Monday, April 15, 2013

Sawarna, Surga Tersembunyi yang Mulai Tergerus Jaman



            Hingga beberapa tahun lalu, mungkin tidak banyak orang yang tahu nama desa Sawarna. Mungkin hanya sebatas mendengan nama iya, tapi hanya segelintir orang saja yang pernah mengunjungi tempat itu. Keindahannya, membuat desa Sawarna mendapat julukan “Surga yang Tersembunyi di Selatan Jawa”. Tapi sangat berbeda dengan kondisi dua hingga satu tahun terakhir. Di saat liburan terutama, desa Sawarna sudah layaknya tempat-tempat hiburan pada umumnya. Ramai bagaikan pasar, padat akan manusia dan kendaraan bermotor. Penginapan-penginapan di sekitar sana pun penuh oleh pengunjung. Jangan lagi membayangkan tempat sunyi nan damai di tepian laut selatan Jawa. Sudah jauh panggang dari api.

            Desa Sawarna, merupakan sebuah desa yang terletak di pantai selatan Jawa. Secara administrative desa ini berada di wilayah provinsi Banten. Untuk mencapainya, dapat di akses melalui jalur Sukabumi ataupun Pandeglang. Desa Sawarna terkenal dengan pantai pasir putihnya yang memiliki garis pantai hingga 65 km, dan juga memiliki ombak yang sangat bagus untuk kegiatan surfing. Sebenarnya selain dari keindahan alamnya yang sangat menawan, Sawarna menyimpan sejuta pesona lainnya. Tidak kurang dari latar belakang sejarah dan budaya yang dimiliki Sawarna, layak untuk disimak.

            Daerah ini sangat kental sebenarnya dengan bagian dari jejak sejarah penjajahan Belanda dan Jepang pada masanya. Sangat menarik jika di perhatikan, desa Sawarna yang terletak di wilayah Banten, ternyata memiliki budaya Priangan yang lebih kental. Jika di tarik ke belakang, ternyata ini ada kaitannya dengan kehadiran perkebunan dan pertambangan batu bara tradisional milik Belanda di daerah Sawarna. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Sawarna, Belanda yang saat itu membuka perkebunan kelapa, membawa para pekerja dari daerah Sukabumi dan Bandung untuk mengerjakan perkebunan tersebut. Daerah yang masih kosong tanpa penduduk itupun, akhirnya menjadi suatu desa baru yang kemudian dinamakan Sawarna. Ada satu bukti sejarah lain lagi yang sampai sekarang masih tanda tanya. Ada sebuah makam bangsa Belanda, tidak jauh dari pinggir pantai. Tidak banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan kuburan ini. Pada nisannya tertulis nama Van Gogh. Banyak cerita yang simpang siur tentang siapakah Van Gogh ini. Namun paling tidak ada dua cerita yang cukup kuat di masyarakat. Cerita pertama adalah, Van Gogh yang nisannya ada di Sawarna ini adalah masih ada hubungan darah dengan pelukis Belanda terkenal Van Gogh. Yang pada saat itu sedang melakukan perjalanan dengan kapal laut. Tapi di perjalanan beliau terserang penyakit hingga meninggal ketika kapal sedang berada di sekitar Sawarna. Hingga akhirnya dimakamkanlah dia di pantai Sawarna. Cerita lain lagi, VanGogh ini adalah kepala perkebunan kelapa Belanda pada masanya, yang akhirnya meninggal di tanah Sawarna. Tentunya hal itu semua masih harus dikaji lagi kebenarannya.

            Memasuki masa penjajahan Jepang, daerah ini merupakan titik konsentrasi Romusha. Banyak korban yang jatuh pada masa ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari tugu Romusha yang dapat kita jumpai tidak jauh dari Sawarna. Kisah pedih kehidupan masyarakat Sawarna pada masa penjajahan Belanda, bisa kita lihat dalam film lama berjudul “Saijah dan Adinda” yang diangkat dari buku tulisan tokoh nasional Max Havelaar.
            Pada masa kemerdekaan, pemerintah mengirimkan sejumlah tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. Mereka adalah warga Priangan, yaitu Bandung dan Sukabumi. Menurut kesaksian beberapa saksi sejarah. Pada masa itu, mereka harus berjalan kaki dari Malimping, kota terakhir yang bisa dicapai dengan kendaraan. Hutan dan rawa harus mereka lalui sebelum akhirnya sampai di desa Sawarna. Lama perjalananpun beragam, mulai dari seharian penuh hingga 2 hari perjalanan untuk mencapai Sawarna. Baru belakangan, akhirnya pemerintah daerah membuka akses jalan menuju Sawarna. Bahkan kini aspal mulus akan menemani perjalanan orang yang akan mengunjungi Sawarna dengan kendaraan bermotor.

            Pada masa awal pengembangan Sawarna menjadi daearah wisata, konsep eco tourism coba di terapkan. Rumah-rumah penduduk didorong untuk menjadi penginapan bagi wisatawan. Makanan tradisional juga bisa dinikmati oleh wisatawan yang tinggal bersama dengan penduduk. Dengan konsep ini, selain masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari kehadiran wisatawan secara langsung, bagi para wisatawan juga lebih bisa menyelami budaya masyarakat Sawarna. Dan yang utama, penduduk Sawarna menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun sayang, dalam perkembangannya, jenis penginapan yang dikenal dengan home stay ini, mulai tersingkirkan oleh kehadiran penginapan-penginapan jenis cottage yang mulai tumbuh. Para investor dari luar tidak ragu menanamkan modalnya untuk membuat penginapan disana. Ujungnya tentulah kembali masyarakat Sawarna sebagai tuan rumah hanya lah sebagai pekerja dan tidak lagi sebagai pemilik dari perkembangan wisata Sawarna. Kontrol pemerintah daerah yang kurang juga terlihat di pantai Sawarna. Jika sebelumnya pantai bersih dari aktifitas warung makan dan minum, sehingga kebersihan dan keindahan pantai terjaga. Kini kondisi tersebut jauh berubah. Sederetan warung menjamur di sepanjang garis pantai. Tumpukan sampai tidak jauh dari sana terlihat menumpuk. Juga ceceran-ceceran sampah terlihat di sepanjang pantai.

            Melihat potensi alam, budaya dan sejarah Sawarna yang begitu besar, apakah kita akan membiarkan Sawarna tergerus oleh kepentingan ekonomi semata? Dibutuhkan kerja keras dari semua pihak untuk menyelamatkan Sawarna sebelum kondisi menjadi semakin sulit. Masyarakat dan Pemerintah Daerah harus berani mengambil keputusan untuk menyelamatkan Sawarna. Tidak mudah silau dengan keuntungan ekonomi sesaat. Sebaiknya mulailah belajar dari lokasi-lokasi wisata lain yang sudah terlanjur rusak karena dampak industri wisata yang tidak terkendali.

            Tulisan ini saya buat, berdasarkan apa yang saya lihat dan amati selama beberapa kali melakukan kunjungan ke Sawarna. Saya mencintai desa ini dan masyarakatnya. Dan saya yakin masih banyak yang mencintai tempat ini. Masyarakat Sawarna harus kembali menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Kami pendatang ini hanyalah tamu dan sahabat.

No comments:

Post a Comment