Saturday, April 27, 2013

Pesona Gunung Gede-Pangrango, Mutiara di Bumi Cianjur


Dua kali sudah usaha saya untuk mendaki ke gunung Kinabalu di Malaysia batal Karena masalah permit pendakian yang gagal didapat karena terbatasnya jumlah pendakian di sana. Tak terbayang begitu banyaknya orang yang ingin mendaki kesana, bahkan banyak diantaranya adalah turis-turis asing. Banyak sudah foto-foto dan literature yang say abaca tentang gunung Kinabalu dari teman-teman yang sudah melakukan pendakian kesana. Kesimpulan saya adalah, kita di Indonesia memiliki banyak gunung yang jauh lebih indah dari gunung Kinabalu di Sabah, Malaysia. Salah satu gunung indah yang kita miliki adalah sepasang gunung “kembar”, gunung Gede-Pangrango di cianjur, Jawa Barat.

            Tidak hanya indah dari kondisi alamnya, tapi gunung Gede-Pangrango juga kaya akan potensi alam, sejarah hingga mitos. Sayang sekali kekayaan tiada dua yang dimiliki belum bisa dimaksimalkan hingga kini. Banyak fasilitas yang belum mendapat perhatian seperti halnya di taman nasional gunung Kinabalu. Ini mungkin yang menyebabkan gunung Gede-Pangrango dan gunung lainnya di Indonesia belum mampu di “jual” seperti halnya Kinabalu.

            Mari kita lupakan Kinabalu dan mulai bicara tentang Gede-Pangrango. Gunung Gede adalah salah satu gunung berapi aktif yang terletak di Cianjur, Jawa Barat. Gunung Gede bagaikan gunung kembar dengan gunung Pangrango yang bersebelahan dengannya. Kedua gunung ini memiliki kekayaan flora fauna yang luar biasa hingga kini. Statusnya sebagai taman nasional menjadikan gunung Gede-Pangrango bagaikan tempat yang nyaman bagi beberapa flora dan fauna yang dilindungi. Tersebut diantaranya Owa Jawa, Macan Kumbang, Elang Jawa menjadi penghuni di wilayah taman nasional ini. Selain itu wilayah ini juga menjadi salah satu tempat singgah bagi banyak jenis burung. Sehingga banyak pula para peneliti dan pengamat burung yang memilih Taman Nasional Gede-Pangrango sebagai laboratorium alam mereka.

            Ada kaiitannya dengan laboratorium alam, sesungguhnya wilayah gunung Gede-Pangrango sudah sejak lama menjadi laboratorium alam penelitian para ahli. Tepatnya sejak masa penjajahan Belanda. Salah satu bukti yang bisa di lihat hingga kini adalah dengan adanya Kebun Raya Cibodas di kaki gunung Gede-Pangrango. Bahkan konon kabarnya di sekitar pos pendakian Kandang Badak, masih terdapat sisa reruntuhan bangunan laboratorium penelitian biologi Belanda. Jika hal ini benar, tentunya betapa besar potensi sejarah yang dimiliki taman nasional ini.

            Masih berkaitan dengan sejarah di masa penjajahan Belanda, dalam beberapa literature yang ditulis oleh para petualang Belanda, menyatakan bahwa ternyata gunung Gede-Pangrango juga merupakan salah satu tempat tinggal terakhir dari badak Jawa. Bahkan dalam bukunya, Junghuhn menulis, dalam pendakiannya dia bertemu dengan sekumpulan badak Jawa yang sedang minum di sumber air, tepatnya yang saat ini kita kenal dengan pos pendakian Kandang Badak. Nama pos pendakian ini pun di ambil untuk mengenang kejadian yang di alami oleh Junghuhn. Sayangnya kini tak ada lagi badak Jawa yang masih bisa kita temukan di taman nasional ini.

            Masih bicara tentang potensi sejarah gunung ini, masih teringat dalam benak saya cerita dari almarhum bapak Ook, yang rumahnya sering saya dan kawan-kawan tumpangi sebelum mendaki ke gunung Gede-Pangrango. Dia pernah bercerita bahwa gunung Gede-Pangrango juga merupakan basis benteng terakhir dari para tentara pemberontak DI/TII. Di masanya, para tentara pemberontak, di malam hari sering turun ke perumahan masyarakat untuk meminta makanan, terutama kediaman bapak Ook yang pada masa itu adalah rumah terdekat dari batas hutan gunung Gede-Pangrango. Menurut cerita dari para senior yang sudah mendaki disana sejak tahun 60-an, juga tidak jarang dalam pendakiannya mereka menemukan sisa-sisa camp dan kotak-kotak peluru yang di duga merupakan sisa peninggalan para tentara pemberontak DI/TII.

            Selain dari potensi alam dan sejarah, Taman Nasional Gede-Pangrango juga menyimpan kisah-kisah mithos dari kepercayaan masyarakat sekitar. Setidaknya ada dua mithos yang kuat melekat di gunung Gede-Pangrango yang saat ini bisa saya dapatkan. Mithos pertama ada di wilayah air terjun Cibereum di jalur pendakian Cibodas. Di tengah derasnya air yang jatuh, ada sebongkah batu yang sekilas mirip dengan orang besar berjubah. Penduduk sekitar percaya bahwa batu tersebut adalah perwujudan dari seorang pertapa yang begitu khusuk dalam pertapaannya hingga akhirnya membatu.

            Cerita mithos lainnya ada di alun-alun Suryakencana. Alun-alun Suryakencana adalah savanna luas dekat kubah puncak gunung Gede yang di penuhi oleh pohon edelweiss. Nama Suryakencana diambil dari mithos tentang seorang pangeran kerajaan Padjajaran yang melarikan diri bersama pasukannya ke gunung Gede, ketika kerajaan Padjajaran dihancurkan. Dan dalam pelariannya tersebut sang pangeran berikut pasukannya di percaya masyarakat muksa atau naik ke nirwana. Hingga kini di saat-saat tertentu ada beberapa orang yang pernah bersaksi mendengar suara derap pasukan berkuda dan suara ringkikan kuda di area alun-alun Suryakencana. Ada versi cerita lain yang mengatakan pangeran Suryakencana adalah anak keturunan raja Padjajaran dari pernikannya dengan seorang jin.

            Tentunya mithos-mithos tersebut sulit untuk bisa dipercaya dengan logika. Di luar kita percaya atau tidak, mithos-mithos yang ada di gunung Gede-Pangrango justru menambah daya tarik dari gunung indah ini. Ya Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, hingga saat ini masih merupakan gemilang mutiara yang belum maksimal terasah. Kepedulian pemerintah baik daerah maupun pusat, juga kepedulian para pendaki dalam menjaga kebersihan dan kelestarian di kawasan ini, tentunya sangat diharapkan untuk bisa membuat kawasan ini menjadi kawasan unggulan. Tidak hanya sebatas tingkat daerah, tapi bisa menyaingi gunung Kinabalu di kawasan Asia Tenggara. Ini baru satu contoh kawasan unggulan yang belum terasah. Sementara begitu banyak, bahkan mungkin ribuan lokasi yang bisa menjadi unggulan wisata Indonesia yang hingga kini bagai terabaikan.

Monday, April 15, 2013

Sorowako, Potensi Alam Celebes


 

           Sorowako, pertama kali mendengar nama ini adalah di tahun 90an. Ketika kakak saya bekerja di PT INCO yang berbasis di Sorowako. Kesan pertama dari nama itu adalah tempat yang terpencil dan serba terbatas. Apalagi ketika dengar kalau keponakan-keponakan saya berenang di danau. Hati ini makin miris membayangkan kehidupan kakak saya dan keluarga yang serba terbatas di daerah terpencil. Tapi semua bayangan itu sirna seketika, ketika di tahun 2006 saya mendapat kesempatan untuk bekerja disana. Jatuh Cinta pada pandangan pertama, itulah kata yang tepat mewakili perasaan saya saat itu.

            Setelah satu jam penerbangan dari Makasar dengan menggunakan pesawat perintis milik Pelita Air Service, sampailah saya di bandara mungil kota Sorowako. Kota di tengah pegunungan Verbeck, Nuha, Sulawesi Selatan. Kesan yang pertama saya rasakan dalam perjalanan dari bandara, kota ini adalah kota kecil yang sangat teratur dan tertib lalu lintasnya. Mobil perusahaan yang menjemput saya, bahkan tidak mau jalan sebelum para penumpangnya semua menggunakan seat belt. Mobil melaju perlahan sesuai anjuran rambu lalu lintas. Suatu situasi lalu lintas yang belum pernah saya temukan di Jakarta.

            Memasuki kompleks perumahan karyawan, seperti memasuki surga dunia yang selama ini saya impikan. Rumah-rumah panggung berbahan kayu di kelilingi oleh pohon-pohon besar membuat suasana yang memang berudara sejuk pegunungan, semakin sejuk. Tak hanya sejuk di mata, tapi juga sejuk di hati tentunya. Bentuk rumah panggung tidak diadopsi dari bentuk rumah panggung tradisional Indonesia, tetapi merupakan adopsi dari bentuk rumah di Canada, tempat asal perusahaan INCO. Sayang, padahal budaya arsitektur tradisional Indonesia juga banyak mengenal bentukan rumah panggung yang tentunya sesuai dengan kondisi alam sekitarnya.

            Suasana kerja yang terbagi menjadi tiga shift dalam seharinya, secara tidak langsung membuat saya lebih disiplin waktu. Terutama dalam membagi waktu untuk makan, istirahat dan olah raga. Untuk fasilitas olah raga, kota ini tidak ada kurangnya. Mau jenis olah raga apapun, hampir semua bisa kita lakukan. Fitness Center dengan peralatan yang sangat baik, bisa diakses kapan pun. Bersepeda gunung ataupun berlari lintas alam, Sorowako juga surganya. Apalagi yang mencintai olah raga air. Berenang, kayaking, diving, windsurfing, jet ski ataupun sekedar memancing, bisa dilakukan di danau Matano yang sangat jernih airnya.

            Danau Matano adalah salah satu dari tiga danau yang ada di daerah Sorowako. Danau lainnya bernama danau Mahalona dan danau Towuti. Danau Matano adalah danau yang terkecil diantara dua danau lainnya. Tapi jangan salah, Matano merupakan danau nomer tujuh terdalam di dunia dan terdalam di Asia Tenggara. Dan kabarnya danau Matano juga merupakan salah satu danau purba yang terletak di Indonesia. Bagi orang yang menyukai olah raga selam, menyelam di danau Matano tentunya akan memiliki sensasi tersendiri. Danau Matano memiliki jarak pandang yang baik, ini dikarenakan airnya yang sangat jernih. Begitu jernihnya hingga jika kita masih berada tidak jauh dari tepian, kita bisa melihat dasar danau. Di danau ini pula kabarnya masih di temukan, tumbuhan air dan binatang air yang endemic atau hanya ada di danau Matano. Belakangan ini, para penyelam juga menemukan banyak peninggalan bersejarah masa lalu di dasar danau Matano. Penemuan itu berupa antara lain, pecahan gerabah dan lain-lain.

            Bicara tentang sejarah daerah ini, ternyata pada masanya di tepian danau Matano terdapat sebuah kerajaan yang konon tertua di Sulawesi. Lebih tua dari kerajaan Gowa. Dan kabarnya pula, pada masa itu terjalin hubungan yang baik antara kerajaan Matano dan kerajaan Majapahit. Diduga kerajaan Matano lah yang mensuplai senjata untuk keperluan kerajaan Majapahit. Hal itu dikaitkan dengan catatan dalan kitab Negarakertagama yang menyiratkan hal tersebut. Bahkan ada jenis pamor pada keris Jawa, yang menggunakan namanya. Jika dilihat dari masa sekarang, tentunya bukanlah tidak mungkin. Mengingat sampai saat ini pun daerah Sorowako terkenal sebagai penghasil nikel yang terbaik dan terbesar di dunia. Beberapa kali penelitian arkeologis pun dilakukan oleh para ahli dari UNHAS. Sayangnya, menurut sumber di Sorowako, penelitian-penelitian yang dibuat belumlah tuntas hingga kini karena terhalang masalah biaya. Mudah-mudahan suatu hari nanti semua misteri arkeologis Sorowako dengan Matanonya bisa terungkap.

            Tidak jauhnya jarak Sorowako dengan laut, membuat kita tidak sulit menemukan makanan laut segar di kota ini. Banyak restoran dan tempat makan yang menyediakan makanan laut. Salah satu makanan khas Sorowako, Paco’ dan Kapurung juga menggunakan ikan sebagai bahan bakunya. Bagi yang kurang menyukai makanan laut, tidak perlu khawatir. Karena banyak tempat makan, terutama di hotel-hoter seputaran Sorowako menyediakan berbagai jenis makanan, baik local ataupun internasional. Tapi sebaiknya jangan terlalu berharap banyak tentang rasa makanan, selain makanan laut. Tidak bisa dibilang tidak enak, tapi juga tidak bisa dibandingkan dengan makanan serupa yang kita jumpai di Jakarta misalnya.

            Yang sedikit sulit di Sorowako mungkin adalah penginapan yang layak dan memiliki harga yang sesuai. Penginapan bisa dengan mudah kita jumpai di Sorowako. Tapi harga yang harus dibayar seringkali membuat kita mengernyitkan dahi jika kita bandingkan dengan apa yang kita dapatkan. Penginapan di Sorowako terbiasa mendapatkan tamu dari para kontraktor ataupun tamu perusahaan PT INCO. Sehingga mereka menerapkan standard harga yang cukup tinggi. Berbeda dengan daerah-daerah wisata lain yang tersebar di Indonesia.

            Keindahan alam luar biasa dan keramahan masyarakatnya, membuat saya langsung jatuh cinta pada daerah ini. Sekaligus membuat saya berat ketika harus meninggalkan Sorowako untuk kembali ke Jakarta. Sorowako adalah surga, yang jika dapat dikelola dengan benar akan menjadi sumber kehidupan yang tidak habis bagi masyarakatnya. Tidak hanya hasil nikelnya yang sangat layak jual, tapi keindahan alam dan potensi sejarah Sorowako, tentunya sangat masih bisa di olah sebagai sumber pendapatan alternative bagi masyarakat Sorowako. Yang perlu diingat, material tambang pasti lah ada habisnya. Suatu hari nanti nikel akan habis dan INCO yang sekarang berubah nama menjadi PT VALE akan meninggalkan Sorowako. Tapi potensi alam dan sejarah yang dimiliki Sorowako tidak akan ada habisnya. Apalagi jika mulai dari sekarang masyarakat dan pemerintah daerah bisa memulai usaha untuk menyelamatkan asset tersebut. Sorowako mungkin kini jauh dari mata saya, tapi Sorowako akan selalu ada dalam hati. Sorowako adalah surga yang terjatuh di bumi Celebes.

Sawarna, Surga Tersembunyi yang Mulai Tergerus Jaman



            Hingga beberapa tahun lalu, mungkin tidak banyak orang yang tahu nama desa Sawarna. Mungkin hanya sebatas mendengan nama iya, tapi hanya segelintir orang saja yang pernah mengunjungi tempat itu. Keindahannya, membuat desa Sawarna mendapat julukan “Surga yang Tersembunyi di Selatan Jawa”. Tapi sangat berbeda dengan kondisi dua hingga satu tahun terakhir. Di saat liburan terutama, desa Sawarna sudah layaknya tempat-tempat hiburan pada umumnya. Ramai bagaikan pasar, padat akan manusia dan kendaraan bermotor. Penginapan-penginapan di sekitar sana pun penuh oleh pengunjung. Jangan lagi membayangkan tempat sunyi nan damai di tepian laut selatan Jawa. Sudah jauh panggang dari api.

            Desa Sawarna, merupakan sebuah desa yang terletak di pantai selatan Jawa. Secara administrative desa ini berada di wilayah provinsi Banten. Untuk mencapainya, dapat di akses melalui jalur Sukabumi ataupun Pandeglang. Desa Sawarna terkenal dengan pantai pasir putihnya yang memiliki garis pantai hingga 65 km, dan juga memiliki ombak yang sangat bagus untuk kegiatan surfing. Sebenarnya selain dari keindahan alamnya yang sangat menawan, Sawarna menyimpan sejuta pesona lainnya. Tidak kurang dari latar belakang sejarah dan budaya yang dimiliki Sawarna, layak untuk disimak.

            Daerah ini sangat kental sebenarnya dengan bagian dari jejak sejarah penjajahan Belanda dan Jepang pada masanya. Sangat menarik jika di perhatikan, desa Sawarna yang terletak di wilayah Banten, ternyata memiliki budaya Priangan yang lebih kental. Jika di tarik ke belakang, ternyata ini ada kaitannya dengan kehadiran perkebunan dan pertambangan batu bara tradisional milik Belanda di daerah Sawarna. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Sawarna, Belanda yang saat itu membuka perkebunan kelapa, membawa para pekerja dari daerah Sukabumi dan Bandung untuk mengerjakan perkebunan tersebut. Daerah yang masih kosong tanpa penduduk itupun, akhirnya menjadi suatu desa baru yang kemudian dinamakan Sawarna. Ada satu bukti sejarah lain lagi yang sampai sekarang masih tanda tanya. Ada sebuah makam bangsa Belanda, tidak jauh dari pinggir pantai. Tidak banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan kuburan ini. Pada nisannya tertulis nama Van Gogh. Banyak cerita yang simpang siur tentang siapakah Van Gogh ini. Namun paling tidak ada dua cerita yang cukup kuat di masyarakat. Cerita pertama adalah, Van Gogh yang nisannya ada di Sawarna ini adalah masih ada hubungan darah dengan pelukis Belanda terkenal Van Gogh. Yang pada saat itu sedang melakukan perjalanan dengan kapal laut. Tapi di perjalanan beliau terserang penyakit hingga meninggal ketika kapal sedang berada di sekitar Sawarna. Hingga akhirnya dimakamkanlah dia di pantai Sawarna. Cerita lain lagi, VanGogh ini adalah kepala perkebunan kelapa Belanda pada masanya, yang akhirnya meninggal di tanah Sawarna. Tentunya hal itu semua masih harus dikaji lagi kebenarannya.

            Memasuki masa penjajahan Jepang, daerah ini merupakan titik konsentrasi Romusha. Banyak korban yang jatuh pada masa ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari tugu Romusha yang dapat kita jumpai tidak jauh dari Sawarna. Kisah pedih kehidupan masyarakat Sawarna pada masa penjajahan Belanda, bisa kita lihat dalam film lama berjudul “Saijah dan Adinda” yang diangkat dari buku tulisan tokoh nasional Max Havelaar.
            Pada masa kemerdekaan, pemerintah mengirimkan sejumlah tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. Mereka adalah warga Priangan, yaitu Bandung dan Sukabumi. Menurut kesaksian beberapa saksi sejarah. Pada masa itu, mereka harus berjalan kaki dari Malimping, kota terakhir yang bisa dicapai dengan kendaraan. Hutan dan rawa harus mereka lalui sebelum akhirnya sampai di desa Sawarna. Lama perjalananpun beragam, mulai dari seharian penuh hingga 2 hari perjalanan untuk mencapai Sawarna. Baru belakangan, akhirnya pemerintah daerah membuka akses jalan menuju Sawarna. Bahkan kini aspal mulus akan menemani perjalanan orang yang akan mengunjungi Sawarna dengan kendaraan bermotor.

            Pada masa awal pengembangan Sawarna menjadi daearah wisata, konsep eco tourism coba di terapkan. Rumah-rumah penduduk didorong untuk menjadi penginapan bagi wisatawan. Makanan tradisional juga bisa dinikmati oleh wisatawan yang tinggal bersama dengan penduduk. Dengan konsep ini, selain masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari kehadiran wisatawan secara langsung, bagi para wisatawan juga lebih bisa menyelami budaya masyarakat Sawarna. Dan yang utama, penduduk Sawarna menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun sayang, dalam perkembangannya, jenis penginapan yang dikenal dengan home stay ini, mulai tersingkirkan oleh kehadiran penginapan-penginapan jenis cottage yang mulai tumbuh. Para investor dari luar tidak ragu menanamkan modalnya untuk membuat penginapan disana. Ujungnya tentulah kembali masyarakat Sawarna sebagai tuan rumah hanya lah sebagai pekerja dan tidak lagi sebagai pemilik dari perkembangan wisata Sawarna. Kontrol pemerintah daerah yang kurang juga terlihat di pantai Sawarna. Jika sebelumnya pantai bersih dari aktifitas warung makan dan minum, sehingga kebersihan dan keindahan pantai terjaga. Kini kondisi tersebut jauh berubah. Sederetan warung menjamur di sepanjang garis pantai. Tumpukan sampai tidak jauh dari sana terlihat menumpuk. Juga ceceran-ceceran sampah terlihat di sepanjang pantai.

            Melihat potensi alam, budaya dan sejarah Sawarna yang begitu besar, apakah kita akan membiarkan Sawarna tergerus oleh kepentingan ekonomi semata? Dibutuhkan kerja keras dari semua pihak untuk menyelamatkan Sawarna sebelum kondisi menjadi semakin sulit. Masyarakat dan Pemerintah Daerah harus berani mengambil keputusan untuk menyelamatkan Sawarna. Tidak mudah silau dengan keuntungan ekonomi sesaat. Sebaiknya mulailah belajar dari lokasi-lokasi wisata lain yang sudah terlanjur rusak karena dampak industri wisata yang tidak terkendali.

            Tulisan ini saya buat, berdasarkan apa yang saya lihat dan amati selama beberapa kali melakukan kunjungan ke Sawarna. Saya mencintai desa ini dan masyarakatnya. Dan saya yakin masih banyak yang mencintai tempat ini. Masyarakat Sawarna harus kembali menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Kami pendatang ini hanyalah tamu dan sahabat.

Wednesday, April 10, 2013

Menggapai Mimpi di Carstensz Pyramid 4884 MDPL



Siapa pendaki di Indonesia dan mungkin juga di dunia yang tidak bermimpi suatu hari di masa hidupnya bisa mencapai puncak Carstenz Pyramid di tanah Papua? Gunung dengan ketinggian 4884 mdpl, merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan merupakan salah satu dari 7 puncak tertinggi di tujuh lempeng benua. Dan menurut seorang teman yang sudah mendaki beberapa puncak dunia, pendakian ke puncak Carstensz merupakan salah satu yang tersulit secara technical maupun dari sisi non teknisnya.

            Puncak Carstensz Pyramid terletak di kawasan pegunungan Sudirman, Papua. Yang sampai saat ini masih merupakan lokasi yang dianggap berbahaya dari gerakan bersenjata. Meskipun wilayah ini sudah dinyatakan sebagai Taman Nasional, tetapi perijinan untuk mendaki kesana tidak semudah pendakian atau perjalanan ke taman nasional lainnya di Indonesia. Paling tidak perijinan dari pihak TNI dan POLRI merupakan salah satu yang harus dikantongi oleh siapapun yang akan melakukan pendakian kesana. Selain sulitnya perijinan pendakian, kesulitan juga di perparah dengan sulitnya akses ke pegunungan ini. Hampir tidak ada penerbangan regular ke desa awal pendakian. Pintu lain menuju kawasan ini adalah melalui tambang Freeport, yang bisa dibilang juga sulit didapat ijinnya. Segala hal tersebut sudah pernah saya alami mulai dari tahun 92 hingga 99.

            Sekitar tahun 92, waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMA 68 Jakarta. Bersama beberapa rekan yang kebetulan memiliki mimpi untuk bisa mendaki ke Carstensz Pyramid, kami mencoba mengurus perijinan untuk melakukan pendakian, namun gagal. Di tahun 99, saat itu saya sudah semester akhir kuliah di sastra UI, bersama dengan teman-teman satu angkatan di Mapala UI kembali mencoba untuk membuat pendakian ke Carstensz Pyramid dan kembali gagal. Di tahun 99, perijinan dari semua pihak berwenang sudah kami kantongi, namun kami harus berbesar hati untuk gagal berangkat karena tidak mencukupinya biaya perjalanan yang mencapai 20jt per orang diluar biaya peralatan. Usaha untuk mendapat ijin melintas dari Freeportpun sudah kami coba, namun juga tidak berhasil di dapat. Sekedar informasi, bila kita berhasil mendapatkan ijin melintas dari Freeport, kita bisa menghemat biaya lebih dari setengah total biaya pendakian normal. Yah sampai saat itu, saya dengan semua anggota tim pendakian harus berbesar hati untuk memendam kembali mimpi bisa menjejakkan kaki di titik tertinggi di Indonesia.

            Kurang lebih tujuh tahun setelahnya, tahun 2006, tanpa saya duga ternyata mimpi saya akhirnya bisa menjadi kenyataan. Saat itu bulan Mei 2006, saat saya menjelang kepulangan ke Jakarta dari lokasi kerja saya di Sorowako yang telah habis masa kontraknya, saya mendapat kabar bahagia tersebut. Ripto Mulyono yang akrab dipanggil Mul, memberi kabar bahwa saya akan dia ajak mendampingi tim Liputan 6 SCTV mendaki Carstensz Pyramid di bulan Agustus. Antara percaya dan tidak dengan ajakan tersebut. Masih seperti mimpi mendengar tawaran itu. Mimpi bertahun-tahun yang sudah sempat saya pikir tidak akan bisa tercapai, sekarang sudah ada di depan mata. Tak kurang kata sukur saya panjatkan ke Allah saat itu.

            Ripto Mulyono adalah salah satu senior dan pelatih tim saya di Mapala UI, saat saya menyiapkan pendakian ke Carstensz di tahun 99. Dari dialah selama ini, mimpi untuk bisa suatu hari mendaki Carstensz dan puncak dunia lainnya terus terjaga di hati nurani saya dan teman-teman di Mapala UI. Ripto adalah salah satu dari sedikit pendaki gunung Indonesia yang menjajaki pendakian “Seven Summits” oleh orang Indonesia. Bahkan di tahun 96, Ripto hampir saja berhasil mencapai puncak Everest di Nepal bersama dengan tim Kopassus. Dan hingga kini, saya rasa hanya dialah yang sudah melakukan pendakian terbanyak ke Carstensz Pyramid. Saya yakin segudang pengalamannya lah yang membuat SCTV meminta dia untuk menyiapkan dan membentuk tim untuk pendakian di Agustus 2006 itu.

            Dan hari besar itupun tiba. Enam orang pendaki dari Liputan 6 SCTV dan enam orang pendaki dari beberapa pencinta alam universitas, berangkat menuju Timika. Kota awal yang akan menjadi awal pendakian kami ke pegunungan Sudirman. Pendakian yang akan kami lakukan mendapat akses melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia. Dengan menumpang pesawat Airfast, kami berangkat pagi itu. Kurang lebih tujuh jam waktu tempuh penerbangan normal Jakarta-Timika. Penerbangan yang melelahkan. Dan ternyata itupun masih harus ditambah dua jam karena cuaca buruk, sehingga pesawat yang kami tumpangi harus transit di Nabire, sebelum akhirnya bisa mendarat di Timika. Faktor cuaca memang juga salah satu obstacle perjalanan dengan pesawat ke tanah Papua.Setelah perjalanan berjam-jam, akhirnya pesawat kami pun mendarat di Bandar udara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Namanya adalah Bandar Udara Internasional, tapi jangan berharap melihat bandara mewah seperti layaknya Bandar udara di belahan Indonesia yang lainnya. Bandara yang sangat minimalis, bahkan gedung terminalnya mungkin tidak lebih besar dari satu gedung fakultas di UI. Tidak akan dapat kita jumpai roda berjalan tempat kita menunggu bagasi layaknya di Bandar udara lainnya. Yah semua serba minimalis, namun di balik segala keterbatasan itu, bandara ini relative bersih dan teratur. Tidak seperti Cengkareng yang kian hari kian kumuh.

Sesampainya di Timika, rombongan kami di jemput oleh perwakilan dari PT Freeport, om Ronald namanya. Orang yang kemudian saya kenal sebagai orang yang sangat ramah dan baik hati. Setelah mendapatkan safety induction sebagai safety standard memasuki kawasan Freeport, om Ronald mengajak kami menuju penginapan di kota Timika. Yah kami memang tidak langsung menuju Tembagapura, karena masih ada beberapa persiapan yang akan kami lakukan di kota ini. Yang paling utama adalah berbelanda beberapa kebutuhan makanan. Karena akan sangat sulit dan mahal jika kita membelinya di Tembagapura nanti. Penginapan yang sederhana tapi sangat baik kondisinya. Sangat nyaman bahkan. Ini adalah penginapan yang biasa digunakan oleh para tamu Freeport jika menginap di Timika. Malam itu, selepas ngobrol ngalur ngidul antara anggota tim pendakian, kami pun terlelap di kelam malam kota Timika.

Pagi itu selepas bangun tidur, saya lihat ada sebuah bis yang sangat besar di parkiran halaman hotel. Ternyata itu adalah bis yang akan mengangkut kami menuju Tembagapura hari ini. Selepas sarapan dan sedikit berbelanja kebutuhan makanan pendakian, rombongan kami pun berangkat. Hari sudah menjelang siang saat itu. Perjalanan menuju Tembagapura menyajikan pemandangan alam luar biasa. Tak jarang, bis yang kami tumpangi harus berhenti hanya karena kebutuhan rombongan mengambil gambar. Sayang rasanya jika keindahan seperti ini tidak terabadikan. Banyak pula kendaraan tambang yang berpapasan dengan bis kami. Pemandangan yang umum, khas daerah pertambangan. Yang membedakan dari lokasi tambang lain yang pernah saya sambangi, mungkin ukuran dari kendaraan-kendaraan di Freeport relative lebih besar. Perjalanan dari Timika menuju Tembagapura juga terkesan ketat dari sisi keamanannya. Bis kami di kawal oleh dua kendaraan security mulai dari gerbang masuk kawasan tambang di kota Timika tadi. Selain itu, tidak kurang dari tiga buah pos pemeriksaan keamanan harus kami lalui hingga sampai di Tembagapura.

Di Tembagapura, rombongan kami mendapatkan pinjaman sebuah “Flat” mirip apartment di area perumahan baru mereka yang nama daerahnya adalah Hidden Valley. Sesuai dengan namanya, lokasi perumahan ini memang terletak di dasar lembah yang dikelilingi oleh hutan dan tebing. Sangat indah. Belum pernah dalam hidup saya, menemukan keindahan alam seperti yang saya jumpai saat itu. Sampai di Tembagapura, tidak ada waktu istirahat bagi kami ternyata. Sejumlah agenda sudah disiapkan. Mulai dari persiapan peliputan upacara kemerdekaan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan peralatan pendakian, jamuan makan malam dan masih banyak lagi. Ada hal menarik ketika kami baru saja memasuki ruangan yang di pinjamkan untuk kami. Tiba-tiba saja pintu ada yang mengetuk, ketika dibuka seorang anak dengan sepiring pisang goreng berdiri di muka pintu. Ternyata anak itu mengirimkan titipan ibunya, sekaligus mengundang kami untuk makan bersama dengan keluarganya malam itu. Begitu hangat sambutan para warga disini, cukup menghangatkan hati di tengah membekunya suhu udara di Hidden Valley.

Empat hari saya dan seluruh anggota tim tinggal di Tembagapura. Segala persiapan dan peliputan yang dibutuhkan oleh tim SCTV sudah rampung kami lakukan. Sekaligus juga kami gunakan guna proses aklimatisasi tubuh dengan ketinggian. Dan pagi itu rombongan kami pun di jemput dengan bis untuk menuju High Camp. Semua peralatan kami bagi dua. Peralatan pendakian untuk empat hari pertama kami bawa dalam ransel masing-masing, sementara sisanya termasuk peralatan pemanjatan dan peralatan listrik dipisahkan untuk di drop dengan helicopter langsung di Lembah Danau-Danau, base camp pendakian kami nantinya. Cuaca cukup dingin pagi itu, dengan diiringi pula oleh gerimis hujan, kami menuju High Camp. Bis yang mengangkut kami, menurunkan rombongan di tempat keberangkatan kereta gantung. Untuk mencapai High Camp tidak bisa dengan menggunakan bis. Dari kereta gantung ini kami bisa melihat dengan jelas lokasi pertambangan Freeport. Kabut tipis sesekali menutupi pandangan. Sampai di High Camp bis lain sudah menunggu, termasuk juga satu mobil Emergency Response Group yang akan mengawal rombongan hingga Bali Dam. Berikutnya yang kami sambangi adalah Pos Ayam Hitam. Pos pemeriksaan keamanan terakhir di wilayah tambang Freeport. Pos ini dijaga oleh para prajurit TNI. Sejumlah urusan admisnistrasi harus kami lakukan disini sebelum memulai pendakian. Pos yang kecil, dingin tapi cukup bersih dan rapi. Dari Pos Ayam Hitam, rombongan kami menuju Bali Dam, titik awal pendakian kami. Ripto Mulyono sebagai ketua pendakian memutuskan kami akan menginap malam ini di kaki tebing Zebra Wall, tepat di bawah Bali Dam. Keputusan ini di buat untuk proses aklimatisasi seluruh anggota tim pendakian. Maklum saja, ketinggian saat itu sudah hampir 4000 mdpl, berbeda lebih dari 1000 mdpl dibandingkan ketinggian Tembagapura. Malam pertama di pegunungan Sudirman, saya bisa istirahat dengan baik walau semalaman diiringi suara alat berat pertambangan Freeport.

Hari ke dua pendakian, semua anggota tim dalam kondisi prima. Tidak ada masalah dengan aklimatisasi tubuh. Cuaca juga cukup cerah, walaupun sempat gerimis dan berkabut tipis. Target pendakian kami hari ini adalah Danau Biru di kaki tebing Wachter, New Zealand Pass dan Pintu Angin. Tidak lama berjalan, kami sudah sampai di tujuan. Cuaca cukup berangin di sini. Udara dingin menusuk tulang mulai saya rasakan. Di hadapan kami adalah tanjakan tajam melewati Pintu Angin unutk menuju Base Camp kami nantinya di Lembah Danau-Danau. Malam ini saya merasakan sedikit pusing di kepala. Mungkin ini adalah tanda gejala mountain sickness, proses aklimatisasi yang kurang baik di tubuh saya. Tapi bagaimanapun saya paksakan untuk bisa tidur dan istirahat maksimal malam itu. Sampai besok paginya ternyata sedikit pusing di kepala belum juga hilang. Dan ternyata saya tidak sendiri, beberpa anggota tim pendakian juga mengalamai hal serupa. Ripto pun memutuskan unutk menambah satu hari lagi untuk menginap di tepian Danau Biru ini untuk bisa memperbaiki kondisi tubuh, sekaligus juga menunggu kepastian dropping logistic dengan helicopter dari Freeport. Hari ke tiga ini cuaca kurang bersahabat. Seharian camp kami diguyur hujan walaupun tidak lebat. Angin pun sedikit kencang menghantam tenda kami. Suhu sedikit lebih dingin dari hari kemarin. Aktifitas hari ini kami isi dengan memasak dan mengobrol penuh canda, menghibur diri. Dan tentunya sejumlah gambar tidak juga luput dari kamera kami.

Hari ke empat pendakian, kami semua bangun dengan kondisi tubuh yang prima kembali. Tidak ada lagi pusing di kepala. Dan ketika kami selesai makan serta packing ransel masing-masing, helicopter pengangkut logistic kami pun lewat di atas kami menuju Lembah Danau-Danau. Cuaca cukup baik hari itu. Hampir siang saat kami memulai pendakian menuju Base Camp. Melewati tanjakan menuju Pintu Angin sangat melelahkan. Kecuraman tanjakannya memang lumayan, mungkin juga di tambah dengan faktor ketinggian yang sudah 4000 mdpl membuat kami lebih mudah lelah. Rombongan pendakian berjalan pelan saling berdekatan. Ripto sesekali berteriak memberi semangat. Hari menjelang sore ketika saya sampai di Lembah Danau-Danau. Hujan deras menyambut kedatangan tim kami di sana. Sebuah flysheet darurat kami bentangkan untuk melindungi tubuh dan beberapa peralatan yang rawan dari air hujan. Ketika hujan tidak lama kemudian mereda, kami pun mulai membangun tenda. Enam buah tenda kami dirikan, meliputi satu tenda makan, satu tenda peralatan elektronik penyiaran dan empat tenda untuk kami tidur. Udara semakin dingin malam itu, anginpun kurang bersahabat. Selepas makan malam dan membersihkan semua alat makan masing-masing. Seluruh anggota tim pendakian pun telah terlelap dalam tenda masing-masing. Malam itu sekitar jam 3,00 dini hari, Ripto membangunkan kami. Base Camp kami di terjang badai salju. Tenda makan kami sudah rata dengan tanah karena tidak kuat menahan beban salju yang menimpanya. Sejadinya lah tengah malam dingin kami harus menyelamatkan tenda dan peralatan kami dari terjangan badai salju. Hujan salju di barengi dengan angin baru mereda sekitar pulul 05,00 pagi. Berbarengan dengan mulai terbitnya matahari. Kami pelan-pelan mulai membangun kembali tenda makan kami yang rata dengan tanah. Memasak makan pagi itu pun terpaksa kami lakukan di luar.

Di hari ke lima ini, saya, Fahmi dan Epoy, di tugaskan Ripto untuk mendrop sebagian peralatan di teras besar Puncak Jaya, ini diperlukan untuk menghemat beban yang akan kami tanggung pada hari pendakian tim besar nantinya. Mengingat beban peralatan yang akan kami bawa nantinya sangat banyak. Target pendakian ini nantinya adalah pemecahan record oleh tim Liputan 6 SCTV sebagai tim peliputan pertama yang melakukan siaran langsung dari titik tertinggi. Dan kesempatan itu, saya pikir akan baik bagi proses aklimatisasi tubuh. Kami bertiga sampai kembali di camp ketika hari hampir sore. Saat kami tiba, tim SCTV sedang menyiapkan siaran langsung dari camp kami di Lembah Danau-Danau. Hari-hari di camp, sejauh ini kami lalui dengan bahagia. Walaupun ada beberapa kejadian seperti badai salju, tapi kami sangat menikmati perjalanan ini. Malamnya, di tengah tidur, saya terbangun. Kepala rasanya bagai dipukuli palu. Sakit bukan main. Ya saya kembali terkena mountain sickness dan ini lebih berat dari yang saya rasakan sebelumnya. Segala cara saya coba, tidak juga berhasil menghilangkan sakit kepala itu. Akhirnya pilihan terakhir, obat dari Ripto saya konsumsi. Dan tidak lama sakit kepala berangsur berkurang dan malam itu saya bisa tidur lagi. Alhamdulillah…

Pagi hari ke enam pendakian, Ripto mencek kondisi seluruh anggota tim. Ternyata saya tidak sendirian terkena serangan mountain sickness. Aldian, produser Liputan 6, juga terkena dan sedikit lebih parah dari saya. Novri, kameramen Liputan 6, juga merasakan hal serupa. Menanggapi hal itu akhirnya Ripto memutuskan untuk menambah hari istirahat di camp Lembah Danau-Danau. Tidak ada hal yang istimewa hari itu, selain hunting foto sekitaran camp dan peliputan yang dilakukan tim Liputan 6. Tak jauh dari camp kami, saya menemukan sebuah prasasti dari alumunium tebal, mengenang rekan-rekan Aranyacala Trisakti yang meninggal dalam usaha pendakiannya ke Carstensz Pyramid. Sejenak saya dan beberapa teman memanjatkan doa saat itu. Apapun yang terjadi, usaha mereka merupakan catatan sejarah pendakian di Indonesia.

Hari ke tujuh adalah hari awal pendakian kami menuju puncak Jaya. Target pendakian kami hari ini hanya sampai di teras besar, dimana kami telah mendrop beberapa peralatan sebelumnya. Perjalanan hari ini sedikit lebih lambat dari ketika saya mendrop barang. Mungkin jumlah beban dan banyaknya orang mempengaruhi. Sekitar jam 16,00 kami baru tiba di teras besar. Dua buah tenda pun kami dirikan. Malam yang terasa panjang. Tidur malam itu terasa sangat tidak nyaman, hanya tidur ayam saja. Tidur berdesakan di tambah beralaskan serakan batu di bawah tenda, tidak mampu membuat saya dan beberapa teman istirahat dengan baik. Belum lagi di tambah dengan angin yang dinginnya menusuk tulang di luar sana.

Jam menunjukkan pukul 5,00 pagi waktu itu. Kami mulai bersiap melakukan summit attack di hari ke delapan pendakian kami. Diiringi hujan salju, kami mulai merayapi rute pendakian puncak Jaya. Ice Axe cukup membantu saya melewati medan bersalju yang semakin tebal karena efek dari hujan salju yang belum juga berhenti. Beberapa ratus meter dari puncak, kami berhenti di sebuah medan batuan rata yang cukup luas. Di situ Aldian dan Ripto membagi tim menjadi dua. Tujuh orang termasuk saya akan terus menuju puncak, sementara sisanya akan menetap disana untuk menyiapkan siaran langsung ke Jakarta. Pendakian pun kami lanjutkan. Aldian, Radit dari Liputan 6 dan saya bergantian mengoperasikan kamera, meliput pendakian menuju puncak. Semakin mendekati puncak, hujan salju semakin deras turun menimpa kami. Lapisan saljupun semakin tebal. Setiap langkah yang saya lakukan, akan masuk sekitar setinggi dengkul ke dalam salju. Hal itu membuat langkah pendakian semakin lambat. Maklum di tim kami, relative hanya Ripto yang sudah berpengalaman mendakidi situasi seperti itu. Dan akhirnya, masih di tengah cuaca buruk, baru sekitar jam 12,00 siang kami sampai di puncak Jaya dengan ketinggian 4862 mdpl. Siaran langsung pun kami lakukan. Alhamdulillah berhasil siaran langsung ini, dan sekaligus juga untuk saya pribadi akhirnya bisa mencapai puncak salju khatulistiwa ini. Tinggal satu puncak lagi berikutnya, Carstensz Pyramid.

Perjalanan turun dari puncak tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Tubuh semakin terkuras tenaganya. Sementara hanya indomie dan coklat, makanan yang masuk ke dalam perut seharian ini. Sekitar jam 20,00 saya, Radit dan Epoy sampai di camp. Jalan sudah bagaikan zombie, pandangan sudah tidak focus, dan sandungan batu-batu sepanjang jalan cukup untuk membuat kami berkali-kali terjatuh. Beruntung cuaca cukup cerah malam itu mengiringi perjalanan kami turun. Sesampai di camp, sebelum istirahat, sambil menunggu teman lain kami sempatkan untuk memasak minuman hangat. Dan saya memaksakan diri untuk bisa memasukkan makanan ke dalam perut. Kelelahan yang amat sangat di tambah suhu dingin membuat napsu makan menghilang. Malam itu saya tidur bagai mayat. Mungkin kalo ada badai lagi malam itu, saya belum tentu dengar dan mampu membuka mata. Beruntung, benar-benar Allah memberikan bonus cuaca cerah malam itu mengiringi tidur kami.

Pagi hari di hari ke sembilan pendakian ini, selepas sarapan pagi Aldian meminta ke Ripto untuk turun ke Tembagapura. Dia merasa kondisi tubuhnya makin drop setelan pendakian puncak Jaya sehari sebelumnya. Mountain Sickness semakin menggerogoti tubuhnya. Dia cerita kalo dia sudah mengalami halusinasi pagi itu. Ripto bergerak cepat, dia minta Fahmi mengkontak ke ERG di Freeport untuk bersiap melakukan evakuasi. Sementara tim Liputan 6 juga melakukan koordinasi siapa yang akan melanjutkan peliputan pendakian Carstensz Pyramid dan siapa yang akan turun menemani Aldian. Akhirnya diputuskan Radityo Wicaksono dan Akemona untuk tetap di camp, berisap untuk peliputan berikutnya, sementara yang lainnya dari Liputan 6 akan turun mendampingi Aldian. Perpisahan pun terjadi, sedikit sedih setelah satu minggu bersama. Kini harus ada beberapa teman yang harus kembali lebih cepat. Tapi saya rasa ini adalah keputusan yang tepat dari pada memaksakan kondisi.

Tiga hari lamanya kami di Lembah Danau-Danau menanti cuaca yang bagus untuk memulai pemanjatan ke puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya di hari ke 12 dini hari itu, sekitar jam 2,00 Ripto membangunkan kami. Peralatan yang sudah kami siapkan dari beberapa hari terakhir membuat persiapan yang kami lakukan tidak terlalu lama. Radit dan Akem memutuskan untuk tidak berangkat, mengingat pemanjatan ke Carstensz berbeda dengan ke puncak Jaya. Di Carstensz sangat dibutuhkan kemampuan teknis dan pengalaman pemanjatan tebing yang mumpuni. Tidak ingin menghambat pemanjatan, menjadi alas an mereka untuk tidak ikut menuju puncak. Akem menitipkan kamera ke saya, Radit pun menitipkan liputan yang dia butuhkan. Kamera saya bagi dua. Saya pegang satu kamera, Epoy juga pegang satu kamera. Berdasar pengalaman hari sebelumnya di Puncak Jaya, battere akan sangat boros di cuaca dingin ini. Saya putuskan kamera akan menyala bergantian antara saya dan Epoy. Perjalanan pun di mulai. Dari Lembah Danau-Danau, kami mendaki menuju lembah kuning yang terpisah kawasan puncak tengah. Kami sampai di kaki tebing Carstensz di lembah kuning sekitar jam 3,00 dini hari. Sinaran dari cahaya headlamp menerangi pemanjatan kami. Satu persatu kami ber enam merayapi tebing Carstensz dengan bantuan fix rope. Saya menjadi pemanjat terakhir. Jam menunjukkan hampir jam 6,00 pagi ketika sampai di teras besar. Kami istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan alam tiada dua. Cuaca cerah pagi itu. Terlihat hampir semua puncak di pegunungan Sudirman, termasuk puncak Jaya dan puncak Soemantri yang diliputi salju abadi. Tak bisa lama kami beristirahat, karena waktu terus berpacu. Summit Ridge kami susuri dengan hati-hati. Beberapa jurang dalam harus di lalui. Lumayan membuat hati ini kecut juga melihat dalamnya jurang yang harus kami lewati. Seratus meter sebelum puncak, hujan salju kembali turun. Tali yang kami gunakan juga semakin kaku dan licin. Membuat ascender yang kami gunakan tidak lagi bisa menggigit maksimal. Perlahan tapi pasti terus kami susuri tebing puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya tepat jam 12,00 siang itu saya berhasil menjejakkan kai di puncak Carstensz Pyramid, 4884 mdpl. Puncak tertinggi di Indonesia dan juga Austrolasia. Air mata tanpa sadar mengalir, mimpi ini akhirnya tercapai. Ripto datang memeluk dan memberi selamat. Begitu juga Fahmi, Heru, Epoy dan Avi bergantian saling memberi selamat. Dalam hati, tak henti saya mengucap syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada saya.

Yah hari itu saya merasakan sendiri akhirnya, bahma jangan pernah kita mnegubur mimpi. Karena suatu hari mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Dan benar adanya bahwa segala sesuatu juga berawal dari mimpi, Maka jangan pernah berhenti untuk bermimpi. Bermimpi untuk mencapai suatu target setinggi langit jika perlu. Mari kawan kita lanjutkan mimpi kita.

Monday, April 8, 2013

Bike Touring Pertama, Jakarta - Sawarna









          Tidak pernah terbayang dalam benak saya selama ini untuk melakukan perjalanan bersepeda dengan jarak yang jauh. Apalagi sampai lebih dari satu hari alias harus pakai menginap di perjalanan. Perjalanan terjauh saya dengan bersepeda selama ini hanyalah Jakarta-Bogor PP dengan jarak kurang dari 200 km, itupun terkadang pulangnya saya menumpang KRL dari stasiun Bogor. Tapi entah apa yang ada di benak sayaa saat itu, ketika mengiyakan ajakan Asep untuk ikut touring ke Sawarna. Yang jaraknya dari Jakarta kurang lebih 250 km. Apalagi Asep berencana untuk melakukannya pulang pergi.

            Dan hari itu pun tiba. Sesuai dengan janjian sebelumnya, meeting point yang disepakati adalah di rumah Iye di daerah Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ternyata cukup banyak yang ikut dalam perjalanan ini. Di rumah Iye sudah ada Bayu, Devin dan pak Mito. Dari rumah Iye kita menuju rumah Odel di Tangerang dengan melalui BSD. Di tengah perjalanan Asep pun bergabung. Perjalanan menuju Tangerang tentunya tidak ada yang menarik selain kepadatan kendaraan dan jalanan yang berdebu juga rusak disana sini. Setelah menjemput Odel di rumahnya, perjalanan pun kami lanjutkan menuju Rangkas. Tidak jauh dari rumah Odel, kami sepakat untuk makan pagi yang terlambat dulu di sebuah warung Warteg yang kami lalui.

            Tidak lama kami makan, sekedar menurunkan makanan, perjalananpun di lanjutkan. Jalanan rusak cukup menyiksa dan menghambat perjalanan karena kecepatan tidak bisa dipacu maksimal. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi terasa sangat lama. Baru sekitar jam 15,00 rombongan kami sampai di kota Rangkas. Perut terasa sudah kosong lagi, terkuras energi di jalanan rusak, berdebu dan panas matahari yang menyengat. Sebuah warung yang lumayan lengkap kami temui. Lumayan cukup banyak pilihan menu untuk mengisi perut kami yang kosong ini. Baru saja selesai makan dan bersiap melanjutkan perjalanan, hujan deras mengguyur kota Rangkas. Dan ternyata hujannya cukup awet. Dua jam sudah kami menunggu tidak ada tanda hujan berkurang. Akhirnya kami putuskan untuk menginap di Rangkas malam itu. Karena cukup berbahaya jika kita kemalaman di daerah Gunung Kencana nanti. Mencari-cari penginapan, belum juga dapat yang sesuai. Tiba-tiba ibu warung menawari kami untuk meninap di rumahnya. Wah Alhamdulillah kalo begitu. Tidak masalah untuk kami walaupun hanya beralaskan matras, yang penting bisa beristirahat mala mini untuk melanjutkan kembali perjalanan besok yang masih panjang menuju Sawarna. Melahap tanjakan Gunung Kencana yang kabarnya aduhai.

            Sekitar jam 9 pagi esok harinya, selepas sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Asep yang sudah berkali-kali ke Sawarna beada di depan sebagai penunjuk jalan. Jalanan relative jauh lebih baik kondisinya dibandingkan jalan yang kemarin kita lalui. Karakter jalannya mulai sedikit banyak menanjak. Awalnya saya piker wajar karena seperti yang saya tahu dari Asep, kita akan menuju kawasan gunung Kencana. Tapi setelah beberapa jam berjalan, Asep baru sadar kalo jalan yang kami lalui ternyata berbeda dengan jalan yang biasa dia lalui. Wah bagai mendapat jackpot kagetnya, kami membuang waktu berjam-jam untuk rute yang ternyata salah. Untuk kembali lagi ke kota Rangkas rasanya tidak mungkin. Akhirnya Asep memutuskan untuk memotong jalan seperti arahan penduduk. Berjam-jam kami melalui jalan “potong” yang ternyata merupakan jalanan yang belum selesai pembangunannya. Masih berbatu dan bercampur tanah. Perjalanan pun saya rasakan semakin berat. Apalagi untuk saya yang baru kali ini melakukan touring dengan sepeda.

            Keuntungan dari “nyasar” ini, kami menemukan pemandangan yang cukup indah. Tidak seperti jalur normal yang biasa saja, khas daerah pinggiran Banten. Berjam-jam kami lalui jalanan setengah jadi ini sebelum akhirnya kami menemukan kembali jalan yang sebenarnya menuju Gunung Kencana. Perjalanan menanjak yang sebenarnya pun saya lalui. Jalanan aspal cukup halus membelah perkebunan sawit Gunung Kencana. Cuaca sangat panas. Perbaikan jalan sedang berjalan di beberapa titik yang kami lalui. Makan siang hari ini lumayan membangkitkan selera. Tanpa sengaja kami menemukan warung kecil yang menjual satay maranggi. Lumayan mengenyangkan, mengisi perut yang terkuras menghadapi tanjakan Gunung Kencana, yang seperti Asep bilang memang aduhai.

            Rombongan sudah terpecah, tidak lagi berjalan berdekatan seperti sebelumnya. Kemampuan fisik dan pengalaman berjalan panjang terlihat sangat berpengaruh. Saya sudah tidak peduli lagi dengan siapa yang ada dimana, yang ada dipikiran saya cuma bagaimana bisa mencapai Malimping, kota kecil sebelum masuk daerah Sawarna. Sial memang tidak bisa di duga. Tas Pannier yang baru saja saya beli di Rodalink, jebol sangkutannya ke rack. Baut pengikatnya hilang pula. Tidak lama, tiba-tiba sebuah angkot berhenti. Di dalamnya ada Iye dan Bayu yang menawari saya ikut naik angkot dengan mereka menuju Malimping. Tak berpikir dua kali, saya iyakan ajakan itu. Pikiran terlanjur kesal dengan pannier bag yang jebol. Angkot yang kami tumpangi sampai di Malimping pukul 16,00. Sambil menunggu teman-teman yang lain, saya langsung berusaha memperbaiki pannier bag. Untungnya, saya punya cadangan baut yang saya simpan di tools box. Tidak lama pak Mito, Devin dan Odel datang dan kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Sawarna.

            Hari semakin gelap dan hujan gerimis sudah mulai mengguyur membasahi perjalanan kami. Kami memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan di pinggir jalan sambil menunggu Asep. Beragam pesanan untuk mengisi perut yang kosong dilayangkan ke pemilik warung. Sambil makan, candaan pun mengalir dari mulut teman-teman. Apalagi setelah Asep tidak lama kemudian sampai juga di warung itu. Hal lucu terjadi ketika kita membayar makan. Apapun makanannya, mulai dari Indomie sampai nasi Ayam, harganya sama. Tentu saja hal itu membuat dongkol kami yang hanya memesan indomie. Bukan marah yang keluar dari mulut kami, tapi malah tawa yang berderai.

            Asep sebagai yang sudah tahu jalur berpesan kepada kami tentang perjalanan menuju Sawarna. Perjalanan malam tentunya berbeda dengan perjalanan siang. Kami diminta untuk saling menjaga jarak tidak lagi berjauhan seperti di Gunung Kencana. Jalur yang akan kami lalui berikutnya akan didominasi dengan jalan aspal halus di tengah hutan. Cuaca setelah hujan menimbulkan kabut tipis yang menghalangi pandangan di tengah hutan itu. Kayuhan pelan tapi pasti terus kami lakukan. Perjalanan naik turun, rolling menuju Sawarna. Cahaya lampu sepeda kami tak mampu menembus kabut yang terus ada tak mau menyingkap. Tibalah kami akhirnya di sebuah warung yang sudah tutup. Desiran angina laut akhirnya kami rasakan. Di kejauhan di bawah sana terlihat samar lampu-lampu dari rumah pedesaan. Yah akhirnya kami sampai di desa Sawarna. Hampir jam 24,00 kami tiba di rumah kang Hendi. Tempat kami menumpang menginap selkama di desa Sawarna. Dua buah saung telah disiapkan bagi kami untuk menginap. Rasa lelah membuat kami tak banyak ngobrol malam itu. Dalam sekejap, semua sudah terbuai dalam mimpi masing-masing.

            Pagi harinya, akhirnya saya baru bisa menikmati keindahan Sawarna seperti yang selama ini saya dengar dari Asep. Pantai yang bersih dengan garis pantainya yang panjang, tebing Tanjung Layar yang gagah menantang, dan masih banyak tempat lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu keindahannya. Belum lagi makanan lautnya yang berlimpah dan murah tentunya. Semua itu membuat kami betah belum mau melanjutkan perjalanan yang seharusnya dilanjutkan menuju Sukabumi hari itu. Kami sepakat untuk melupakan ke Sukabumi, kami extend menginap di Sawarna. Belum puas mata ini rasanya menikmati satu lagi keindahan lukisan Allah di muka bumi.

Perjalanan Touring Melintas Sulawesi Selatan (Makasar - Sorowako)







            Hari itu, hari Kamis di akhir April 2012. Selepas subuh, saya dan Emil menuju bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng untuk berangkat ke Makasar dengan penerbangan pertama. Segala rasa bercampur sudah sejak seminggu sebelum keberangkatan ini. Bahkan malam sebelum berangkat mata tidak bisa terpejam. Rasa over excited menguasai diri ini. Maklum perjalanan bike trip kali ini akan menjadi perjalanan panjang, lebih dari 2 hari, pertama bagi saya dan Emil. Hampir 600 km jarak antara Makasar dan Sorowako akan kami tempuh. Segala persiapan, mulai dari peralatan, kesiapan sepeda, plotting jalur di peta, hingga mencari kontak di sepanjang perjalanan untuk keperluan emergency pun telah kami selesaikan. Di atas ketas perjalanan ini akan lancar tanpa halangan, hanya kuasa Allah yang tidak mungkin dapat kami elakkan.

            Tapi rencana hanya sebatas rencana di atas kertas. Kendala pertama langsung menghadang. Sepeda berikut perlengkapannya yang setahu kami masuk dalam sport equipment dan tidak terkena bagasi, ternyata dihitung. Over baggage gila-gilaan harus kami tanggung saat itu. Segala upaya negosiasi kami lakukan tapi tak berhasil. Tak kurang dari 1 juta rupiah terpaksa di keluarkan hanya untuk membayar over baggage. Saya dan Emil hanya bisa berdoa semoga awal tak baik ini justru merupakan awal dari perjalanan yang menyenangkan. Hati dongkol pun terpaksa kami simpan jauh-jauh. Segala obrolan canda kami buat untuk melupakan kejadian tadi. Beruntung pesawat tidak terlambat, berangkat tepat pada waktunya. Sepanjang perjalanan, kami gunakan untuk tidur, membayar hutang istirahat semalam sebelumnya.

            Saya terbangun tepat ketika pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi melakuakn p[ersiapan untuk pendaratan. Badan terasa begitu segar. Tidur pendek tapi pulas, membuat kekuarangan tidur semalam terbayar sudah. Seperti biasa pesawat ini mendarat dengan halus, dan akhirnya saya kembali ke tanah Celebes. Setelah enam tahun yang lalu terakhir kali saya meninggalkan pulau nan indah dan eksotis ini. Bandara Sultan Hassanudin sangat jauh berubah. Saat ini bandara Hassanudin mungkin merupakan salah satu bandara terbaik di Indonesia. Mata ini bagai tak percaya melihat perubahan yang ada di sana. Sulit di wakili oleh kata-kata yang tepat untuk menunjukkan kekaguman saya terhadap perubahan yang terjadi.

            Sambil menunggu bagasi kami yang lumayan banyak, sahabat saya dari PT Vale, Imran, yang kebetulan sedang di Makasar bertepatan dengan kedatangan kami, menelpon. Ternyata dia menjemput kami di bandara. Wah ini adalah kejutan pertama dalam perjalanan kami di tanah Celebes. Yang ada dalam benak saya saat itu, lumayan untuk menghemat biaya transportasi kami selama di Makasar. Kangen juga saya dengan sahabat saya yang satu itu. Saya dan Imran sama-sama bekerja di Fire and Emergency Service PT Vale pada tahun 2006. Sejak itu sesekali kami masih ketemu jika Imran bertugas di Jakarta atau hanya sekedar menjalin komunikasi melalui BBM pun terus kami jalin. Dari bandara, Imran mengantar kami menuju Rodalink untuk men-setup sepeda kami, untuk bisa siap digunakan dalam touring menuju Sorowako esok harinya. Setelah dari Rodalink, kami menuju penginapan dekat pantai Losari. Sebelum meninggalkan kami untuk istirahat, Imran mengabarkan kalau nanti malam kami akan di jemput oleh teman-teman bike 2 work chapter Makasar. Wah-wah senang sekali perasaan kami, karena tidak ada yang lebih indah dalam perjalanan selain menambah teman dan saudara. Dan Imran pun pergi setelah kami janjian lagi untuk ketemu di Sorowako.

            Nah, perut lapar di siang hari pun mengalahkan rasa lelah kami. Saya dan Emil memutuskan untuk mencari makan siang di sekitaran penginapan. Tidak sulit bagi kami menemukan tempat makan. Hanya berjarak 100 meter dari penginapan, berjajar tempat-tempat makan khas Makasar yang didominasi dengan menu makanan laut. Kalap juga melihat ikan, cumi dan makanan laut lainnya yang tentunya sangat menggugah selera. Dan pastinya dengan harga yang lebih murah di bandingkan dengan harga makanan serupa di Jakarta. Ya Makasar dan Sulawesi memang terkenal dengan makanan lautnya yang luar biasa. Terbayang inilah kurang lebih yang akan kami temukan hampir sepanjang perjalanan kami menuju Sorowako, mungkin kecuali di daerah Toraja yang area pegunungan.

            Selepas tertidur di kamar yang dingin, berbeda dengan cuaca di luar yang super panas, saya dan Emil menuju pantai Losari malam itu untuk bertemu dengan teman-teman bike 2 work Makasar. Tante Titin menyambut kami dengan senyum. Bersama dia ternyata sudah banyak juga om-om dan tante-tante yang juga ikut menyambut kami. Perkenalan singkat pun terjadi, obrolan ngalur ngidul terjalin. Sungguh suasana yang menyenangkan. Menghapus rasa kesal yang masih terselip tantang kasus bagasi waktu keberangkatan dari Jakarta. Pisang Epe, makanan khas Makasar, menemani perbincangan kami malam itu. Suasana kekeluargaan timbul, menghilangkan kesan bahwa kami baru kenal beberapa menit sebelumnya. Ini yang tidak berubah dari bumi Celebes, keramahan luar biasa dari masyarakatnya. Ini juga yang membuat saya selalu kangen dan selalu ingin kembali lagi ke sini. Tak ingin kekurangan istirahat, saya dan Emil pamitan untuk kembali lebih dulu ke penginapan. Maklum kami berencana berangkat selepas subuh besok harinya.

            Alarm berbunyi menandakan kami sudah harus bersiap untuk berangkat menuju Pare-pare sebagai kota tajuan kami di hari pertama perjalanan ini. Kurang lebih 155 km harus kami tempuh hari ini. Setelah menyiapkan sepeda dan menyelesaikan pembayaran penginapan, saya dan Emil pun mulai menggowes sepeda dengan pelan menyusuri aspal kota Makasar. Satu jam perjalanan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung sate yang kebetulan sudah buka di pagi itu. Perut terasa enak setelah kena hangatnya kuah sop kambing. Tapi saya merasakan kondisi badan sedikit drop terkena flu dadakan pagi itu. Wah, ini akan menjadi obstacle tersendiri dalam perjalanan kami nantinya. Tapi saya berusaha untuk tidak memikirkan sakit flu yang mulai mendera.

            Perjalanan kami lanjutkan. Pemandangan indah sepanjang perjalanan tak pernah lepas dari mata lensa kamera yang kami bawa. Perjalanan santai tapi stabil terus berjalan. Kecepatan rata-rata kami antara 15-20 km/jam. Karakter jalan di lintas Makasar-Parepare mirip dengan Pantura Jawa. Jalan raya dekat laut, panas luar biasa dan aspal rusak di sana-sini mendominasi etape hari ini. Tapi semua sesuai dengan perhitungan yang kami buat. Tepat jam makan siang sekitar pukul 13,00 waktu Indonesia tengah kami memasuki kota Barru. Disini kami memanfaatkan untuk istirahat dan makan siang. Tak ada yang istimewa dari kota ini. Kota kecil di pinggir laut selat Sulawesi, yang menjadi kota singgah kendaraan-kendaraan pengangkut kebutuhan pokok untuk perdagangan. Cuaca sangat panas ternyata berdampak tidak baik pada flu yang mendera tubuh saya. Terasa badan semakin drop. Tapi saya bertekad harus menyelesaikan etape ini sampai di parepare.

            Kondisi badan yang drop membuat perjalanan menuju Parepare malambat. Target yang kami buat tak tercapai. Kami menargetkan sekitar sebelum maghrib sudah bisa masuk kota Parepare. Ternyata kami baru bisa masuk kota sekitar pukul 19,00. Dalam keadaan lelah, kami mencari penginapan. Peta yang kami gunakan di GPS ternyata sudah tidak akurat. Sudah banyak nama jalan dan penginapan yang berubah. Alhamdulillah kami bertemu dengan seorang tukang becak yang baik hati, yang telah dengan tulus mengantarkan kami menuju penginapan. Penginapan kecil, bangunan lama, tapi bersih, makanannya enak dan tentunya murah. Yah suatu berkah bagi kami hari ini.

            Menanggapi kondisi badan saya yang drop, malam itu sebelum istirahat, saya dan Emil membuat Plan B jika sampai besok kondisi badan saya masih jelek. Kami merencanakan jika sampai bsk pagi badan saya tidak membaik, maka kami akan menyewa mobil bak untuk mengevakuasi kami hingga Makale, kota kecil pintu masuk kota Toraja. Saya berkeras walaupun sedikit, harus dipaksakan untuk tetap bersepeda untuk menjaga kondisi otot kami. Dan inipun kami sepakati malam itu. Setelah makan malam yang lezat dan sebelum tidur, saya minum obat flu yang kami bawa dari Jakarta. Dan malam itu manjadi malam yang sangat nyaman untuk badan saya terutama dalam tidur.

            Sama seperti sebelumnya, kami bangun tepat waktu subuh. Dan yang kami takutkan terjadi. Badan saya masih drop, jadi plan B pun dilakukan. Kami akan men-skip kota Enrekang sebagai target di hari ke dua. Dan langsung dengan mobil menuju Makale, dan dilanjutkan dengan sepeda menuju Toraja. Emil langsung meminta bantuan petugas hotel untuk membantu mencarikan kendaraan untuk kami. Sambil menunggu, saya dan Emil menyiapkan barang-barang dan sarapan mengisi perut pagi itu. Sekitar jam 9 pagi, mobil yang kami sewa pun tiba. Kami langsung packing sepeda dan barang-barang dalam bak mobil. Sepanjang perjalanan saya tidur terus, berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuh. Mobil sempat beristirahat di kawasan gunung Nona di Enrekang tepatnya di kaki tebing Bambapuang, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Makale. Sekitar jam 13,00 akhirnya kami tiba di Makale. Sang supir menurunkan kami di depan tempat makan di kota itu. Saya yang terus tidur sepanjang perjalanan, merasa badan sudah jauh lebih baik kondisinya. Mudah-mudahan setelah makan siang, badan ini akan semakin membaik.

            Gak disangka, ternyata pemilik rumah makan itu juga penggiat bersepeda di kota Makale. Sedikit perbincanganpun terjalin antara kami dengan pemilik rumah makan dan beberapa temannya. Sungguh perjalanan yang berkah untuk saya. Sekali lagi menambah teman dan keluarga di tempat yang jauh dari rumah, luar biasa. Dari mereka kami mendapatkan gambaran perjalanan Makale menuju Toraja sekaligus juga referensi penginapan di Toraja nanti. Setelah saling bertukar alamat FB, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesuai harapan, selepas makan siang pun, badan saya jauh membaik. Dan perjalanan menuju Toraja bisa dengan lancar kami tempuh. Jam 16,00 kami memasuki wilayah Tana Toraja. Saya dan Emil menyempatkan mampir ke salah satu desa wisata disana. Namanya Kete Kesu. Kurang lebih sekitar 1 km masuk ke dalam dari jalan utama. Desa tradisional dengan rumah adat dan pemakaman keluarga di bibir tebing menjadi pemandangan kami disana. Sayang saat itu tidak ada upacara adat pemakaman yang menjadi daya tarik Toraja selama ini.

            Setalah puas berkeliling Kete Kesu, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari penginapan sesuai referensi kawan-kawan dari Makale. Hampir jam 18,00 akhirnya kami sampai di penginapan. Sejauh ini sambutan masyarakat di sepanjang perjalanan kami hingga di Toraja ini sangat luar biasa. Begitu juga di penginapan di Toraja ini. Apalagi setelah mengetahui kami dari Jakarta dan menggunakan sepeda dalam perjalanan kami. Ruangan khusus disiapkan untuk sepeda kami parkir. Tak kurang dari manager hotel di malam itu, yang turun langsung membantu kami. Beberapa tamu manca Negara juga sempat berbincang dengan kami menanyakan pejalanan kami menuju Toraja. Setelah mandi dan bersih-bersih. Kami mencari makan malam sekaligus juga mencari oleh-oleh khas Toraja. Seorang keponakan dari teman lama yang tinggal di Toraja menjadi guide kami malam itu di kota Toraja. Sayang tidak bisa bertemu si kawan lama yang kebetulan hari itu justru sedang di Jakarta.

            Hari ke tiga perjalanan kami adalah menuju kota Masamba, melaui kota Palopo. Target kami bisa makan siang di Palopo dan tiba di Masamba sebelum maghrib. Perjalanan hari ini berat di sekitar 26 km pertama. 26 km pertama ini karakter medannya adalah tanjakan panjang berkelok-kelok. Mengingatkan saya akan kondisi puncak, jawa barat, ketika saya kecil dulu. Jalanan tidak lebar, kanan-kiri hutan, jarak antar rumah penduduk jauh dipisahkan hutan dan persawahan, dan juga tentunya kabut yang berulang kali turun menemani perjalanan kami. Sesampai di ujung tanjakan panjang ini, medan berikutnya adalah turunan panjang sekitar 40-an km menuju kota Palopo. Sesuai target, tepat jam makan siang, kami tiba di Palopo. Agak sulit kami menemukan tempat makan yang baik di jalur Palopo-Masamba. Akhirnya pilihan kami jatuhkan di warung gado-gado. Jangan membayangkan gado-gado seperti di tanah betawi, sangat jauh tentu rasanya dan tampilannya. Tapi tidak ada pilihan, kami harus mengisi perut kami yang kosong. Menuju Masamba adalah perjalanan membosankan. Jalanan lurus dan flat harus kami santap. Di tambah cuaca panas yang lagi lucu-lucunya.

            Tepat jam 16,00 kami memasuki kota Masamba. Tempat penginapan yang di rekomendasikan oleh Imran langsung kami tuju. Tepat di KM 0 kota Masamba dan di depan kantor polisi kota Masamba adalah letak dari hotel ini. Dari depan kondisi hotel sepertinya sangat baik, tapi jangan di tanya bagaimana kondisi dalamnya. Sangat tidak layak. Pendingin ruangan yang tidak berfungsi, kamar madi yang bocor airnya, aroma kamar yang apek khas kamar lama kosong menjadi teman kami malam itu. Tapi lelahnya badan setelah seharian bersepeda, membuat kami tidak lagi merasakan kekurangan kondisi hotel ini. Rasa lelah membuat otak kami seolah enggan lagi memikirkan yang jelek-jelek.

            Di kota Masamba bukan hanya mencari penginapan layak yang menjadi obstacle tapi juga mencari makanan layak. Dan masalah makanan, masih kami alami selama perjalanan di hari ke empat, etape Masamba-Malili. Hanya ada orang berjualan gorengan dan ketan di pagi hari itu. Tapi Alhamdulillah, si ibu penjual mau memberikan nasi yang seharusnya di masak untuk keluarganya untuk kami. Dan disini keramahan luar biasa kembali kami temui sepanjang perjalanan, selain si ibu penjual sarapan tadi. Tak sedikit penduduk yang menyempatkan berhenti ketika melihat kami istirahat, hanya untuk sekedar menemani mengobrol. Belum lagi si keluarga petani rambutan yang sudah memberikan saungnya untuk tempat kami beristirahat siang itu, ditemani rambutan hasil panen dan teh manis hangat. Sungguh luar biasa. Suatu keramahan tanpa pamrih yang bahkan kita sudah sulit temui di tanah Jawa apalagi Jakarta. Cuaca panas menemani kami menembus jalan di atara hutan sawit sepanjang Masamba-Malili.

            Tapi tanpa terasa, ternyata perjalanan di hari ke empat ini lebih cepat dari target yang kami buat. Belum sampai jam 12,00 siang, kami sudah sampai di Wotu. Wotu adalah persimpangan jalan antara menuju Poso di Sulawesi Tengah dan menuju Malili atau Kendari. Disini banyak warung penjual makanan berjajar si sepanjang pinggiran jalan. Tapi sayangnya tidak ada satupun kami jumpai yang menjual nasi dan lauknya. Warung-warung tersebut hanya berjualan makanan ringan, minuman dan indomie rebus. Gak punya pilihan, kami toh harus mengisi perut kami sebelum melanjutkan perjalanan ke Malili. Akhirnya Indomie dua porsi pun saya dan Emil santap. Hanya berdoa dalam hati, semoga ini cukup untuk booster tenaga kami menuju Malili. Selagi makan siang, tiba-tiba handphone sayan berbunyi. Di layar tampak nomer yang tidak saya kenal. Ternyata itu adalah telpon dari teman-teman sepeda di kota Malili. Imran ternyata sudah mengabari mereka kalo kami akan tiba di Malili. Mereka menanyakan kami sudah di mana. Betapa terkejutnya mereka ketika saya bilang ada di Wotu. Karena perkiraan mereka kami baru tiba di Malili sekitar dua hari lagi. Yah normalnya memang, jika sesuai dengan rencana, kami baru akan masuk Malili besoknya. Kami lebih cepat satu hari karena kami sempat “mencuri” hari dalam perjalanan menuju Toraja saat saya sakit.

            Selepas makan dan melepas lelah, saya dan Emil pun melanjutkan perjalanan. Emil tampak drop kondisinya. Dia terus tertinggal jauh. Cuaca panas, suasana perjalanan yang membosankan karena relative flat dan membelah hutan sawit, tampaknya mempercepat penurunan kondisi Emil. Tapi walaupun demikian perjalanan menuju Malili tetap relative cepat. Jam 16,00 kami sudah masuk kota Malili. Di luar dugaan, teman-teman komunitas sepeda di Malili menjemput kami di batas kota. Mereka rata-rata masih berseragam kantor, menandakan mereka membelakan waktu mereka hanya untuk menyambut kami. Rasa haru dan senang berbaur di hati menerima sambutan seperti ini. Minuman dingin sudah mereka siapkan untuk kami. Luar biasa memang teman-teman sepanjang perjalanan Celebes ini. Jangan menilai mereka dari cara mereka berbicara, karena cara bicara mereka memang cenderung keras untuk kita yang dari tanah Jawa. Tapi hati mereka sangat ramah dan baik. Ini yang membuat saya selalu cinta tanah Celebes. Mudah-mudahan ini tidak tergerus oleh jaman.

            Malam itu kami menginap di penginapan milik salah satu anggota komunitas sepeda Malili, Verbeck nama komunitasnya. Sepanjang jam tak berhenti gelombang rekan-rekan lain lagi yang datang untuk bertemu dengan kami. Sampai malam bahkan, masih saja ada yang datang untuk menemui kami. Tidak banyak perubahan di kondisi fisik kota Malili dibandingkan terakhir saya ke sini di tahun 2006. Tetap merupakan kota pelabuhan kecil yang sepi tapi nyaman. Hujan gerimis panjang, menemani istirahat kami malam itu.

            Dan hari terakhirpun tiba. Selepas subuh saya dan Emil mulai mengayuh sepeda membelah kota Malili menuju Sorowako, ditemani hujan gerimis yang masih saja mengguyur kota Malili. Etape terakhir ini paling pendek di bandingkan perjalanan kami di hari-hari sebelumnya. Hanya 55 km, tapi full tanjakan. Karena kota Malili yang di pinggir laut, sementara Sorowako adalah daerah pegunungan. Setengah jam kami mengayuh sepeda, suasana daerah pertambangan mulai terasa. Kondisi jalan dan marka-marka jalan khas pertambangan mulai menjadi pemandangan kami. Berbagai jenis kendaraan berat milik PT Vale juga berkali-kali berpapasan atau melewati kami. Selintas, berbagai memori ketika saya bekerja disana kembali menguasai pikiran. Ini memang daerah yang ngangeni kalo kata orang Jawa. Pemandangan luar biasa kami temui sepanjang perjalanan menuju Sorowako. Mulai dari danau buatan untuk PLTA sampai air terjun kecil di pinggir jalan. Pemandangan alam yang “mahal”. Belum tentu rasa yang sama akan kami dapatkan jika kami melewati jalur ini dengan bermobil.

            Jam 12.00 siang kami memasuki kota Wasuponda. Disini kami mencari makan siang sekalian saya mencoba menghubungi Asmar, teman kuliah yang sekarang bekerja di PT Vale dan tinggal di Wasuponda. Sayang Asmar sedang di kantor, jadi kami belum bisa bertemu saat itu. Saya juga menghubungi Chief Anto. Nah yang satu ini adalah mantan Bos saya ketika kerja di PT Vale. Begitu saya kasih tau kalo sudah di Wasuponda, chief Anto kaget, karena dia gak menyangka saya benar-benar akan bersepeda dari Makasar sampai Sorowako. Dia berpesan untuk segera kasih kabar begitu masuk Sorowako. Makan siang kami cukup nikmat. Ikan bakar nan lezat kembali bisa kami nikmati. Membayar kesulitan makan kami sepanjang Masamba.

            Karakter jalan Wasuponda-Sorowako dahsyat. Tanjakan makin terjal dan tajam. Gir paling ringan di sepeda kami gunakan. Kayuhan pelan terus dilakukan. Dan tetap hanya mampu beberapa kayuhan harus istirahat kembali. Lucu sebenarnya kalo kita memperhatikan ekspresi dari para pengendara kendaraan bermotor yang melewati kami. Hampir semua pasti menengok dan melihat kami dengan pandangan “melongo”. Seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mungkin di benak mereka bilang kalo kami gila. Sebagai informasi, memang di kawasan ini sudah banyak komunitas bersepeda. Tapi belum banyak yang melakukan touring jarak jauh seperti yang kami lakukan. Sebelum kami, hanya chief Anto dan keponakannya yang sudah menjajal rute yang sama seperti yang kami lalui. Saya masih hapal benar dengan jalan ini. Bahakan masih ingat beberapa spot yang memiliki tanjakan cukup berat. Menjelang masuk kota Sorowako, saya ingat akan kita temui satu tanjakan tajam yang sangat panjang. Maka sebelum sampai di tanjakan itu saya mengajak Emil utnuk istirahat di sebuah warung minuman dingin. Toh ternyata kami jauh lebih cepat dari target waktu yang kami rencanakan. Disini kami benar-benar melepas lelah, istirahat cukup panjang. Mengumpulkan tenaga untuk tanjakan pamungkas memasuki kota tambang Sorowako.

            Kehadiran kami ternyata kembali mengundang ketertarikan penduduk sekitar. Anak-anak kecil menegrumini sepeda kami, sementara ada beberapa bapak yang mengajak kami mengobrol. Menannyakan perjalanan kami menuju Sorowako. Tiba-tiba dari kejauhan ada sebuh mobil yang cukup saya kenal, mendekat ke warung tersebut dari arah Sorowako. Gak salah itu adalah mobil dinas Chief Anto, dengan warna hijau khas departemen Fire and Emergency Services. Ternyata dia gak sabar untuk bertemu saya dan Emil. Sambil geleng-geleng kepala dia menyalami kami saat itu. Pertemuan yang singkat karena dia harus kembali bertugas. Sebelum pergi dia mengajak kami malam itu makan malam bersama dengan beberapa rekan FES dan teman lain di PT Vale. Wah-wah, dalam hati saya dan mungkin juga Emil, ini kesempatan balas dendam makan nih. Memperbaiki gizi makanan yang kami konsumsi.

            Setelah merasa tenaga sudah pulih, kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh, tanjakan yang kami tunggu pun menanti di depan mata. Kembali saya istirahat di ujung jalan sebelum menanjak sambil mengambil foto Emil yang langsung melahap tanjakan panjang itu. Dan sayapun mulai mengayuh pelan melahap tanjakan terakhir ini. Pelan tapi pasti, akhirnya saya sampai di ujung tanjakan. Marka jalan yang menunjukkan Sorowako menyambut kami. Plant Site lokasi tambang nikel PT Inco pun sudah terlihat di depan kami. Gak bisa kami sembunyikan rasa senang di hati, karena setelah berhari-hari, kami akhirnya sampai di tujuan. Setelah ini jalan hanya turun terus sampai masuk di kota Sorowako. Kota surga di tepian danau Matano. Sesampai di Sorowako jam masih menunjukkan jam 16,00. Saya mengajak Emil untuk keliling kompleks pemukiman karyawan PT Vale dulu. Mengenang masa-masa tinggal di Jalan Sulawesi. Melihat rumah yang dulu saya tempati, yang kinipun kondisinya masih kosong tanpa penghuni. Setelah itu saya antar Emil untuk menikmati panorama danau Matano. Landmark Sorowako. Salah satu danau terindah yang pernah saya jumpai. Termasuk salah satu danau terdalam di dunia dan salah satu danau purba yang ada di Indonesia. Pemandangan yang luar biasa. Dan perjalanan Makasar-Sorowako pun kami akhiri di tepian danau Matano.
         
Saya sadar bahwa mungkin secara jarak ini bukan apa-apa dibandingkan dengan rekan-rekan peturing lainnya. Tapi pengalaman yang kami dapatkan sepanjang perjalanan, menjadi ilmu sangat mahal yang kami dapatkan. Dan kami pun menyatakan dalam hati, bahwa ini adalah bukan yang terakhir, tetapi merupakan langkah awal kami untuk perjalanan berikutnya. Bukan jarak dan kecepatan yang kami cari, tetapi pelajaran hidup dan rasa mensyukuri rejeki Allah yang kami cari. Ya jalan masih panjang di hadapan kami untuk di jelajahi kembali…..