Siapa pendaki di Indonesia
dan mungkin juga di dunia yang tidak bermimpi suatu hari di masa hidupnya bisa
mencapai puncak Carstenz Pyramid di tanah Papua? Gunung dengan ketinggian 4884
mdpl, merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan merupakan salah satu
dari 7 puncak tertinggi di tujuh lempeng benua. Dan menurut seorang teman yang
sudah mendaki beberapa puncak dunia, pendakian ke puncak Carstensz merupakan
salah satu yang tersulit secara technical maupun dari sisi non teknisnya.
Puncak
Carstensz Pyramid terletak di kawasan pegunungan Sudirman, Papua. Yang sampai
saat ini masih merupakan lokasi yang dianggap berbahaya dari gerakan
bersenjata. Meskipun wilayah ini sudah dinyatakan sebagai Taman Nasional,
tetapi perijinan untuk mendaki kesana tidak semudah pendakian atau perjalanan
ke taman nasional lainnya di Indonesia. Paling tidak perijinan dari pihak TNI
dan POLRI merupakan salah satu yang harus dikantongi oleh siapapun yang akan
melakukan pendakian kesana. Selain sulitnya perijinan pendakian, kesulitan juga
di perparah dengan sulitnya akses ke pegunungan ini. Hampir tidak ada
penerbangan regular ke desa awal pendakian. Pintu lain menuju kawasan ini
adalah melalui tambang Freeport ,
yang bisa dibilang juga sulit didapat ijinnya. Segala hal tersebut sudah pernah
saya alami mulai dari tahun 92 hingga 99.
Sekitar
tahun 92, waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMA 68 Jakarta.
Bersama beberapa rekan yang kebetulan memiliki mimpi untuk bisa mendaki ke
Carstensz Pyramid, kami mencoba mengurus perijinan untuk melakukan pendakian,
namun gagal. Di tahun 99, saat itu saya sudah semester akhir kuliah di sastra
UI, bersama dengan teman-teman satu angkatan di Mapala UI kembali mencoba untuk
membuat pendakian ke Carstensz Pyramid dan kembali gagal. Di tahun 99,
perijinan dari semua pihak berwenang sudah kami kantongi, namun kami harus
berbesar hati untuk gagal berangkat karena tidak mencukupinya biaya perjalanan
yang mencapai 20jt per orang diluar biaya peralatan. Usaha untuk mendapat ijin
melintas dari Freeportpun sudah kami coba, namun juga tidak berhasil di dapat.
Sekedar informasi, bila kita berhasil mendapatkan ijin melintas dari Freeport , kita bisa
menghemat biaya lebih dari setengah total biaya pendakian normal. Yah sampai
saat itu, saya dengan semua anggota tim pendakian harus berbesar hati untuk
memendam kembali mimpi bisa menjejakkan kaki di titik tertinggi di Indonesia .
Kurang
lebih tujuh tahun setelahnya, tahun 2006, tanpa saya duga ternyata mimpi saya
akhirnya bisa menjadi kenyataan. Saat itu bulan Mei 2006, saat saya menjelang
kepulangan ke Jakarta
dari lokasi kerja saya di Sorowako yang telah habis masa kontraknya, saya
mendapat kabar bahagia tersebut. Ripto Mulyono yang akrab dipanggil Mul,
memberi kabar bahwa saya akan dia ajak mendampingi tim Liputan 6 SCTV mendaki
Carstensz Pyramid di bulan Agustus. Antara percaya dan tidak dengan ajakan
tersebut. Masih seperti mimpi mendengar tawaran itu. Mimpi bertahun-tahun yang
sudah sempat saya pikir tidak akan bisa tercapai, sekarang sudah ada di depan mata.
Tak kurang kata sukur saya panjatkan ke Allah saat itu.
Ripto
Mulyono adalah salah satu senior dan pelatih tim saya di Mapala UI, saat saya
menyiapkan pendakian ke Carstensz di tahun 99. Dari dialah selama ini, mimpi
untuk bisa suatu hari mendaki Carstensz dan puncak dunia lainnya terus terjaga
di hati nurani saya dan teman-teman di Mapala UI. Ripto adalah salah satu dari
sedikit pendaki gunung Indonesia
yang menjajaki pendakian “Seven Summits” oleh orang Indonesia . Bahkan di tahun 96,
Ripto hampir saja berhasil mencapai puncak Everest di Nepal bersama dengan tim
Kopassus. Dan hingga kini, saya rasa hanya dialah yang sudah melakukan
pendakian terbanyak ke Carstensz Pyramid. Saya yakin segudang pengalamannya lah
yang membuat SCTV meminta dia untuk menyiapkan dan membentuk tim untuk
pendakian di Agustus 2006 itu.
Dan
hari besar itupun tiba. Enam orang pendaki dari Liputan 6 SCTV dan enam orang
pendaki dari beberapa pencinta alam universitas, berangkat menuju Timika. Kota awal yang akan
menjadi awal pendakian kami ke pegunungan Sudirman. Pendakian yang akan kami
lakukan mendapat akses melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia .
Dengan menumpang pesawat Airfast, kami berangkat pagi itu. Kurang lebih tujuh
jam waktu tempuh penerbangan normal Jakarta-Timika. Penerbangan yang
melelahkan. Dan ternyata itupun masih harus ditambah dua jam karena cuaca
buruk, sehingga pesawat yang kami tumpangi harus transit di Nabire, sebelum
akhirnya bisa mendarat di Timika. Faktor cuaca memang juga salah satu obstacle perjalanan
dengan pesawat ke tanah Papua.Setelah perjalanan berjam-jam, akhirnya pesawat
kami pun mendarat di Bandar udara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Namanya
adalah Bandar Udara Internasional, tapi jangan berharap melihat bandara mewah
seperti layaknya Bandar udara di belahan Indonesia yang lainnya. Bandara
yang sangat minimalis, bahkan gedung terminalnya mungkin tidak lebih besar dari
satu gedung fakultas di UI. Tidak akan dapat kita jumpai roda berjalan tempat
kita menunggu bagasi layaknya di Bandar udara lainnya. Yah semua serba
minimalis, namun di balik segala keterbatasan itu, bandara ini relative bersih
dan teratur. Tidak seperti Cengkareng yang kian hari kian kumuh.
Sesampainya di
Timika, rombongan kami di jemput oleh perwakilan dari PT Freeport, om Ronald
namanya. Orang yang kemudian saya kenal sebagai orang yang sangat ramah dan
baik hati. Setelah mendapatkan safety induction sebagai safety standard
memasuki kawasan Freeport , om Ronald mengajak
kami menuju penginapan di kota
Timika. Yah kami memang tidak langsung menuju Tembagapura, karena masih ada
beberapa persiapan yang akan kami lakukan di kota ini. Yang paling utama adalah berbelanda
beberapa kebutuhan makanan. Karena akan sangat sulit dan mahal jika kita
membelinya di Tembagapura nanti. Penginapan yang sederhana tapi sangat baik
kondisinya. Sangat nyaman bahkan. Ini adalah penginapan yang biasa digunakan
oleh para tamu Freeport
jika menginap di Timika. Malam itu, selepas ngobrol ngalur ngidul antara
anggota tim pendakian, kami pun terlelap di kelam malam kota Timika.
Pagi itu selepas
bangun tidur, saya lihat ada sebuah bis yang sangat besar di parkiran halaman
hotel. Ternyata itu adalah bis yang akan mengangkut kami menuju Tembagapura
hari ini. Selepas sarapan dan sedikit berbelanja kebutuhan makanan pendakian,
rombongan kami pun berangkat. Hari sudah menjelang siang saat itu. Perjalanan
menuju Tembagapura menyajikan pemandangan alam luar biasa. Tak jarang, bis yang
kami tumpangi harus berhenti hanya karena kebutuhan rombongan mengambil gambar.
Sayang rasanya jika keindahan seperti ini tidak terabadikan. Banyak pula
kendaraan tambang yang berpapasan dengan bis kami. Pemandangan yang umum, khas
daerah pertambangan. Yang membedakan dari lokasi tambang lain yang pernah saya
sambangi, mungkin ukuran dari kendaraan-kendaraan di Freeport relative lebih
besar. Perjalanan dari Timika menuju Tembagapura juga terkesan ketat dari sisi
keamanannya. Bis kami di kawal oleh dua kendaraan security mulai dari gerbang
masuk kawasan tambang di kota
Timika tadi. Selain itu, tidak kurang dari tiga buah pos pemeriksaan keamanan
harus kami lalui hingga sampai di Tembagapura.
Di Tembagapura,
rombongan kami mendapatkan pinjaman sebuah “Flat” mirip apartment di area
perumahan baru mereka yang nama daerahnya adalah Hidden Valley .
Sesuai dengan namanya, lokasi perumahan ini memang terletak di dasar lembah
yang dikelilingi oleh hutan dan tebing. Sangat indah. Belum pernah dalam hidup
saya, menemukan keindahan alam seperti yang saya jumpai saat itu. Sampai di
Tembagapura, tidak ada waktu istirahat bagi kami ternyata. Sejumlah agenda
sudah disiapkan. Mulai dari persiapan peliputan upacara kemerdekaan,
pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan peralatan pendakian, jamuan makan malam dan
masih banyak lagi. Ada
hal menarik ketika kami baru saja memasuki ruangan yang di pinjamkan untuk
kami. Tiba-tiba saja pintu ada yang mengetuk, ketika dibuka seorang anak dengan
sepiring pisang goreng berdiri di muka pintu. Ternyata anak itu mengirimkan
titipan ibunya, sekaligus mengundang kami untuk makan bersama dengan
keluarganya malam itu. Begitu hangat sambutan para warga disini, cukup
menghangatkan hati di tengah membekunya suhu udara di Hidden Valley .
Empat hari saya
dan seluruh anggota tim tinggal di Tembagapura. Segala persiapan dan peliputan
yang dibutuhkan oleh tim SCTV sudah rampung kami lakukan. Sekaligus juga kami
gunakan guna proses aklimatisasi tubuh dengan ketinggian. Dan pagi itu
rombongan kami pun di jemput dengan bis untuk menuju High Camp. Semua peralatan
kami bagi dua. Peralatan pendakian untuk empat hari pertama kami bawa dalam
ransel masing-masing, sementara sisanya termasuk peralatan pemanjatan dan
peralatan listrik dipisahkan untuk di drop dengan helicopter langsung di Lembah
Danau-Danau, base camp
pendakian kami nantinya.
Cuaca cukup dingin pagi itu, dengan diiringi pula oleh gerimis hujan, kami
menuju High Camp. Bis yang mengangkut kami, menurunkan rombongan di tempat
keberangkatan kereta gantung. Untuk mencapai High Camp tidak
bisa dengan menggunakan bis. Dari kereta gantung ini kami bisa melihat dengan
jelas lokasi pertambangan Freeport .
Kabut tipis sesekali menutupi pandangan. Sampai di High Camp bis lain sudah
menunggu, termasuk juga satu mobil Emergency Response Group yang akan mengawal
rombongan hingga Bali Dam. Berikutnya yang kami sambangi adalah Pos Ayam Hitam.
Pos pemeriksaan keamanan terakhir di wilayah tambang Freeport . Pos ini dijaga oleh para prajurit
TNI. Sejumlah urusan admisnistrasi harus kami lakukan disini sebelum memulai
pendakian. Pos yang kecil, dingin tapi cukup bersih dan rapi. Dari Pos Ayam
Hitam, rombongan kami menuju Bali Dam, titik awal pendakian kami. Ripto Mulyono
sebagai ketua pendakian memutuskan kami akan menginap malam ini di kaki tebing
Zebra Wall, tepat di bawah Bali Dam. Keputusan ini di buat untuk proses
aklimatisasi seluruh anggota tim pendakian. Maklum saja, ketinggian saat itu
sudah hampir 4000 mdpl, berbeda lebih dari 1000 mdpl dibandingkan ketinggian
Tembagapura. Malam pertama di pegunungan Sudirman, saya bisa istirahat dengan
baik walau semalaman diiringi suara alat berat pertambangan Freeport .
Hari ke dua
pendakian, semua anggota tim dalam kondisi prima. Tidak ada masalah dengan
aklimatisasi tubuh. Cuaca juga cukup cerah, walaupun sempat gerimis dan
berkabut tipis. Target pendakian kami hari ini adalah Danau Biru di kaki tebing
Wachter, New Zealand
Pass dan Pintu Angin.
Tidak lama berjalan, kami sudah sampai di tujuan. Cuaca cukup berangin di sini.
Udara dingin menusuk tulang mulai saya rasakan. Di hadapan kami adalah tanjakan
tajam melewati Pintu Angin unutk menuju Base Camp kami
nantinya di Lembah Danau-Danau. Malam ini saya merasakan sedikit pusing di
kepala. Mungkin ini adalah tanda gejala mountain sickness, proses aklimatisasi
yang kurang baik di tubuh saya. Tapi bagaimanapun saya paksakan untuk bisa
tidur dan istirahat maksimal malam itu. Sampai besok paginya ternyata sedikit
pusing di kepala belum juga hilang. Dan ternyata saya tidak sendiri, beberpa
anggota tim pendakian juga mengalamai hal serupa. Ripto pun memutuskan unutk
menambah satu hari lagi untuk menginap di tepian Danau Biru ini untuk bisa
memperbaiki kondisi tubuh, sekaligus juga menunggu kepastian dropping logistic
dengan helicopter dari Freeport .
Hari ke tiga ini cuaca kurang bersahabat. Seharian camp kami
diguyur hujan walaupun tidak lebat. Angin pun sedikit kencang menghantam tenda
kami. Suhu sedikit lebih dingin dari hari kemarin. Aktifitas hari ini kami isi
dengan memasak dan mengobrol penuh canda, menghibur diri. Dan tentunya sejumlah
gambar tidak juga luput dari kamera kami.
Hari ke empat
pendakian, kami semua bangun dengan kondisi tubuh yang prima kembali. Tidak ada
lagi pusing di kepala. Dan ketika kami selesai makan serta packing ransel
masing-masing, helicopter pengangkut logistic kami pun lewat di atas kami
menuju Lembah Danau-Danau. Cuaca cukup baik hari itu. Hampir siang saat kami
memulai pendakian menuju Base Camp. Melewati tanjakan menuju Pintu Angin sangat
melelahkan. Kecuraman tanjakannya memang lumayan, mungkin juga di tambah dengan
faktor ketinggian yang sudah 4000 mdpl membuat kami lebih mudah lelah.
Rombongan pendakian berjalan pelan saling berdekatan. Ripto sesekali berteriak
memberi semangat. Hari menjelang sore ketika saya sampai di Lembah Danau-Danau.
Hujan deras menyambut kedatangan tim kami di sana . Sebuah flysheet darurat kami bentangkan
untuk melindungi tubuh dan beberapa peralatan yang rawan dari air hujan. Ketika
hujan tidak lama kemudian mereda, kami pun mulai membangun tenda. Enam buah
tenda kami dirikan, meliputi satu tenda makan, satu tenda peralatan elektronik
penyiaran dan empat tenda untuk kami tidur. Udara semakin dingin malam itu,
anginpun kurang bersahabat. Selepas makan malam dan membersihkan semua alat
makan masing-masing. Seluruh anggota tim pendakian pun telah terlelap dalam
tenda masing-masing. Malam itu sekitar jam 3,00 dini hari, Ripto membangunkan
kami. Base Camp kami di terjang badai salju. Tenda makan
kami sudah rata dengan tanah karena tidak kuat menahan beban salju yang
menimpanya. Sejadinya lah tengah malam dingin kami harus menyelamatkan tenda
dan peralatan kami dari terjangan badai salju. Hujan salju di barengi dengan
angin baru mereda sekitar pulul 05,00 pagi. Berbarengan dengan mulai terbitnya
matahari. Kami pelan-pelan mulai membangun kembali tenda makan kami yang rata
dengan tanah. Memasak makan pagi itu pun terpaksa kami lakukan di luar.
Di hari ke lima
ini, saya, Fahmi dan Epoy, di tugaskan Ripto untuk mendrop sebagian peralatan
di teras besar Puncak Jaya, ini diperlukan untuk menghemat beban yang akan kami
tanggung pada hari pendakian tim besar nantinya. Mengingat beban peralatan yang
akan kami bawa nantinya sangat banyak. Target pendakian ini nantinya adalah
pemecahan record oleh tim Liputan 6 SCTV sebagai tim peliputan pertama yang
melakukan siaran langsung dari titik tertinggi. Dan kesempatan itu, saya pikir
akan baik bagi proses aklimatisasi tubuh. Kami bertiga sampai kembali di camp ketika
hari hampir sore. Saat kami tiba, tim SCTV sedang menyiapkan siaran langsung
dari camp kami di Lembah Danau-Danau. Hari-hari di
camp, sejauh ini kami lalui dengan bahagia. Walaupun ada beberapa kejadian
seperti badai salju, tapi kami sangat menikmati perjalanan ini. Malamnya, di
tengah tidur, saya terbangun. Kepala rasanya bagai dipukuli palu. Sakit bukan
main. Ya saya kembali terkena mountain sickness dan ini lebih berat dari yang
saya rasakan sebelumnya. Segala cara saya coba, tidak juga berhasil
menghilangkan sakit kepala itu. Akhirnya pilihan terakhir, obat dari Ripto saya
konsumsi. Dan tidak lama sakit kepala berangsur berkurang dan malam itu saya
bisa tidur lagi. Alhamdulillah…
Pagi hari ke
enam pendakian, Ripto mencek kondisi seluruh anggota tim. Ternyata saya tidak
sendirian terkena serangan mountain sickness. Aldian, produser Liputan 6, juga
terkena dan sedikit lebih parah dari saya. Novri, kameramen Liputan 6, juga
merasakan hal serupa. Menanggapi hal itu akhirnya Ripto memutuskan untuk
menambah hari istirahat di camp Lembah Danau-Danau. Tidak ada hal yang istimewa
hari itu, selain hunting foto sekitaran camp dan peliputan yang dilakukan tim
Liputan 6. Tak jauh dari camp
kami , saya menemukan
sebuah prasasti dari alumunium tebal, mengenang rekan-rekan Aranyacala Trisakti
yang meninggal dalam usaha pendakiannya ke Carstensz Pyramid. Sejenak saya dan
beberapa teman memanjatkan doa saat itu. Apapun yang terjadi, usaha mereka
merupakan catatan sejarah pendakian di Indonesia .
Hari ke tujuh
adalah hari awal pendakian kami menuju puncak Jaya. Target pendakian kami hari
ini hanya sampai di teras besar, dimana kami telah mendrop beberapa peralatan
sebelumnya. Perjalanan hari ini sedikit lebih lambat dari ketika saya mendrop
barang. Mungkin jumlah beban dan banyaknya orang mempengaruhi. Sekitar jam
16,00 kami baru tiba di teras besar. Dua buah tenda pun kami dirikan. Malam yang
terasa panjang. Tidur malam itu terasa sangat tidak nyaman, hanya tidur ayam
saja. Tidur berdesakan di tambah beralaskan serakan batu di bawah tenda, tidak
mampu membuat saya dan beberapa teman istirahat dengan baik. Belum lagi di
tambah dengan angin yang dinginnya menusuk tulang di luar sana .
Jam menunjukkan
pukul 5,00 pagi waktu itu. Kami mulai bersiap melakukan summit attack di hari
ke delapan pendakian kami. Diiringi hujan salju, kami mulai merayapi rute
pendakian puncak Jaya. Ice Axe cukup membantu saya melewati medan bersalju yang semakin tebal karena efek
dari hujan salju yang belum juga berhenti. Beberapa ratus meter dari puncak,
kami berhenti di sebuah medan
batuan rata yang cukup luas. Di situ Aldian dan Ripto membagi tim menjadi dua.
Tujuh orang termasuk saya akan terus menuju puncak, sementara sisanya akan
menetap disana untuk menyiapkan siaran langsung ke Jakarta . Pendakian pun kami lanjutkan.
Aldian, Radit dari Liputan 6 dan saya bergantian mengoperasikan kamera, meliput
pendakian menuju puncak. Semakin mendekati puncak, hujan salju semakin deras
turun menimpa kami. Lapisan saljupun semakin tebal. Setiap langkah yang saya
lakukan, akan masuk sekitar setinggi dengkul ke dalam salju. Hal itu membuat
langkah pendakian semakin lambat. Maklum di tim kami, relative hanya Ripto yang
sudah berpengalaman mendakidi situasi seperti itu. Dan akhirnya, masih di
tengah cuaca buruk, baru sekitar jam 12,00 siang kami sampai di puncak Jaya
dengan ketinggian 4862 mdpl. Siaran langsung pun kami lakukan. Alhamdulillah
berhasil siaran langsung ini, dan sekaligus juga untuk saya pribadi akhirnya
bisa mencapai puncak salju khatulistiwa ini. Tinggal satu puncak lagi
berikutnya, Carstensz Pyramid.
Perjalanan turun
dari puncak tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Tubuh semakin
terkuras tenaganya. Sementara hanya indomie dan coklat, makanan yang masuk ke
dalam perut seharian ini. Sekitar jam 20,00 saya, Radit dan Epoy sampai di
camp. Jalan sudah bagaikan zombie, pandangan sudah tidak focus, dan sandungan
batu-batu sepanjang jalan cukup untuk membuat kami berkali-kali terjatuh.
Beruntung cuaca cukup cerah malam itu mengiringi perjalanan kami turun.
Sesampai di camp, sebelum istirahat, sambil menunggu teman lain kami sempatkan
untuk memasak minuman hangat. Dan saya memaksakan diri untuk bisa memasukkan
makanan ke dalam perut. Kelelahan yang amat sangat di tambah suhu dingin
membuat napsu makan menghilang. Malam itu saya tidur bagai mayat. Mungkin kalo
ada badai lagi malam itu, saya belum tentu dengar dan mampu membuka mata.
Beruntung, benar-benar Allah memberikan bonus cuaca cerah malam itu mengiringi
tidur kami.
Pagi hari di
hari ke sembilan pendakian ini, selepas sarapan pagi Aldian meminta ke Ripto
untuk turun ke Tembagapura. Dia merasa kondisi tubuhnya makin drop setelan
pendakian puncak Jaya sehari sebelumnya. Mountain Sickness semakin menggerogoti
tubuhnya. Dia cerita kalo dia sudah mengalami halusinasi pagi itu. Ripto
bergerak cepat, dia minta Fahmi mengkontak ke ERG di Freeport untuk bersiap
melakukan evakuasi. Sementara tim Liputan 6 juga melakukan koordinasi siapa
yang akan melanjutkan peliputan pendakian Carstensz Pyramid dan siapa yang akan
turun menemani Aldian. Akhirnya diputuskan Radityo Wicaksono dan Akemona untuk
tetap di camp, berisap untuk peliputan berikutnya, sementara yang lainnya dari
Liputan 6 akan turun mendampingi Aldian. Perpisahan pun terjadi, sedikit sedih
setelah satu minggu bersama. Kini harus ada beberapa teman yang harus kembali
lebih cepat. Tapi saya rasa ini adalah keputusan yang tepat dari pada
memaksakan kondisi.
Tiga hari
lamanya kami di Lembah Danau-Danau menanti cuaca yang bagus untuk memulai
pemanjatan ke puncak Carstensz Pyramid. Dan akhirnya di hari ke 12 dini hari
itu, sekitar jam 2,00 Ripto membangunkan kami. Peralatan yang sudah kami
siapkan dari beberapa hari terakhir membuat persiapan yang kami lakukan tidak
terlalu lama. Radit dan Akem memutuskan untuk tidak berangkat, mengingat
pemanjatan ke Carstensz berbeda dengan ke puncak Jaya. Di Carstensz sangat
dibutuhkan kemampuan teknis dan pengalaman pemanjatan tebing yang mumpuni.
Tidak ingin menghambat pemanjatan, menjadi alas an mereka untuk tidak ikut
menuju puncak. Akem menitipkan kamera ke saya, Radit pun menitipkan liputan
yang dia butuhkan. Kamera saya bagi dua. Saya pegang satu kamera, Epoy juga
pegang satu kamera. Berdasar pengalaman hari sebelumnya di Puncak Jaya, battere
akan sangat boros di cuaca dingin ini. Saya putuskan kamera akan menyala
bergantian antara saya dan Epoy. Perjalanan pun di mulai. Dari Lembah
Danau-Danau, kami mendaki menuju lembah kuning yang terpisah kawasan puncak
tengah. Kami sampai di kaki tebing Carstensz di lembah kuning sekitar jam 3,00
dini hari. Sinaran dari cahaya headlamp menerangi pemanjatan kami. Satu persatu
kami ber enam merayapi tebing Carstensz dengan bantuan fix rope. Saya menjadi
pemanjat terakhir. Jam menunjukkan hampir jam 6,00 pagi ketika sampai di teras
besar. Kami istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan alam tiada dua.
Cuaca cerah pagi itu. Terlihat hampir semua puncak di pegunungan Sudirman,
termasuk puncak Jaya dan puncak Soemantri yang diliputi salju abadi. Tak bisa
lama kami beristirahat, karena waktu terus berpacu. Summit Ridge kami susuri
dengan hati-hati. Beberapa jurang dalam harus di lalui. Lumayan membuat hati
ini kecut juga melihat dalamnya jurang yang harus kami lewati. Seratus meter
sebelum puncak, hujan salju kembali turun. Tali yang kami gunakan juga semakin
kaku dan licin. Membuat ascender yang kami gunakan tidak lagi bisa menggigit
maksimal. Perlahan tapi pasti terus kami susuri tebing puncak Carstensz
Pyramid. Dan akhirnya tepat jam 12,00 siang itu saya berhasil menjejakkan kai
di puncak Carstensz Pyramid, 4884 mdpl. Puncak tertinggi di Indonesia dan
juga Austrolasia. Air mata tanpa sadar mengalir, mimpi ini akhirnya tercapai.
Ripto datang memeluk dan memberi selamat. Begitu juga Fahmi, Heru, Epoy dan Avi
bergantian saling memberi selamat. Dalam hati, tak henti saya mengucap syukur
atas nikmat yang diberikan Allah pada saya.
Yah hari itu
saya merasakan sendiri akhirnya, bahma jangan pernah kita mnegubur mimpi.
Karena suatu hari mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Dan benar adanya bahwa
segala sesuatu juga berawal dari mimpi, Maka jangan pernah berhenti untuk
bermimpi. Bermimpi untuk mencapai suatu target setinggi langit jika perlu. Mari
kawan kita lanjutkan mimpi kita.
wow, keren banget. selamat bang ! semoga mimpiku untuk menginjakkan kaki disana juga bisa terwujud.
ReplyDeleteBang ada rencana naik lagi kesana? Bantu sy wujudkan mimpi ini.
ReplyDeletekeren banget emng kalo sampe bisa ngedaki puncak cartensz ini nih,
ReplyDeleteSalim buat yg udah kesana..
ReplyDeleteSalim buat yg udah kesana..
ReplyDelete