Monday, April 8, 2013

Perjalanan Touring Melintas Sulawesi Selatan (Makasar - Sorowako)







            Hari itu, hari Kamis di akhir April 2012. Selepas subuh, saya dan Emil menuju bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng untuk berangkat ke Makasar dengan penerbangan pertama. Segala rasa bercampur sudah sejak seminggu sebelum keberangkatan ini. Bahkan malam sebelum berangkat mata tidak bisa terpejam. Rasa over excited menguasai diri ini. Maklum perjalanan bike trip kali ini akan menjadi perjalanan panjang, lebih dari 2 hari, pertama bagi saya dan Emil. Hampir 600 km jarak antara Makasar dan Sorowako akan kami tempuh. Segala persiapan, mulai dari peralatan, kesiapan sepeda, plotting jalur di peta, hingga mencari kontak di sepanjang perjalanan untuk keperluan emergency pun telah kami selesaikan. Di atas ketas perjalanan ini akan lancar tanpa halangan, hanya kuasa Allah yang tidak mungkin dapat kami elakkan.

            Tapi rencana hanya sebatas rencana di atas kertas. Kendala pertama langsung menghadang. Sepeda berikut perlengkapannya yang setahu kami masuk dalam sport equipment dan tidak terkena bagasi, ternyata dihitung. Over baggage gila-gilaan harus kami tanggung saat itu. Segala upaya negosiasi kami lakukan tapi tak berhasil. Tak kurang dari 1 juta rupiah terpaksa di keluarkan hanya untuk membayar over baggage. Saya dan Emil hanya bisa berdoa semoga awal tak baik ini justru merupakan awal dari perjalanan yang menyenangkan. Hati dongkol pun terpaksa kami simpan jauh-jauh. Segala obrolan canda kami buat untuk melupakan kejadian tadi. Beruntung pesawat tidak terlambat, berangkat tepat pada waktunya. Sepanjang perjalanan, kami gunakan untuk tidur, membayar hutang istirahat semalam sebelumnya.

            Saya terbangun tepat ketika pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi melakuakn p[ersiapan untuk pendaratan. Badan terasa begitu segar. Tidur pendek tapi pulas, membuat kekuarangan tidur semalam terbayar sudah. Seperti biasa pesawat ini mendarat dengan halus, dan akhirnya saya kembali ke tanah Celebes. Setelah enam tahun yang lalu terakhir kali saya meninggalkan pulau nan indah dan eksotis ini. Bandara Sultan Hassanudin sangat jauh berubah. Saat ini bandara Hassanudin mungkin merupakan salah satu bandara terbaik di Indonesia. Mata ini bagai tak percaya melihat perubahan yang ada di sana. Sulit di wakili oleh kata-kata yang tepat untuk menunjukkan kekaguman saya terhadap perubahan yang terjadi.

            Sambil menunggu bagasi kami yang lumayan banyak, sahabat saya dari PT Vale, Imran, yang kebetulan sedang di Makasar bertepatan dengan kedatangan kami, menelpon. Ternyata dia menjemput kami di bandara. Wah ini adalah kejutan pertama dalam perjalanan kami di tanah Celebes. Yang ada dalam benak saya saat itu, lumayan untuk menghemat biaya transportasi kami selama di Makasar. Kangen juga saya dengan sahabat saya yang satu itu. Saya dan Imran sama-sama bekerja di Fire and Emergency Service PT Vale pada tahun 2006. Sejak itu sesekali kami masih ketemu jika Imran bertugas di Jakarta atau hanya sekedar menjalin komunikasi melalui BBM pun terus kami jalin. Dari bandara, Imran mengantar kami menuju Rodalink untuk men-setup sepeda kami, untuk bisa siap digunakan dalam touring menuju Sorowako esok harinya. Setelah dari Rodalink, kami menuju penginapan dekat pantai Losari. Sebelum meninggalkan kami untuk istirahat, Imran mengabarkan kalau nanti malam kami akan di jemput oleh teman-teman bike 2 work chapter Makasar. Wah-wah senang sekali perasaan kami, karena tidak ada yang lebih indah dalam perjalanan selain menambah teman dan saudara. Dan Imran pun pergi setelah kami janjian lagi untuk ketemu di Sorowako.

            Nah, perut lapar di siang hari pun mengalahkan rasa lelah kami. Saya dan Emil memutuskan untuk mencari makan siang di sekitaran penginapan. Tidak sulit bagi kami menemukan tempat makan. Hanya berjarak 100 meter dari penginapan, berjajar tempat-tempat makan khas Makasar yang didominasi dengan menu makanan laut. Kalap juga melihat ikan, cumi dan makanan laut lainnya yang tentunya sangat menggugah selera. Dan pastinya dengan harga yang lebih murah di bandingkan dengan harga makanan serupa di Jakarta. Ya Makasar dan Sulawesi memang terkenal dengan makanan lautnya yang luar biasa. Terbayang inilah kurang lebih yang akan kami temukan hampir sepanjang perjalanan kami menuju Sorowako, mungkin kecuali di daerah Toraja yang area pegunungan.

            Selepas tertidur di kamar yang dingin, berbeda dengan cuaca di luar yang super panas, saya dan Emil menuju pantai Losari malam itu untuk bertemu dengan teman-teman bike 2 work Makasar. Tante Titin menyambut kami dengan senyum. Bersama dia ternyata sudah banyak juga om-om dan tante-tante yang juga ikut menyambut kami. Perkenalan singkat pun terjadi, obrolan ngalur ngidul terjalin. Sungguh suasana yang menyenangkan. Menghapus rasa kesal yang masih terselip tantang kasus bagasi waktu keberangkatan dari Jakarta. Pisang Epe, makanan khas Makasar, menemani perbincangan kami malam itu. Suasana kekeluargaan timbul, menghilangkan kesan bahwa kami baru kenal beberapa menit sebelumnya. Ini yang tidak berubah dari bumi Celebes, keramahan luar biasa dari masyarakatnya. Ini juga yang membuat saya selalu kangen dan selalu ingin kembali lagi ke sini. Tak ingin kekurangan istirahat, saya dan Emil pamitan untuk kembali lebih dulu ke penginapan. Maklum kami berencana berangkat selepas subuh besok harinya.

            Alarm berbunyi menandakan kami sudah harus bersiap untuk berangkat menuju Pare-pare sebagai kota tajuan kami di hari pertama perjalanan ini. Kurang lebih 155 km harus kami tempuh hari ini. Setelah menyiapkan sepeda dan menyelesaikan pembayaran penginapan, saya dan Emil pun mulai menggowes sepeda dengan pelan menyusuri aspal kota Makasar. Satu jam perjalanan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung sate yang kebetulan sudah buka di pagi itu. Perut terasa enak setelah kena hangatnya kuah sop kambing. Tapi saya merasakan kondisi badan sedikit drop terkena flu dadakan pagi itu. Wah, ini akan menjadi obstacle tersendiri dalam perjalanan kami nantinya. Tapi saya berusaha untuk tidak memikirkan sakit flu yang mulai mendera.

            Perjalanan kami lanjutkan. Pemandangan indah sepanjang perjalanan tak pernah lepas dari mata lensa kamera yang kami bawa. Perjalanan santai tapi stabil terus berjalan. Kecepatan rata-rata kami antara 15-20 km/jam. Karakter jalan di lintas Makasar-Parepare mirip dengan Pantura Jawa. Jalan raya dekat laut, panas luar biasa dan aspal rusak di sana-sini mendominasi etape hari ini. Tapi semua sesuai dengan perhitungan yang kami buat. Tepat jam makan siang sekitar pukul 13,00 waktu Indonesia tengah kami memasuki kota Barru. Disini kami memanfaatkan untuk istirahat dan makan siang. Tak ada yang istimewa dari kota ini. Kota kecil di pinggir laut selat Sulawesi, yang menjadi kota singgah kendaraan-kendaraan pengangkut kebutuhan pokok untuk perdagangan. Cuaca sangat panas ternyata berdampak tidak baik pada flu yang mendera tubuh saya. Terasa badan semakin drop. Tapi saya bertekad harus menyelesaikan etape ini sampai di parepare.

            Kondisi badan yang drop membuat perjalanan menuju Parepare malambat. Target yang kami buat tak tercapai. Kami menargetkan sekitar sebelum maghrib sudah bisa masuk kota Parepare. Ternyata kami baru bisa masuk kota sekitar pukul 19,00. Dalam keadaan lelah, kami mencari penginapan. Peta yang kami gunakan di GPS ternyata sudah tidak akurat. Sudah banyak nama jalan dan penginapan yang berubah. Alhamdulillah kami bertemu dengan seorang tukang becak yang baik hati, yang telah dengan tulus mengantarkan kami menuju penginapan. Penginapan kecil, bangunan lama, tapi bersih, makanannya enak dan tentunya murah. Yah suatu berkah bagi kami hari ini.

            Menanggapi kondisi badan saya yang drop, malam itu sebelum istirahat, saya dan Emil membuat Plan B jika sampai besok kondisi badan saya masih jelek. Kami merencanakan jika sampai bsk pagi badan saya tidak membaik, maka kami akan menyewa mobil bak untuk mengevakuasi kami hingga Makale, kota kecil pintu masuk kota Toraja. Saya berkeras walaupun sedikit, harus dipaksakan untuk tetap bersepeda untuk menjaga kondisi otot kami. Dan inipun kami sepakati malam itu. Setelah makan malam yang lezat dan sebelum tidur, saya minum obat flu yang kami bawa dari Jakarta. Dan malam itu manjadi malam yang sangat nyaman untuk badan saya terutama dalam tidur.

            Sama seperti sebelumnya, kami bangun tepat waktu subuh. Dan yang kami takutkan terjadi. Badan saya masih drop, jadi plan B pun dilakukan. Kami akan men-skip kota Enrekang sebagai target di hari ke dua. Dan langsung dengan mobil menuju Makale, dan dilanjutkan dengan sepeda menuju Toraja. Emil langsung meminta bantuan petugas hotel untuk membantu mencarikan kendaraan untuk kami. Sambil menunggu, saya dan Emil menyiapkan barang-barang dan sarapan mengisi perut pagi itu. Sekitar jam 9 pagi, mobil yang kami sewa pun tiba. Kami langsung packing sepeda dan barang-barang dalam bak mobil. Sepanjang perjalanan saya tidur terus, berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuh. Mobil sempat beristirahat di kawasan gunung Nona di Enrekang tepatnya di kaki tebing Bambapuang, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Makale. Sekitar jam 13,00 akhirnya kami tiba di Makale. Sang supir menurunkan kami di depan tempat makan di kota itu. Saya yang terus tidur sepanjang perjalanan, merasa badan sudah jauh lebih baik kondisinya. Mudah-mudahan setelah makan siang, badan ini akan semakin membaik.

            Gak disangka, ternyata pemilik rumah makan itu juga penggiat bersepeda di kota Makale. Sedikit perbincanganpun terjalin antara kami dengan pemilik rumah makan dan beberapa temannya. Sungguh perjalanan yang berkah untuk saya. Sekali lagi menambah teman dan keluarga di tempat yang jauh dari rumah, luar biasa. Dari mereka kami mendapatkan gambaran perjalanan Makale menuju Toraja sekaligus juga referensi penginapan di Toraja nanti. Setelah saling bertukar alamat FB, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesuai harapan, selepas makan siang pun, badan saya jauh membaik. Dan perjalanan menuju Toraja bisa dengan lancar kami tempuh. Jam 16,00 kami memasuki wilayah Tana Toraja. Saya dan Emil menyempatkan mampir ke salah satu desa wisata disana. Namanya Kete Kesu. Kurang lebih sekitar 1 km masuk ke dalam dari jalan utama. Desa tradisional dengan rumah adat dan pemakaman keluarga di bibir tebing menjadi pemandangan kami disana. Sayang saat itu tidak ada upacara adat pemakaman yang menjadi daya tarik Toraja selama ini.

            Setalah puas berkeliling Kete Kesu, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari penginapan sesuai referensi kawan-kawan dari Makale. Hampir jam 18,00 akhirnya kami sampai di penginapan. Sejauh ini sambutan masyarakat di sepanjang perjalanan kami hingga di Toraja ini sangat luar biasa. Begitu juga di penginapan di Toraja ini. Apalagi setelah mengetahui kami dari Jakarta dan menggunakan sepeda dalam perjalanan kami. Ruangan khusus disiapkan untuk sepeda kami parkir. Tak kurang dari manager hotel di malam itu, yang turun langsung membantu kami. Beberapa tamu manca Negara juga sempat berbincang dengan kami menanyakan pejalanan kami menuju Toraja. Setelah mandi dan bersih-bersih. Kami mencari makan malam sekaligus juga mencari oleh-oleh khas Toraja. Seorang keponakan dari teman lama yang tinggal di Toraja menjadi guide kami malam itu di kota Toraja. Sayang tidak bisa bertemu si kawan lama yang kebetulan hari itu justru sedang di Jakarta.

            Hari ke tiga perjalanan kami adalah menuju kota Masamba, melaui kota Palopo. Target kami bisa makan siang di Palopo dan tiba di Masamba sebelum maghrib. Perjalanan hari ini berat di sekitar 26 km pertama. 26 km pertama ini karakter medannya adalah tanjakan panjang berkelok-kelok. Mengingatkan saya akan kondisi puncak, jawa barat, ketika saya kecil dulu. Jalanan tidak lebar, kanan-kiri hutan, jarak antar rumah penduduk jauh dipisahkan hutan dan persawahan, dan juga tentunya kabut yang berulang kali turun menemani perjalanan kami. Sesampai di ujung tanjakan panjang ini, medan berikutnya adalah turunan panjang sekitar 40-an km menuju kota Palopo. Sesuai target, tepat jam makan siang, kami tiba di Palopo. Agak sulit kami menemukan tempat makan yang baik di jalur Palopo-Masamba. Akhirnya pilihan kami jatuhkan di warung gado-gado. Jangan membayangkan gado-gado seperti di tanah betawi, sangat jauh tentu rasanya dan tampilannya. Tapi tidak ada pilihan, kami harus mengisi perut kami yang kosong. Menuju Masamba adalah perjalanan membosankan. Jalanan lurus dan flat harus kami santap. Di tambah cuaca panas yang lagi lucu-lucunya.

            Tepat jam 16,00 kami memasuki kota Masamba. Tempat penginapan yang di rekomendasikan oleh Imran langsung kami tuju. Tepat di KM 0 kota Masamba dan di depan kantor polisi kota Masamba adalah letak dari hotel ini. Dari depan kondisi hotel sepertinya sangat baik, tapi jangan di tanya bagaimana kondisi dalamnya. Sangat tidak layak. Pendingin ruangan yang tidak berfungsi, kamar madi yang bocor airnya, aroma kamar yang apek khas kamar lama kosong menjadi teman kami malam itu. Tapi lelahnya badan setelah seharian bersepeda, membuat kami tidak lagi merasakan kekurangan kondisi hotel ini. Rasa lelah membuat otak kami seolah enggan lagi memikirkan yang jelek-jelek.

            Di kota Masamba bukan hanya mencari penginapan layak yang menjadi obstacle tapi juga mencari makanan layak. Dan masalah makanan, masih kami alami selama perjalanan di hari ke empat, etape Masamba-Malili. Hanya ada orang berjualan gorengan dan ketan di pagi hari itu. Tapi Alhamdulillah, si ibu penjual mau memberikan nasi yang seharusnya di masak untuk keluarganya untuk kami. Dan disini keramahan luar biasa kembali kami temui sepanjang perjalanan, selain si ibu penjual sarapan tadi. Tak sedikit penduduk yang menyempatkan berhenti ketika melihat kami istirahat, hanya untuk sekedar menemani mengobrol. Belum lagi si keluarga petani rambutan yang sudah memberikan saungnya untuk tempat kami beristirahat siang itu, ditemani rambutan hasil panen dan teh manis hangat. Sungguh luar biasa. Suatu keramahan tanpa pamrih yang bahkan kita sudah sulit temui di tanah Jawa apalagi Jakarta. Cuaca panas menemani kami menembus jalan di atara hutan sawit sepanjang Masamba-Malili.

            Tapi tanpa terasa, ternyata perjalanan di hari ke empat ini lebih cepat dari target yang kami buat. Belum sampai jam 12,00 siang, kami sudah sampai di Wotu. Wotu adalah persimpangan jalan antara menuju Poso di Sulawesi Tengah dan menuju Malili atau Kendari. Disini banyak warung penjual makanan berjajar si sepanjang pinggiran jalan. Tapi sayangnya tidak ada satupun kami jumpai yang menjual nasi dan lauknya. Warung-warung tersebut hanya berjualan makanan ringan, minuman dan indomie rebus. Gak punya pilihan, kami toh harus mengisi perut kami sebelum melanjutkan perjalanan ke Malili. Akhirnya Indomie dua porsi pun saya dan Emil santap. Hanya berdoa dalam hati, semoga ini cukup untuk booster tenaga kami menuju Malili. Selagi makan siang, tiba-tiba handphone sayan berbunyi. Di layar tampak nomer yang tidak saya kenal. Ternyata itu adalah telpon dari teman-teman sepeda di kota Malili. Imran ternyata sudah mengabari mereka kalo kami akan tiba di Malili. Mereka menanyakan kami sudah di mana. Betapa terkejutnya mereka ketika saya bilang ada di Wotu. Karena perkiraan mereka kami baru tiba di Malili sekitar dua hari lagi. Yah normalnya memang, jika sesuai dengan rencana, kami baru akan masuk Malili besoknya. Kami lebih cepat satu hari karena kami sempat “mencuri” hari dalam perjalanan menuju Toraja saat saya sakit.

            Selepas makan dan melepas lelah, saya dan Emil pun melanjutkan perjalanan. Emil tampak drop kondisinya. Dia terus tertinggal jauh. Cuaca panas, suasana perjalanan yang membosankan karena relative flat dan membelah hutan sawit, tampaknya mempercepat penurunan kondisi Emil. Tapi walaupun demikian perjalanan menuju Malili tetap relative cepat. Jam 16,00 kami sudah masuk kota Malili. Di luar dugaan, teman-teman komunitas sepeda di Malili menjemput kami di batas kota. Mereka rata-rata masih berseragam kantor, menandakan mereka membelakan waktu mereka hanya untuk menyambut kami. Rasa haru dan senang berbaur di hati menerima sambutan seperti ini. Minuman dingin sudah mereka siapkan untuk kami. Luar biasa memang teman-teman sepanjang perjalanan Celebes ini. Jangan menilai mereka dari cara mereka berbicara, karena cara bicara mereka memang cenderung keras untuk kita yang dari tanah Jawa. Tapi hati mereka sangat ramah dan baik. Ini yang membuat saya selalu cinta tanah Celebes. Mudah-mudahan ini tidak tergerus oleh jaman.

            Malam itu kami menginap di penginapan milik salah satu anggota komunitas sepeda Malili, Verbeck nama komunitasnya. Sepanjang jam tak berhenti gelombang rekan-rekan lain lagi yang datang untuk bertemu dengan kami. Sampai malam bahkan, masih saja ada yang datang untuk menemui kami. Tidak banyak perubahan di kondisi fisik kota Malili dibandingkan terakhir saya ke sini di tahun 2006. Tetap merupakan kota pelabuhan kecil yang sepi tapi nyaman. Hujan gerimis panjang, menemani istirahat kami malam itu.

            Dan hari terakhirpun tiba. Selepas subuh saya dan Emil mulai mengayuh sepeda membelah kota Malili menuju Sorowako, ditemani hujan gerimis yang masih saja mengguyur kota Malili. Etape terakhir ini paling pendek di bandingkan perjalanan kami di hari-hari sebelumnya. Hanya 55 km, tapi full tanjakan. Karena kota Malili yang di pinggir laut, sementara Sorowako adalah daerah pegunungan. Setengah jam kami mengayuh sepeda, suasana daerah pertambangan mulai terasa. Kondisi jalan dan marka-marka jalan khas pertambangan mulai menjadi pemandangan kami. Berbagai jenis kendaraan berat milik PT Vale juga berkali-kali berpapasan atau melewati kami. Selintas, berbagai memori ketika saya bekerja disana kembali menguasai pikiran. Ini memang daerah yang ngangeni kalo kata orang Jawa. Pemandangan luar biasa kami temui sepanjang perjalanan menuju Sorowako. Mulai dari danau buatan untuk PLTA sampai air terjun kecil di pinggir jalan. Pemandangan alam yang “mahal”. Belum tentu rasa yang sama akan kami dapatkan jika kami melewati jalur ini dengan bermobil.

            Jam 12.00 siang kami memasuki kota Wasuponda. Disini kami mencari makan siang sekalian saya mencoba menghubungi Asmar, teman kuliah yang sekarang bekerja di PT Vale dan tinggal di Wasuponda. Sayang Asmar sedang di kantor, jadi kami belum bisa bertemu saat itu. Saya juga menghubungi Chief Anto. Nah yang satu ini adalah mantan Bos saya ketika kerja di PT Vale. Begitu saya kasih tau kalo sudah di Wasuponda, chief Anto kaget, karena dia gak menyangka saya benar-benar akan bersepeda dari Makasar sampai Sorowako. Dia berpesan untuk segera kasih kabar begitu masuk Sorowako. Makan siang kami cukup nikmat. Ikan bakar nan lezat kembali bisa kami nikmati. Membayar kesulitan makan kami sepanjang Masamba.

            Karakter jalan Wasuponda-Sorowako dahsyat. Tanjakan makin terjal dan tajam. Gir paling ringan di sepeda kami gunakan. Kayuhan pelan terus dilakukan. Dan tetap hanya mampu beberapa kayuhan harus istirahat kembali. Lucu sebenarnya kalo kita memperhatikan ekspresi dari para pengendara kendaraan bermotor yang melewati kami. Hampir semua pasti menengok dan melihat kami dengan pandangan “melongo”. Seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mungkin di benak mereka bilang kalo kami gila. Sebagai informasi, memang di kawasan ini sudah banyak komunitas bersepeda. Tapi belum banyak yang melakukan touring jarak jauh seperti yang kami lakukan. Sebelum kami, hanya chief Anto dan keponakannya yang sudah menjajal rute yang sama seperti yang kami lalui. Saya masih hapal benar dengan jalan ini. Bahakan masih ingat beberapa spot yang memiliki tanjakan cukup berat. Menjelang masuk kota Sorowako, saya ingat akan kita temui satu tanjakan tajam yang sangat panjang. Maka sebelum sampai di tanjakan itu saya mengajak Emil utnuk istirahat di sebuah warung minuman dingin. Toh ternyata kami jauh lebih cepat dari target waktu yang kami rencanakan. Disini kami benar-benar melepas lelah, istirahat cukup panjang. Mengumpulkan tenaga untuk tanjakan pamungkas memasuki kota tambang Sorowako.

            Kehadiran kami ternyata kembali mengundang ketertarikan penduduk sekitar. Anak-anak kecil menegrumini sepeda kami, sementara ada beberapa bapak yang mengajak kami mengobrol. Menannyakan perjalanan kami menuju Sorowako. Tiba-tiba dari kejauhan ada sebuh mobil yang cukup saya kenal, mendekat ke warung tersebut dari arah Sorowako. Gak salah itu adalah mobil dinas Chief Anto, dengan warna hijau khas departemen Fire and Emergency Services. Ternyata dia gak sabar untuk bertemu saya dan Emil. Sambil geleng-geleng kepala dia menyalami kami saat itu. Pertemuan yang singkat karena dia harus kembali bertugas. Sebelum pergi dia mengajak kami malam itu makan malam bersama dengan beberapa rekan FES dan teman lain di PT Vale. Wah-wah, dalam hati saya dan mungkin juga Emil, ini kesempatan balas dendam makan nih. Memperbaiki gizi makanan yang kami konsumsi.

            Setelah merasa tenaga sudah pulih, kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh, tanjakan yang kami tunggu pun menanti di depan mata. Kembali saya istirahat di ujung jalan sebelum menanjak sambil mengambil foto Emil yang langsung melahap tanjakan panjang itu. Dan sayapun mulai mengayuh pelan melahap tanjakan terakhir ini. Pelan tapi pasti, akhirnya saya sampai di ujung tanjakan. Marka jalan yang menunjukkan Sorowako menyambut kami. Plant Site lokasi tambang nikel PT Inco pun sudah terlihat di depan kami. Gak bisa kami sembunyikan rasa senang di hati, karena setelah berhari-hari, kami akhirnya sampai di tujuan. Setelah ini jalan hanya turun terus sampai masuk di kota Sorowako. Kota surga di tepian danau Matano. Sesampai di Sorowako jam masih menunjukkan jam 16,00. Saya mengajak Emil untuk keliling kompleks pemukiman karyawan PT Vale dulu. Mengenang masa-masa tinggal di Jalan Sulawesi. Melihat rumah yang dulu saya tempati, yang kinipun kondisinya masih kosong tanpa penghuni. Setelah itu saya antar Emil untuk menikmati panorama danau Matano. Landmark Sorowako. Salah satu danau terindah yang pernah saya jumpai. Termasuk salah satu danau terdalam di dunia dan salah satu danau purba yang ada di Indonesia. Pemandangan yang luar biasa. Dan perjalanan Makasar-Sorowako pun kami akhiri di tepian danau Matano.
         
Saya sadar bahwa mungkin secara jarak ini bukan apa-apa dibandingkan dengan rekan-rekan peturing lainnya. Tapi pengalaman yang kami dapatkan sepanjang perjalanan, menjadi ilmu sangat mahal yang kami dapatkan. Dan kami pun menyatakan dalam hati, bahwa ini adalah bukan yang terakhir, tetapi merupakan langkah awal kami untuk perjalanan berikutnya. Bukan jarak dan kecepatan yang kami cari, tetapi pelajaran hidup dan rasa mensyukuri rejeki Allah yang kami cari. Ya jalan masih panjang di hadapan kami untuk di jelajahi kembali…..

             

4 comments: