir laut, sementara
Sorowako adalah daerah pegunungan. Setengah jam kami mengayuh sepeda, suasana
daerah pertambangan mulai terasa. Kondisi jalan dan marka-marka jalan khas
pertambangan mulai menjadi pemandangan kami. Berbagai jenis kendaraan berat
milik PT Vale juga berkali-kali berpapasan atau melewati kami. Selintas,
berbagai memori ketika saya bekerja disana kembali menguasai pikiran. Ini
memang daerah yang ngangeni kalo kata orang Jawa. Pemandangan luar biasa kami
temui sepanjang perjalanan menuju Sorowako. Mulai dari danau buatan untuk PLTA
sampai air terjun kecil di pinggir jalan. Pemandangan alam yang “mahal”. Belum
tentu rasa yang sama akan kami dapatkan jika kami melewati jalur ini dengan
bermobil.
Jam
12.00 siang kami memasuki kota
Wasuponda. Disini kami mencari makan siang sekalian saya mencoba menghubungi
Asmar, teman kuliah yang sekarang bekerja di PT Vale dan tinggal di Wasuponda.
Sayang Asmar sedang di kantor, jadi kami belum bisa bertemu saat itu. Saya juga
menghubungi Chief Anto. Nah yang satu ini adalah mantan Bos saya ketika kerja
di PT Vale. Begitu saya kasih tau kalo sudah di Wasuponda, chief Anto kaget,
karena dia gak menyangka saya benar-benar akan bersepeda dari Makasar sampai
Sorowako. Dia berpesan untuk segera kasih kabar begitu masuk Sorowako. Makan
siang kami cukup nikmat. Ikan bakar nan lezat kembali bisa kami nikmati.
Membayar kesulitan makan kami sepanjang Masamba.
Karakter
jalan Wasuponda-Sorowako dahsyat. Tanjakan makin terjal dan tajam. Gir paling
ringan di sepeda kami gunakan. Kayuhan pelan terus dilakukan. Dan tetap hanya
mampu beberapa kayuhan harus istirahat kembali. Lucu sebenarnya kalo kita
memperhatikan ekspresi dari para pengendara kendaraan bermotor yang melewati
kami. Hampir semua pasti menengok dan melihat kami dengan pandangan “melongo”.
Seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mungkin di benak mereka
bilang kalo kami gila. Sebagai informasi, memang di kawasan ini sudah banyak
komunitas bersepeda. Tapi belum banyak yang melakukan touring jarak jauh
seperti yang kami lakukan. Sebelum kami, hanya chief Anto dan keponakannya yang
sudah menjajal rute yang sama seperti yang kami lalui. Saya masih hapal benar
dengan jalan ini. Bahakan masih ingat beberapa spot yang memiliki tanjakan
cukup berat. Menjelang masuk kota
Sorowako, saya ingat akan kita temui satu tanjakan tajam yang sangat panjang.
Maka sebelum sampai di tanjakan itu saya mengajak Emil utnuk istirahat di
sebuah warung minuman dingin. Toh ternyata kami jauh lebih cepat dari target
waktu yang kami rencanakan. Disini kami benar-benar melepas lelah, istirahat
cukup panjang. Mengumpulkan tenaga untuk tanjakan pamungkas memasuki kota tambang Sorowako.
Kehadiran
kami ternyata kembali mengundang ketertarikan penduduk sekitar. Anak-anak kecil
menegrumini sepeda kami, sementara ada beberapa bapak yang mengajak kami
mengobrol. Menannyakan perjalanan kami menuju Sorowako. Tiba-tiba dari kejauhan
ada sebuh mobil yang cukup saya kenal, mendekat ke warung tersebut dari arah
Sorowako. Gak salah itu adalah mobil dinas Chief Anto, dengan warna hijau khas
departemen Fire and Emergency Services. Ternyata dia gak sabar untuk bertemu
saya dan Emil. Sambil geleng-geleng kepala dia menyalami kami saat itu.
Pertemuan yang singkat karena dia harus kembali bertugas. Sebelum pergi dia
mengajak kami malam itu makan malam bersama dengan beberapa rekan FES dan teman lain di PT Vale. Wah-wah, dalam hati saya
dan mungkin juga Emil, ini kesempatan balas dendam makan nih. Memperbaiki gizi
makanan yang kami konsumsi.
Setelah
merasa tenaga sudah pulih, kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh, tanjakan
yang kami tunggu pun menanti di depan mata. Kembali saya istirahat di ujung jalan
sebelum menanjak sambil mengambil foto Emil yang langsung melahap tanjakan
panjang itu. Dan sayapun mulai mengayuh pelan melahap tanjakan terakhir ini.
Pelan tapi pasti, akhirnya saya sampai di ujung tanjakan. Marka jalan yang
menunjukkan Sorowako menyambut kami. Plant Site lokasi tambang nikel PT Inco
pun sudah terlihat di depan kami. Gak bisa kami sembunyikan rasa senang di
hati, karena setelah berhari-hari, kami akhirnya sampai di tujuan. Setelah ini
jalan hanya turun terus sampai masuk di kota
Sorowako. Kota
surga di tepian danau Matano. Sesampai di Sorowako jam masih menunjukkan jam
16,00. Saya mengajak Emil untuk keliling kompleks pemukiman karyawan PT Vale
dulu. Mengenang masa-masa tinggal di Jalan Sulawesi.
Melihat rumah yang dulu saya tempati, yang kinipun kondisinya masih kosong
tanpa penghuni. Setelah itu saya antar Emil untuk menikmati panorama danau
Matano. Landmark Sorowako. Salah satu danau terindah yang pernah saya jumpai.
Termasuk salah satu danau terdalam di dunia dan salah satu danau purba yang ada
di Indonesia.
Pemandangan yang luar biasa. Dan perjalanan Makasar-Sorowako pun kami akhiri di
tepian danau Matano.
Saya
sadar bahwa mungkin secara jarak ini bukan apa-apa dibandingkan dengan
rekan-rekan peturing lainnya. Tapi pengalaman yang kami dapatkan sepanjang
perjalanan, menjadi ilmu sangat mahal yang kami dapatkan. Dan kami pun
menyatakan dalam hati, bahwa ini adalah bukan yang terakhir, tetapi merupakan
langkah awal kami untuk perjalanan berikutnya. Bukan jarak dan kecepatan yang
kami cari, tetapi pelajaran hidup dan rasa mensyukuri rejeki Allah yang kami
cari. Ya jalan masih panjang di hadapan kami untuk di jelajahi kembali…..