Hingga
beberapa tahun lalu, mungkin tidak banyak orang yang tahu nama desa Sawarna.
Mungkin hanya sebatas mendengan nama iya, tapi hanya segelintir orang saja yang
pernah mengunjungi tempat itu. Keindahannya, membuat desa Sawarna mendapat
julukan “Surga yang Tersembunyi di Selatan Jawa”. Tapi sangat berbeda dengan
kondisi dua hingga satu tahun terakhir. Di saat liburan terutama, desa Sawarna
sudah layaknya tempat-tempat hiburan pada umumnya. Ramai bagaikan pasar, padat
akan manusia dan kendaraan bermotor. Penginapan-penginapan di sekitar sana pun penuh oleh
pengunjung. Jangan lagi membayangkan tempat sunyi nan damai di tepian laut
selatan Jawa. Sudah jauh panggang dari api.
Desa
Sawarna, merupakan sebuah desa yang terletak di pantai selatan Jawa. Secara administrative
desa ini berada di wilayah provinsi Banten. Untuk mencapainya, dapat di akses
melalui jalur Sukabumi ataupun Pandeglang. Desa Sawarna terkenal dengan pantai
pasir putihnya yang memiliki garis pantai hingga 65 km, dan juga memiliki ombak
yang sangat bagus untuk kegiatan surfing. Sebenarnya selain dari keindahan
alamnya yang sangat menawan, Sawarna menyimpan sejuta pesona lainnya. Tidak
kurang dari latar belakang sejarah dan budaya yang dimiliki Sawarna, layak
untuk disimak.
Daerah
ini sangat kental sebenarnya dengan bagian dari jejak sejarah penjajahan
Belanda dan Jepang pada masanya. Sangat menarik jika di perhatikan, desa
Sawarna yang terletak di wilayah Banten, ternyata memiliki budaya Priangan yang
lebih kental. Jika di tarik ke belakang, ternyata ini ada kaitannya dengan
kehadiran perkebunan dan pertambangan batu bara tradisional milik Belanda di
daerah Sawarna. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Sawarna, Belanda yang
saat itu membuka perkebunan kelapa, membawa para pekerja dari daerah Sukabumi
dan Bandung
untuk mengerjakan perkebunan tersebut. Daerah yang masih kosong tanpa penduduk
itupun, akhirnya menjadi suatu desa baru yang kemudian dinamakan Sawarna. Ada satu bukti sejarah
lain lagi yang sampai sekarang masih tanda tanya. Ada sebuah makam bangsa Belanda, tidak jauh
dari pinggir pantai. Tidak banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan kuburan
ini. Pada nisannya tertulis nama Van Gogh. Banyak cerita yang simpang siur
tentang siapakah Van Gogh ini. Namun paling tidak ada dua cerita yang cukup
kuat di masyarakat. Cerita pertama adalah, Van Gogh yang nisannya ada di
Sawarna ini adalah masih ada hubungan darah dengan pelukis Belanda terkenal Van
Gogh. Yang pada saat itu sedang melakukan perjalanan dengan kapal laut. Tapi di
perjalanan beliau terserang penyakit hingga meninggal ketika kapal sedang berada
di sekitar Sawarna. Hingga akhirnya dimakamkanlah dia di pantai Sawarna. Cerita
lain lagi, VanGogh ini adalah kepala perkebunan kelapa Belanda pada masanya,
yang akhirnya meninggal di tanah Sawarna. Tentunya hal itu semua masih harus
dikaji lagi kebenarannya.
Memasuki
masa penjajahan Jepang, daerah ini merupakan titik konsentrasi Romusha. Banyak
korban yang jatuh pada masa ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari tugu
Romusha yang dapat kita jumpai tidak jauh dari Sawarna. Kisah pedih kehidupan
masyarakat Sawarna pada masa penjajahan Belanda, bisa kita lihat dalam film
lama berjudul “Saijah dan Adinda” yang diangkat dari buku tulisan tokoh
nasional Max Havelaar.
Pada
masa kemerdekaan, pemerintah mengirimkan sejumlah tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan. Mereka adalah warga Priangan, yaitu Bandung dan Sukabumi. Menurut kesaksian
beberapa saksi sejarah. Pada masa itu, mereka harus berjalan kaki dari
Malimping, kota
terakhir yang bisa dicapai dengan kendaraan. Hutan dan rawa harus mereka lalui
sebelum akhirnya sampai di desa Sawarna. Lama perjalananpun beragam, mulai dari
seharian penuh hingga 2 hari perjalanan untuk mencapai Sawarna. Baru belakangan,
akhirnya pemerintah daerah membuka akses jalan menuju Sawarna. Bahkan kini
aspal mulus akan menemani perjalanan orang yang akan mengunjungi Sawarna dengan
kendaraan bermotor.
Pada
masa awal pengembangan Sawarna menjadi daearah wisata, konsep eco tourism coba
di terapkan. Rumah-rumah penduduk didorong untuk menjadi penginapan bagi
wisatawan. Makanan tradisional juga bisa dinikmati oleh wisatawan yang tinggal
bersama dengan penduduk. Dengan konsep ini, selain masyarakat bisa mendapatkan
keuntungan dari kehadiran wisatawan secara langsung, bagi para wisatawan juga
lebih bisa menyelami budaya masyarakat Sawarna. Dan yang utama, penduduk
Sawarna menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun sayang, dalam perkembangannya,
jenis penginapan yang dikenal dengan home stay ini, mulai tersingkirkan oleh
kehadiran penginapan-penginapan jenis cottage yang mulai tumbuh. Para investor dari luar tidak ragu menanamkan modalnya
untuk membuat penginapan disana. Ujungnya tentulah kembali masyarakat Sawarna
sebagai tuan rumah hanya lah sebagai pekerja dan tidak lagi sebagai pemilik
dari perkembangan wisata Sawarna. Kontrol pemerintah daerah yang kurang juga
terlihat di pantai Sawarna. Jika sebelumnya pantai bersih dari aktifitas warung
makan dan minum, sehingga kebersihan dan keindahan pantai terjaga. Kini kondisi
tersebut jauh berubah. Sederetan warung menjamur di sepanjang garis pantai.
Tumpukan sampai tidak jauh dari sana
terlihat menumpuk. Juga ceceran-ceceran sampah terlihat di sepanjang pantai.
Melihat
potensi alam, budaya dan sejarah Sawarna yang begitu besar, apakah kita akan
membiarkan Sawarna tergerus oleh kepentingan ekonomi semata? Dibutuhkan kerja
keras dari semua pihak untuk menyelamatkan Sawarna sebelum kondisi menjadi
semakin sulit. Masyarakat dan Pemerintah Daerah harus berani mengambil
keputusan untuk menyelamatkan Sawarna. Tidak mudah silau dengan keuntungan
ekonomi sesaat. Sebaiknya mulailah belajar dari lokasi-lokasi wisata lain yang
sudah terlanjur rusak karena dampak industri wisata yang tidak terkendali.
Tulisan
ini saya buat, berdasarkan apa yang saya lihat dan amati selama beberapa kali
melakukan kunjungan ke Sawarna. Saya mencintai desa ini dan masyarakatnya. Dan
saya yakin masih banyak yang mencintai tempat ini. Masyarakat Sawarna harus
kembali menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Kami pendatang ini hanyalah tamu
dan sahabat.
No comments:
Post a Comment