Wednesday, April 10, 2013

Menggapai Mimpi di Carstensz Pyramid 4884 MDPL



Siapa pendaki di Indonesia dan mungkin juga di dunia yang tidak bermimpi suatu hari di masa hidupnya bisa mencapai puncak Carstenz Pyramid di tanah Papua? Gunung dengan ketinggian 4884 mdpl, merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan merupakan salah satu dari 7 puncak tertinggi di tujuh lempeng benua. Dan menurut seorang teman yang sudah mendaki beberapa puncak dunia, pendakian ke puncak Carstensz merupakan salah satu yang tersulit secara technical maupun dari sisi non teknisnya.

            Puncak Carstensz Pyramid terletak di kawasan pegunungan Sudirman, Papua. Yang sampai saat ini masih merupakan lokasi yang dianggap berbahaya dari gerakan bersenjata. Meskipun wilayah ini sudah dinyatakan sebagai Taman Nasional, tetapi perijinan untuk mendaki kesana tidak semudah pendakian atau perjalanan ke taman nasional lainnya di Indonesia. Paling tidak perijinan dari pihak TNI dan POLRI merupakan salah satu yang harus dikantongi oleh siapapun yang akan melakukan pendakian kesana. Selain sulitnya perijinan pendakian, kesulitan juga di perparah dengan sulitnya akses ke pegunungan ini. Hampir tidak ada penerbangan regular ke desa awal pendakian. Pintu lain menuju kawasan ini adalah melalui tambang Freeport, yang bisa dibilang juga sulit didapat ijinnya. Segala hal tersebut sudah pernah saya alami mulai dari tahun 92 hingga 99.

            Sekitar tahun 92, waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMA 68 Jakarta. Bersama beberapa rekan yang kebetulan memiliki mimpi untuk bisa mendaki ke Carstensz Pyramid, kami mencoba mengurus perijinan untuk melakukan pendakian, namun gagal. Di tahun 99, saat itu saya sudah semester akhir kuliah di sastra UI, bersama dengan teman-teman satu angkatan di Mapala UI kembali mencoba untuk membuat pendakian ke Carstensz Pyramid dan kembali gagal. Di tahun 99, perijinan dari semua pihak berwenang sudah kami kantongi, namun kami harus berbesar hati untuk gagal berangkat karena tidak mencukupinya biaya perjalanan yang mencapai 20jt per orang diluar biaya peralatan. Usaha untuk mendapat ijin melintas dari Freeportpun sudah kami coba, namun juga tidak berhasil di dapat. Sekedar informasi, bila kita berhasil mendapatkan ijin melintas dari Freeport, kita bisa menghemat biaya lebih dari setengah total biaya pendakian normal. Yah sampai saat itu, saya dengan semua anggota tim pendakian harus berbesar hati untuk memendam kembali mimpi bisa menjejakkan kaki di titik tertinggi di Indonesia.

            Kurang lebih tujuh tahun setelahnya, tahun 2006, tanpa saya duga ternyata mimpi saya akhirnya bisa menjadi kenyataan. Saat itu bulan Mei 2006, saat saya menjelang kepulangan ke Jakarta dari lokasi kerja saya di Sorowako yang telah habis masa kontraknya, saya mendapat kabar bahagia tersebut. Ripto Mulyono yang akrab dipanggil Mul, memberi kabar bahwa saya akan dia ajak mendampingi tim Liputan 6 SCTV mendaki Carstensz Pyramid di bulan Agustus. Antara percaya dan tidak dengan ajakan tersebut. Masih seperti mimpi mendengar tawaran itu. Mimpi bertahun-tahun yang sudah sempat saya pikir tidak akan bisa tercapai, sekarang sudah ada di depan mata. Tak kurang kata sukur saya panjatkan ke Allah saat itu.

            Ripto Mulyono adalah salah satu senior dan pelatih tim saya di Mapala UI, saat saya menyiapkan pendakian ke Carstensz di tahun 99. Dari dialah selama ini, mimpi untuk bisa suatu hari mendaki Carstensz dan puncak dunia lainnya terus terjaga di hati nurani saya dan teman-teman di Mapala UI. Ripto adalah salah satu dari sedikit pendaki gunung Indonesia yang menjajaki pendakian “Seven Summits” oleh orang Indonesia. Bahkan di tahun 96, Ripto hampir saja berhasil mencapai puncak Everest di Nepal bersama dengan tim Kopassus. Dan hingga kini, saya rasa hanya dialah yang sudah melakukan pendakian terbanyak ke Carstensz Pyramid. Saya yakin segudang pengalamannya lah yang membuat SCTV meminta dia untuk menyiapkan dan membentuk tim untuk pendakian di Agustus 2006 itu.

            Dan hari besar itupun tiba. Enam orang pendaki dari Liputan 6 SCTV dan enam orang pendaki dari beberapa pencinta alam universitas, berangkat menuju Timika. Kota awal yang akan menjadi awal pendakian kami ke pegunungan Sudirman. Pendakian yang akan kami lakukan mendapat akses melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia. Dengan menumpang pesawat Airfast, kami berangkat pagi itu. Kurang lebih tujuh jam waktu tempuh penerbangan normal Jakarta-Timika. Penerbangan yang melelahkan. Dan ternyata itupun masih harus ditambah dua jam karena cuaca buruk, sehingga pesawat yang kami tumpangi harus transit di Nabire, sebelum akhirnya bisa mendarat di Timika. Faktor cuaca memang juga salah satu obstacle perjalanan dengan pesawat ke tanah Papua.Setelah perjalanan berjam-jam, akhirnya pesawat kami pun mendarat di Bandar udara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Namanya adalah Bandar Udara Internasional, tapi jangan berharap melihat bandara mewah seperti layaknya Bandar udara di belahan Indonesia yang lainnya. Bandara yang sangat minimalis, bahkan gedung terminalnya mungkin tidak lebih besar dari satu gedung fakultas di UI. Tidak akan dapat kita jumpai roda berjalan tempat kita menunggu bagasi layaknya di Bandar udara lainnya. Yah semua serba minimalis, namun di balik segala keterbatasan itu, bandara ini relative bersih dan teratur. Tidak seperti Cengkareng yang kian hari kian kumuh.

Sesampainya di Timika, rombongan kami di jemput oleh perwakilan dari PT Freeport, om Ronald namanya. Orang yang kemudian saya kenal sebagai orang yang sangat ramah dan baik hati. Setelah mendapatkan safety induction sebagai safety standard memasuki kawasan Freeport, om Ronald mengajak kami menuju penginapan di kota Timika. Yah kami memang tidak langsung menuju Tembagapura, karena masih ada beberapa persiapan yang akan kami lakukan di kota ini. Yang paling utama adalah berbelanda beberapa kebutuhan makanan. Karena akan sangat sulit dan mahal jika kita membelinya di Tembagapura nanti. Penginapan yang sederhana tapi sangat baik kondisinya. Sangat nyaman bahkan. Ini adalah penginapan yang biasa digunakan oleh para tamu Freeport jika menginap di Timika. Malam itu, selepas ngobrol ngalur ngidul antara anggota tim pendakian, kami pun terlelap di kelam malam kota Timika.

Pagi itu selepas bangun tidur, saya lihat ada sebuah bis yang sangat besar di parkiran halaman hotel. Ternyata itu adalah bis yang akan mengangkut kami menuju Tembagapura hari ini. Selepas sarapan dan sedikit berbelanja kebutuhan makanan pendakian, rombongan kami pun berangkat. Hari sudah menjelang siang saat itu. Perjalanan menuju Tembagapura menyajikan pemandangan alam luar biasa. Tak jarang, bis yang kami tumpangi harus berhenti hanya karena kebutuhan rombongan mengambil gambar. Sayang rasanya jika keindahan seperti ini tidak terabadikan. Banyak pula kendaraan tambang yang berpapasan dengan bis kami. Pemandangan yang umum, khas daerah pertambangan. Yang membedakan dari lokasi tambang lain yang pernah saya sambangi, mungkin ukuran dari kendaraan-kendaraan di Freeport relative lebih besar. Perjalanan dari Timika menuju Tembagapura juga terkesan ketat dari sisi keamanannya. Bis kami di kawal oleh dua kendaraan security mulai dari gerbang masuk kawasan tambang di kota Timika tadi. Selain itu, tidak kurang dari tiga buah pos pemeriksaan keamanan harus kami lalui hingga sampai di Tembagapura.

Di Tembagapura, rombongan kami mendapatkan pinjaman sebuah “Flat” mirip apartment di area perumahan baru mereka yang nama daerahnya adalah Hidden Valley. Sesuai dengan namanya, lokasi perumahan ini memang terletak di dasar lembah yang dikelilingi oleh hutan dan tebing. Sangat indah. Belum pernah dalam hidup saya, menemukan keindahan alam seperti yang saya jumpai saat itu. Sampai di Tembagapura, tidak ada waktu istirahat bagi kami ternyata. Sejumlah agenda sudah disiapkan. Mulai dari persiapan peliputan upacara kemerdekaan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan peralatan pendakian, jamuan makan malam dan masih banyak lagi. Ada hal menarik ketika kami baru saja memasuki ruangan yang di pinjamkan untuk kami. Tiba-tiba saja pintu ada yang mengetuk, ketika dibuka seorang anak dengan sepiring pisang goreng berdiri di muka pintu. Ternyata anak itu mengirimkan titipan ibunya, sekaligus mengundang kami untuk makan bersama dengan keluarganya malam itu. Begitu hangat sambutan para warga disini, cukup menghangatkan hati di tengah membekunya suhu udara di Hidden Valley.

Empat hari saya dan seluruh anggota tim tinggal di Tembagapura. Segala persiapan dan peliputan yang dibutuhkan oleh tim SCTV sudah rampung kami lakukan. Sekaligus juga kami gunakan guna proses aklimatisasi tubuh dengan ketinggian. Dan pagi itu rombongan kami pun di jemput dengan bis untuk menuju High Camp. Semua peralatan kami bagi dua. Peralatan pendakian untuk empat hari pertama kami bawa dalam ransel masing-masing, sementara sisanya termasuk peralatan pemanjatan dan peralatan listrik dipisahkan untuk di drop dengan helicopter langsung di Lembah Danau-Danau, base camp pendakian kami nantinya. Cuaca cukup dingin pagi itu, dengan diiringi pula oleh gerimis hujan, kami menuju High Camp. Bis yang mengangkut kami, menurunkan rombongan di tempat keberangkatan kereta gantung. Untuk mencapai High Camp tidak bisa dengan menggunakan bis. Dari kereta gantung ini kami bisa melihat dengan jelas lokasi pertambangan Freeport. Kabut tipis sesekali menutupi pandangan. Sampai di High Camp bis lain sudah menunggu, termasuk juga satu mobil Emergency Response Group yang akan mengawal rombongan hingga Bali Dam. Berikutnya yang kami sambangi adalah Pos Ayam Hitam. Pos pemeriksaan keamanan terakhir di wilayah tambang Freeport. Pos ini dijaga oleh para prajurit TNI. Sejumlah urusan admisnistrasi harus kami lakukan disini sebelum memulai pendakian. Pos yang kecil, dingin tapi cukup bersih dan rapi. Dari Pos Ayam Hitam, rombongan kami menuju Bali Dam, titik awal pendakian kami. Ripto Mulyono sebagai ketua pendakian memutuskan kami akan menginap malam ini di kaki tebing Zebra Wall, tepat di bawah Bali Dam. Keputusan ini di buat untuk proses aklimatisasi seluruh anggota tim pendakian. Maklum saja, ketinggian saat itu sudah hampir 4000 mdpl, berbeda lebih dari 1000 mdpl dibandingkan ketinggian Tembagapura. Malam pertama di pegunungan Sudirman, saya bisa istirahat dengan baik walau semalaman diiringi suara alat berat pertambangan Freeport.

Hari ke dua pendakian, semua anggota tim dalam kondisi prima. Tidak ada masalah dengan aklimatisasi tubuh. Cuaca juga cukup cerah, walaupun sempat gerimis dan berkabut tipis. Target pendakian kami hari ini adalah Danau Biru di kaki tebing Wachter, New Zealand Pass dan Pintu Angin. Tidak lama berjalan, kami sudah sampai di tujuan. Cuaca cukup berangin di sini. Udara dingin menusuk tulang mulai saya rasakan. Di hadapan kami adalah tanjakan tajam melewati Pintu Angin unutk menuju Base Camp kami nantinya di Lembah Danau-Danau. Malam ini saya merasakan sedikit pusing di kepala. Mungkin ini adalah tanda gejala mountain sickness, proses aklimatisasi yang kurang baik di tubuh saya. Tapi bagaimanapun saya paksakan untuk bisa tidur dan istirahat maksimal malam itu. Sampai besok paginya ternyata sedikit pusing di kepala belum juga hilang. Dan ternyata saya tidak sendiri, beberpa anggota tim pendakian juga mengalamai hal serupa. Ripto pun memutuskan unutk menambah satu hari lagi untuk menginap di tepian Danau Biru ini untuk bisa memperbaiki kondisi tubuh, sekaligus juga menunggu kepastian dropping logistic dengan helicopter dari Freeport. Hari ke tiga ini cuaca kurang bersahabat. Seharian camp kami diguyur hujan walaupun tidak lebat. Angin pun sedikit kencang menghantam tenda kami. Suhu sedikit lebih dingin dari hari kemarin. Aktifitas hari ini kami isi dengan memasak dan mengobrol penuh canda, menghibur diri. Dan tentunya sejumlah gambar tidak juga luput dari kamera kami.

Hari ke empat pendakian, kami semua bangun dengan kondisi tubuh yang prima kembali. Tidak ada lagi pusing di kepala. Dan ketika kami selesai makan serta packing ransel masing-masing, helicopter pengangkut logistic kami pun lewat di atas kami menuju Lembah Danau-Danau. Cuaca cukup baik hari itu. Hampir siang saat kami memulai pendakian menuju Base Camp. Melewati tanjakan menuju Pintu Angin sangat melelahkan. Kecuraman tanjakannya memang lumayan, mungkin juga di tambah dengan faktor ketinggian yang sudah 4000 mdpl membuat kami lebih mudah lelah. Rombongan pendakian berjalan pelan saling berdekatan. Ripto sesekali berteriak memberi semangat. Hari menjelang sore ketika saya sampai di Lembah Danau-Danau. Hujan deras menyambut kedatangan tim kami di sana. Sebuah flysheet darurat kami bentangkan untuk melindungi tubuh dan beberapa peralatan yang rawan dari air hujan. Ketika hujan tidak lama kemudian mereda, kami pun mulai membangun tenda. Enam buah tenda kami dirikan, meliputi satu tenda makan, satu tenda peralatan elektronik penyiaran dan empat tenda untuk kami tidur. Udara semakin dingin malam itu, anginpun kurang bersahabat. Selepas makan malam dan membersihkan semua alat makan masing-masing. Seluruh anggota tim pendakian pun telah terlelap dalam tenda masing-masing. Malam itu sekitar jam 3,00 dini hari, Ripto membangunkan kami. Base Camp kami di terjang badai salju. Tenda makan kami sudah rata dengan tanah karena tidak kuat menahan beban salju yang menimpanya. Sejadinya lah tengah malam dingin kami harus menyelamatkan tenda dan peralatan kami dari terjangan badai salju. Hujan salju di barengi dengan angin baru mereda sekitar pulul 05,00 pagi. Berbarengan dengan mulai terbitnya matahari. Kami pelan-pelan mulai membangun kembali tenda makan kami yang rata dengan tanah. Memasak makan pagi itu pun terpaksa kami lakukan di luar.

Di hari ke lima ini, saya, Fahmi dan Epoy, di tugaskan Ripto untuk mendrop sebagian peralatan di teras besar Puncak Jaya, ini diperlukan untuk menghemat beban yang akan kami tanggung pada hari pendakian tim besar nantinya. Mengingat beban peralatan yang akan kami bawa nantinya sangat banyak. Target pendakian ini nantinya adalah pemecahan record oleh tim Liputan 6 SCTV sebagai tim peliputan pertama yang melakukan siaran langsung dari titik tertinggi. Dan kesempatan itu, saya pikir akan baik bagi proses aklimatisasi tubuh. Kami bertiga sampai kembali di camp ketika hari hampir sore. Saat kami tiba, tim SCTV sedang menyiapkan siaran langsung dari camp kami di Lembah Danau-Danau. Hari-hari di camp, sejauh ini kami lalui dengan bahagia. Walaupun ada beberapa kejadian seperti badai salju, tapi kami sangat menikmati perjalanan ini. Malamnya, di tengah tidur, saya terbangun. Kepala rasanya bagai dipukuli palu. Sakit bukan main. Ya saya kembali terkena mountain sickness dan ini lebih berat dari yang saya rasakan sebelumnya. Segala cara saya coba, tidak juga berhasil menghilangkan sakit kepala itu. Akhirnya pilihan terakhir, obat dari Ripto saya konsumsi. Dan tidak lama sakit kepala berangsur berkurang dan malam itu saya bisa tidur lagi. Alhamdulillah…

Pagi hari ke enam pendakian, Ripto mencek kondisi seluruh anggota tim. Ternyata saya tidak sendirian terkena serangan mountain sickness. Aldian, produser Liputan 6, juga terkena dan sedikit lebih parah dari saya. Novri, kameramen Liputan 6, juga merasakan hal serupa. Menanggapi hal itu akhirnya Ripto memutuskan untuk menambah hari istirahat di camp Lembah Danau-Danau. Tidak ada hal yang istimewa hari itu, selain hunting foto sekitaran camp dan peliputan yang dilakukan tim Liputan 6. Tak jauh dari camp kami, saya menemukan sebuah prasasti dari alumunium tebal, mengenang rekan-rekan Aranyacala Trisakti yang meninggal dalam usaha pendakiannya ke Carstensz Pyramid. Sejenak saya dan beberapa teman memanjatkan doa saat itu. Apapun yang terjadi, usaha mereka merupakan catatan sejarah pendakian di Indonesia.

Hari ke tujuh adalah hari awal pendakian kami menuju puncak Jaya. Target pendakian kami hari ini hanya sampai di teras besar, dimana kami telah mendrop beberapa peralatan sebelumnya. Perjalanan hari ini sedikit lebih lambat dari ketika saya mendrop barang. Mungkin jumlah beban dan banyaknya orang mempengaruhi. Sekitar jam 16,00 kami baru tiba di teras besar. Dua buah tenda pun kami dirikan. Malam yang terasa panjang. Tidur malam itu terasa sangat tidak nyaman, hanya tidur ayam saja. Tidur berdesakan di tambah beralaskan serakan batu di bawah tenda, tidak mampu membuat saya dan beberapa teman istirahat dengan baik. Belum lagi di tambah dengan angin yang dinginnya menusuk tulang di luar sana.

Jam menunjukkan pukul 5,00 pagi waktu itu. Kami mulai bersiap melakukan summit attack di hari ke delapan pendakian kami. Diiringi hujan salju, kami mulai merayapi rute pendakian puncak Jaya. Ice Axe cukup membantu saya melewati medan bersalju yang semakin tebal karena efek dari hujan salju yang belum juga berhenti. Beberapa ratus meter dari puncak, kami berhenti di sebuah medan batuan rata yang cukup luas. Di situ Aldian dan Ripto membagi tim menjadi dua. Tujuh orang termasuk saya akan terus menuju puncak, sementara sisanya akan menetap disana untuk menyiapkan siaran langsung ke Jakarta. Pendakian pun kami lanjutkan. Aldian, Radit dari Liputan 6 dan saya bergantian mengoperasikan kamera, meliput pendakian menuju puncak. Semakin mendekati puncak, hujan salju semakin deras turun menimpa kami. Lapisan saljupun semakin tebal. Setiap langkah yang saya lakukan, akan masuk sekitar setinggi dengkul ke dalam salju. Hal itu membuat langkah pendakian semakin lambat. Maklum di tim kami, relative hanya Ripto yang sudah berpengalaman mendakidi situasi seperti itu. Dan akhirnya, masih di tengah cuaca buruk, baru sekitar jam 12,00 siang kami sampai di puncak Jaya dengan ketinggian 4862 mdpl. Siaran langsung pun kami lakukan. Alhamdulillah berhasil siaran langsung ini, dan sekaligus juga untuk saya pribadi akhirnya bisa mencapai puncak salju khatulistiwa ini. Tinggal satu puncak lagi berikutnya, Carstensz Pyramid.

Perjalanan turun dari puncak tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Tubuh semakin terkuras tenaganya. Sementara hanya indomie dan coklat, makanan yang masuk ke dalam perut seharian ini. Sekitar jam 20,00 saya, Radit dan Epoy sampai di camp. Jalan sudah bagaikan zombie, pandangan sudah tidak focus, dan sandungan batu-batu sepanjang jalan cukup untuk membuat kami berkali-kali terjatuh. Beruntung cuaca cukup cerah malam itu mengiringi perjalanan kami turun. Sesampai di camp, sebelum istirahat, sambil menunggu teman lain kami sempatkan untuk memasak minuman hangat. Dan saya memaksakan diri untuk bisa memasukkan makanan ke dalam perut. Kelelahan yang amat sangat di tambah suhu dingin membuat napsu makan menghilang. Malam itu saya tidur bagai mayat. Mungkin kalo ada badai lagi malam itu, saya belum tentu dengar dan mampu membuka mata. Beruntung, benar-benar Allah memberikan bonus cuaca cerah malam itu mengiringi tidur kami.

Pagi hari di hari ke sembilan pendakian ini, selepas sarapan pagi Aldian meminta ke Ripto untuk turun ke Tembagapura. Dia merasa kondisi tubuhnya makin drop setelan pendakian puncak Jaya sehari sebelumnya. Mountain Sickness semakin menggerogoti tubuhnya. Dia cerita kalo dia sudah mengalami halusinasi pagi itu. Ripto bergerak cepat, dia minta Fahmi mengkontak ke ERG di Freeport untuk bersiap melakukan evakuasi. Sementara tim Liputan 6 juga melakukan koordinasi siapa yang akan melanjutkan peliputan pendakian Carstensz Pyramid dan siapa yang akan turun menemani Aldian. Akhirnya diputuskan Radityo Wicaksono dan Akemona untuk tetap di camp, berisap untuk peliputan berikutnya, sementara yang lainnya dari Liputan 6 akan turun mendampingi Aldian. Perpisahan pun terjadi, sedikit sedih setelah satu minggu bersama. Kini harus ada beberapa teman yang harus kembali lebih cepat. Tapi saya rasa ini adalah keputusan yang tepat dari pada memaksakan kondisi.

Tiga hari lamanya kami di Lembah Danau-Danau menanti cuaca yang bagus untuk memulai pemanjatan ke puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya di hari ke 12 dini hari itu, sekitar jam 2,00 Ripto membangunkan kami. Peralatan yang sudah kami siapkan dari beberapa hari terakhir membuat persiapan yang kami lakukan tidak terlalu lama. Radit dan Akem memutuskan untuk tidak berangkat, mengingat pemanjatan ke Carstensz berbeda dengan ke puncak Jaya. Di Carstensz sangat dibutuhkan kemampuan teknis dan pengalaman pemanjatan tebing yang mumpuni. Tidak ingin menghambat pemanjatan, menjadi alas an mereka untuk tidak ikut menuju puncak. Akem menitipkan kamera ke saya, Radit pun menitipkan liputan yang dia butuhkan. Kamera saya bagi dua. Saya pegang satu kamera, Epoy juga pegang satu kamera. Berdasar pengalaman hari sebelumnya di Puncak Jaya, battere akan sangat boros di cuaca dingin ini. Saya putuskan kamera akan menyala bergantian antara saya dan Epoy. Perjalanan pun di mulai. Dari Lembah Danau-Danau, kami mendaki menuju lembah kuning yang terpisah kawasan puncak tengah. Kami sampai di kaki tebing Carstensz di lembah kuning sekitar jam 3,00 dini hari. Sinaran dari cahaya headlamp menerangi pemanjatan kami. Satu persatu kami ber enam merayapi tebing Carstensz dengan bantuan fix rope. Saya menjadi pemanjat terakhir. Jam menunjukkan hampir jam 6,00 pagi ketika sampai di teras besar. Kami istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan alam tiada dua. Cuaca cerah pagi itu. Terlihat hampir semua puncak di pegunungan Sudirman, termasuk puncak Jaya dan puncak Soemantri yang diliputi salju abadi. Tak bisa lama kami beristirahat, karena waktu terus berpacu. Summit Ridge kami susuri dengan hati-hati. Beberapa jurang dalam harus di lalui. Lumayan membuat hati ini kecut juga melihat dalamnya jurang yang harus kami lewati. Seratus meter sebelum puncak, hujan salju kembali turun. Tali yang kami gunakan juga semakin kaku dan licin. Membuat ascender yang kami gunakan tidak lagi bisa menggigit maksimal. Perlahan tapi pasti terus kami susuri tebing puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya tepat jam 12,00 siang itu saya berhasil menjejakkan kai di puncak Carstensz Pyramid, 4884 mdpl. Puncak tertinggi di Indonesia dan juga Austrolasia. Air mata tanpa sadar mengalir, mimpi ini akhirnya tercapai. Ripto datang memeluk dan memberi selamat. Begitu juga Fahmi, Heru, Epoy dan Avi bergantian saling memberi selamat. Dalam hati, tak henti saya mengucap syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada saya.

Yah hari itu saya merasakan sendiri akhirnya, bahma jangan pernah kita mnegubur mimpi. Karena suatu hari mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Dan benar adanya bahwa segala sesuatu juga berawal dari mimpi, Maka jangan pernah berhenti untuk bermimpi. Bermimpi untuk mencapai suatu target setinggi langit jika perlu. Mari kawan kita lanjutkan mimpi kita.

5 comments:

  1. wow, keren banget. selamat bang ! semoga mimpiku untuk menginjakkan kaki disana juga bisa terwujud.

    ReplyDelete
  2. Bang ada rencana naik lagi kesana? Bantu sy wujudkan mimpi ini.

    ReplyDelete
  3. keren banget emng kalo sampe bisa ngedaki puncak cartensz ini nih,

    ReplyDelete