Hari
itu, hari Kamis di akhir April 2012. Selepas subuh, saya dan Emil menuju
bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng untuk berangkat ke Makasar dengan
penerbangan pertama. Segala rasa bercampur sudah sejak seminggu sebelum
keberangkatan ini. Bahkan malam sebelum berangkat mata tidak bisa terpejam.
Rasa over excited menguasai diri ini. Maklum perjalanan bike trip kali ini akan
menjadi perjalanan panjang, lebih dari 2 hari, pertama bagi saya dan Emil.
Hampir 600 km jarak antara Makasar dan Sorowako akan kami tempuh. Segala
persiapan, mulai dari peralatan, kesiapan sepeda, plotting jalur di peta,
hingga mencari kontak di sepanjang perjalanan untuk keperluan emergency pun
telah kami selesaikan. Di atas ketas perjalanan ini akan lancar tanpa halangan,
hanya kuasa Allah yang tidak mungkin dapat kami elakkan.
Tapi
rencana hanya sebatas rencana di atas kertas. Kendala pertama langsung
menghadang. Sepeda berikut perlengkapannya yang setahu kami masuk dalam sport
equipment dan tidak terkena bagasi, ternyata dihitung. Over baggage gila-gilaan
harus kami tanggung saat itu. Segala upaya negosiasi kami lakukan tapi tak
berhasil. Tak kurang dari 1 juta rupiah terpaksa di keluarkan hanya untuk
membayar over baggage. Saya dan Emil hanya bisa berdoa semoga awal tak baik ini
justru merupakan awal dari perjalanan yang menyenangkan. Hati dongkol pun
terpaksa kami simpan jauh-jauh. Segala obrolan canda kami buat untuk melupakan
kejadian tadi. Beruntung pesawat tidak terlambat, berangkat tepat pada
waktunya. Sepanjang perjalanan, kami gunakan untuk tidur, membayar hutang
istirahat semalam sebelumnya.
Saya
terbangun tepat ketika pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi melakuakn
p[ersiapan untuk pendaratan. Badan terasa begitu segar. Tidur pendek tapi
pulas, membuat kekuarangan tidur semalam terbayar sudah. Seperti biasa pesawat
ini mendarat dengan halus, dan akhirnya saya kembali ke tanah Celebes .
Setelah enam tahun yang lalu terakhir kali saya meninggalkan pulau nan indah
dan eksotis ini. Bandara Sultan Hassanudin sangat jauh berubah. Saat ini
bandara Hassanudin mungkin merupakan salah satu bandara terbaik di Indonesia .
Mata ini bagai tak percaya melihat perubahan yang ada di sana . Sulit di wakili oleh kata-kata yang
tepat untuk menunjukkan kekaguman saya terhadap perubahan yang terjadi.
Sambil
menunggu bagasi kami yang lumayan banyak, sahabat saya dari PT Vale, Imran,
yang kebetulan sedang di Makasar bertepatan dengan kedatangan kami, menelpon.
Ternyata dia menjemput kami di bandara. Wah ini adalah kejutan pertama dalam
perjalanan kami di tanah Celebes . Yang ada
dalam benak saya saat itu, lumayan untuk menghemat biaya transportasi kami
selama di Makasar. Kangen juga saya dengan sahabat saya yang satu itu. Saya dan
Imran sama-sama bekerja di Fire and Emergency Service PT Vale pada tahun 2006.
Sejak itu sesekali kami masih ketemu jika Imran bertugas di Jakarta atau hanya sekedar menjalin
komunikasi melalui BBM pun terus kami jalin. Dari bandara, Imran mengantar kami
menuju Rodalink untuk men-setup sepeda kami, untuk bisa siap digunakan dalam
touring menuju Sorowako esok harinya. Setelah dari Rodalink, kami menuju
penginapan dekat pantai Losari. Sebelum meninggalkan kami untuk istirahat,
Imran mengabarkan kalau nanti malam kami akan di jemput oleh teman-teman bike 2
work chapter Makasar. Wah-wah senang sekali perasaan kami, karena tidak ada
yang lebih indah dalam perjalanan selain menambah teman dan saudara. Dan Imran
pun pergi setelah kami janjian lagi untuk ketemu di Sorowako.
Nah,
perut lapar di siang hari pun mengalahkan rasa lelah kami. Saya dan Emil
memutuskan untuk mencari makan siang di sekitaran penginapan. Tidak sulit bagi
kami menemukan tempat makan. Hanya berjarak 100 meter dari penginapan, berjajar
tempat-tempat makan khas Makasar yang didominasi dengan menu makanan laut. Kalap
juga melihat ikan, cumi dan makanan laut lainnya yang tentunya sangat menggugah
selera. Dan pastinya dengan harga yang lebih murah di bandingkan dengan harga
makanan serupa di Jakarta .
Ya Makasar dan Sulawesi memang terkenal dengan
makanan lautnya yang luar biasa. Terbayang inilah kurang lebih yang akan kami
temukan hampir sepanjang perjalanan kami menuju Sorowako, mungkin kecuali di
daerah Toraja yang area pegunungan.
Selepas
tertidur di kamar yang dingin, berbeda dengan cuaca di luar yang super panas,
saya dan Emil menuju pantai Losari malam itu untuk bertemu dengan teman-teman
bike 2 work Makasar. Tante Titin menyambut kami dengan senyum. Bersama dia
ternyata sudah banyak juga om-om dan tante-tante yang juga ikut menyambut kami.
Perkenalan singkat pun terjadi, obrolan ngalur ngidul terjalin. Sungguh suasana
yang menyenangkan. Menghapus rasa kesal yang masih terselip tantang kasus
bagasi waktu keberangkatan dari Jakarta .
Pisang Epe, makanan khas Makasar, menemani perbincangan kami malam itu. Suasana
kekeluargaan timbul, menghilangkan kesan bahwa kami baru kenal beberapa menit
sebelumnya. Ini yang tidak berubah dari bumi Celebes ,
keramahan luar biasa dari masyarakatnya. Ini juga yang membuat saya selalu
kangen dan selalu ingin kembali lagi ke sini. Tak ingin kekurangan istirahat,
saya dan Emil pamitan untuk kembali lebih dulu ke penginapan. Maklum kami
berencana berangkat selepas subuh besok harinya.
Alarm
berbunyi menandakan kami sudah harus bersiap untuk berangkat menuju Pare-pare
sebagai kota
tajuan kami di hari pertama perjalanan ini. Kurang lebih 155 km harus kami
tempuh hari ini. Setelah menyiapkan sepeda dan menyelesaikan pembayaran
penginapan, saya dan Emil pun mulai menggowes sepeda dengan pelan menyusuri
aspal kota
Makasar. Satu jam perjalanan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung
sate yang kebetulan sudah buka di pagi itu. Perut terasa enak setelah kena
hangatnya kuah sop kambing. Tapi saya merasakan kondisi badan sedikit drop
terkena flu dadakan pagi itu. Wah, ini akan menjadi obstacle tersendiri dalam
perjalanan kami nantinya. Tapi saya berusaha untuk tidak memikirkan sakit flu
yang mulai mendera.
Perjalanan
kami lanjutkan. Pemandangan indah sepanjang perjalanan tak pernah lepas dari
mata lensa kamera yang kami bawa. Perjalanan santai tapi stabil terus berjalan.
Kecepatan rata-rata kami antara 15-20 km/jam. Karakter jalan di lintas
Makasar-Parepare mirip dengan Pantura Jawa. Jalan raya dekat laut, panas luar
biasa dan aspal rusak di sana-sini mendominasi etape hari ini. Tapi semua
sesuai dengan perhitungan yang kami buat. Tepat jam makan siang sekitar pukul
13,00 waktu Indonesia tengah
kami memasuki kota
Barru. Disini kami memanfaatkan untuk istirahat dan makan siang. Tak ada yang
istimewa dari kota
ini. Kota kecil di pinggir laut selat Sulawesi,
yang menjadi kota
singgah kendaraan-kendaraan pengangkut kebutuhan pokok untuk perdagangan. Cuaca
sangat panas ternyata berdampak tidak baik pada flu yang mendera tubuh saya.
Terasa badan semakin drop. Tapi saya bertekad harus menyelesaikan etape ini
sampai di parepare.
Kondisi
badan yang drop membuat perjalanan menuju Parepare malambat. Target yang kami
buat tak tercapai. Kami menargetkan sekitar sebelum maghrib sudah bisa masuk kota Parepare. Ternyata
kami baru bisa masuk kota
sekitar pukul 19,00. Dalam keadaan lelah, kami mencari penginapan. Peta yang
kami gunakan di GPS ternyata sudah tidak akurat. Sudah banyak nama jalan dan
penginapan yang berubah. Alhamdulillah kami bertemu dengan seorang tukang becak
yang baik hati, yang telah dengan tulus mengantarkan kami menuju penginapan.
Penginapan kecil, bangunan lama, tapi bersih, makanannya enak dan tentunya
murah. Yah suatu berkah bagi kami hari ini.
Menanggapi
kondisi badan saya yang drop, malam itu sebelum istirahat, saya dan Emil membuat
Plan B jika sampai besok kondisi badan saya masih jelek. Kami merencanakan jika
sampai bsk pagi badan saya tidak membaik, maka kami akan menyewa mobil bak
untuk mengevakuasi kami hingga Makale, kota
kecil pintu masuk kota
Toraja. Saya berkeras walaupun sedikit, harus dipaksakan untuk tetap bersepeda
untuk menjaga kondisi otot kami. Dan inipun kami sepakati malam itu. Setelah
makan malam yang lezat dan sebelum tidur, saya minum obat flu yang kami bawa
dari Jakarta .
Dan malam itu manjadi malam yang sangat nyaman untuk badan saya terutama dalam
tidur.
Sama
seperti sebelumnya, kami bangun tepat waktu subuh. Dan yang kami takutkan
terjadi. Badan saya masih drop, jadi plan B pun dilakukan. Kami akan men-skip kota Enrekang sebagai
target di hari ke dua. Dan langsung dengan mobil menuju Makale, dan dilanjutkan
dengan sepeda menuju Toraja. Emil langsung meminta bantuan petugas hotel untuk
membantu mencarikan kendaraan untuk kami. Sambil menunggu, saya dan Emil
menyiapkan barang-barang dan sarapan mengisi perut pagi itu. Sekitar jam 9
pagi, mobil yang kami sewa pun tiba. Kami langsung packing sepeda dan
barang-barang dalam bak mobil. Sepanjang perjalanan saya tidur terus, berusaha
untuk mengembalikan kondisi tubuh. Mobil sempat beristirahat di kawasan gunung
Nona di Enrekang tepatnya di kaki tebing Bambapuang, sebelum melanjutkan
perjalanan menuju Makale. Sekitar jam 13,00 akhirnya kami tiba di Makale. Sang
supir menurunkan kami di depan tempat makan di kota itu. Saya yang terus tidur sepanjang
perjalanan, merasa badan sudah jauh lebih baik kondisinya. Mudah-mudahan
setelah makan siang, badan ini akan semakin membaik.
Gak
disangka, ternyata pemilik rumah makan itu juga penggiat bersepeda di kota Makale. Sedikit
perbincanganpun terjalin antara kami dengan pemilik rumah makan dan beberapa
temannya. Sungguh perjalanan yang berkah untuk saya. Sekali lagi menambah teman
dan keluarga di tempat yang jauh dari rumah, luar biasa. Dari mereka kami
mendapatkan gambaran perjalanan Makale menuju Toraja sekaligus juga referensi
penginapan di Toraja nanti. Setelah saling bertukar alamat FB, kami pun
melanjutkan perjalanan. Sesuai harapan, selepas makan siang pun, badan saya
jauh membaik. Dan perjalanan menuju Toraja bisa dengan lancar kami tempuh. Jam
16,00 kami memasuki wilayah Tana Toraja. Saya dan Emil menyempatkan mampir ke
salah satu desa wisata disana. Namanya Kete Kesu. Kurang lebih sekitar 1 km masuk
ke dalam dari jalan utama. Desa tradisional dengan rumah adat dan pemakaman
keluarga di bibir tebing menjadi pemandangan kami disana. Sayang saat itu tidak
ada upacara adat pemakaman yang menjadi daya tarik Toraja selama ini.
Setalah
puas berkeliling Kete Kesu, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari
penginapan sesuai referensi kawan-kawan dari Makale. Hampir jam 18,00 akhirnya
kami sampai di penginapan. Sejauh ini sambutan masyarakat di sepanjang
perjalanan kami hingga di Toraja ini sangat luar biasa. Begitu juga di
penginapan di Toraja ini. Apalagi setelah mengetahui kami dari Jakarta dan menggunakan
sepeda dalam perjalanan kami. Ruangan khusus disiapkan untuk sepeda kami
parkir. Tak kurang dari manager hotel di malam itu, yang turun langsung
membantu kami. Beberapa tamu manca Negara juga sempat berbincang dengan kami
menanyakan pejalanan kami menuju Toraja. Setelah mandi dan bersih-bersih. Kami
mencari makan malam sekaligus juga mencari oleh-oleh khas Toraja. Seorang
keponakan dari teman lama yang tinggal di Toraja menjadi guide kami malam itu
di kota Toraja.
Sayang tidak bisa bertemu si kawan lama yang kebetulan hari itu justru sedang
di Jakarta .
Hari
ke tiga perjalanan kami adalah menuju kota
Masamba, melaui kota
Palopo. Target kami bisa makan siang di Palopo dan tiba di Masamba sebelum
maghrib. Perjalanan hari ini berat di sekitar 26 km pertama. 26 km pertama ini
karakter medannya adalah tanjakan panjang berkelok-kelok. Mengingatkan saya
akan kondisi puncak, jawa barat, ketika saya kecil dulu. Jalanan tidak lebar,
kanan-kiri hutan, jarak antar rumah penduduk jauh dipisahkan hutan dan
persawahan, dan juga tentunya kabut yang berulang kali turun menemani
perjalanan kami. Sesampai di ujung tanjakan panjang ini, medan
berikutnya adalah turunan panjang sekitar 40-an km menuju kota Palopo. Sesuai target, tepat jam makan
siang, kami tiba di Palopo. Agak sulit kami menemukan tempat makan yang baik di
jalur Palopo-Masamba. Akhirnya pilihan kami jatuhkan di warung gado-gado.
Jangan membayangkan gado-gado seperti di tanah betawi, sangat jauh tentu
rasanya dan tampilannya. Tapi tidak ada pilihan, kami harus mengisi perut kami
yang kosong. Menuju Masamba adalah perjalanan membosankan. Jalanan lurus dan
flat harus kami santap. Di tambah cuaca panas yang lagi lucu-lucunya.
Tepat
jam 16,00 kami memasuki kota
Masamba. Tempat penginapan yang di rekomendasikan oleh Imran langsung kami
tuju. Tepat di KM 0 kota Masamba dan di depan
kantor polisi kota
Masamba adalah letak dari hotel ini. Dari depan kondisi hotel sepertinya sangat
baik, tapi jangan di tanya bagaimana kondisi dalamnya. Sangat tidak layak.
Pendingin ruangan yang tidak berfungsi, kamar madi yang bocor airnya, aroma
kamar yang apek khas kamar lama kosong menjadi teman kami malam itu. Tapi
lelahnya badan setelah seharian bersepeda, membuat kami tidak lagi merasakan
kekurangan kondisi hotel ini. Rasa lelah membuat otak kami seolah enggan lagi
memikirkan yang jelek-jelek.
Di
kota Masamba
bukan hanya mencari penginapan layak yang menjadi obstacle tapi juga mencari
makanan layak. Dan masalah makanan, masih kami alami selama perjalanan di hari
ke empat, etape Masamba-Malili. Hanya ada orang berjualan gorengan dan ketan di
pagi hari itu. Tapi Alhamdulillah, si ibu penjual mau memberikan nasi yang
seharusnya di masak untuk keluarganya untuk kami. Dan disini keramahan luar
biasa kembali kami temui sepanjang perjalanan, selain si ibu penjual sarapan
tadi. Tak sedikit penduduk yang menyempatkan berhenti ketika melihat kami
istirahat, hanya untuk sekedar menemani mengobrol. Belum lagi si keluarga
petani rambutan yang sudah memberikan saungnya untuk tempat kami beristirahat
siang itu, ditemani rambutan hasil panen dan teh manis hangat. Sungguh luar
biasa. Suatu keramahan tanpa pamrih yang bahkan kita sudah sulit temui di tanah
Jawa apalagi Jakarta .
Cuaca panas menemani kami menembus jalan di atara hutan sawit sepanjang
Masamba-Malili.
Tapi
tanpa terasa, ternyata perjalanan di hari ke empat ini lebih cepat dari target
yang kami buat. Belum sampai jam 12,00 siang, kami sudah sampai di Wotu. Wotu
adalah persimpangan jalan antara menuju Poso di Sulawesi Tengah dan menuju
Malili atau Kendari. Disini banyak warung penjual makanan berjajar si sepanjang
pinggiran jalan. Tapi sayangnya tidak ada satupun kami jumpai yang menjual nasi
dan lauknya. Warung-warung tersebut hanya berjualan makanan ringan, minuman dan
indomie rebus. Gak punya pilihan, kami toh harus mengisi perut kami sebelum
melanjutkan perjalanan ke Malili. Akhirnya Indomie dua porsi pun saya dan Emil
santap. Hanya berdoa dalam hati, semoga ini cukup untuk booster tenaga kami
menuju Malili. Selagi makan siang, tiba-tiba handphone sayan berbunyi. Di layar
tampak nomer yang tidak saya kenal. Ternyata itu adalah telpon dari teman-teman
sepeda di kota
Malili. Imran ternyata sudah mengabari mereka kalo kami akan tiba di Malili.
Mereka menanyakan kami sudah di mana. Betapa terkejutnya mereka ketika saya
bilang ada di Wotu. Karena perkiraan mereka kami baru tiba di Malili sekitar
dua hari lagi. Yah normalnya memang, jika sesuai dengan rencana, kami baru akan
masuk Malili besoknya. Kami lebih cepat satu hari karena kami sempat “mencuri”
hari dalam perjalanan menuju Toraja saat saya sakit.
Selepas
makan dan melepas lelah, saya dan Emil pun melanjutkan perjalanan. Emil tampak
drop kondisinya. Dia terus tertinggal jauh. Cuaca panas, suasana perjalanan
yang membosankan karena relative flat dan membelah hutan sawit, tampaknya
mempercepat penurunan kondisi Emil. Tapi walaupun demikian perjalanan menuju
Malili tetap relative cepat. Jam 16,00 kami sudah masuk kota Malili. Di luar dugaan, teman-teman
komunitas sepeda di Malili menjemput kami di batas kota . Mereka rata-rata masih berseragam
kantor, menandakan mereka membelakan waktu mereka hanya untuk menyambut kami.
Rasa haru dan senang berbaur di hati menerima sambutan seperti ini. Minuman
dingin sudah mereka siapkan untuk kami. Luar biasa memang teman-teman sepanjang
perjalanan Celebes ini. Jangan menilai mereka
dari cara mereka berbicara, karena cara bicara mereka memang cenderung keras
untuk kita yang dari tanah Jawa. Tapi hati mereka sangat ramah dan baik. Ini
yang membuat saya selalu cinta tanah Celebes .
Mudah-mudahan ini tidak tergerus oleh jaman.
Malam
itu kami menginap di penginapan milik salah satu anggota komunitas sepeda
Malili, Verbeck nama komunitasnya. Sepanjang jam tak berhenti gelombang
rekan-rekan lain lagi yang datang untuk bertemu dengan kami. Sampai malam
bahkan, masih saja ada yang datang untuk menemui kami. Tidak banyak perubahan
di kondisi fisik kota
Malili dibandingkan terakhir saya ke sini di tahun 2006. Tetap merupakan kota pelabuhan kecil yang
sepi tapi nyaman. Hujan gerimis panjang, menemani istirahat kami malam itu.
Dan
hari terakhirpun tiba. Selepas subuh saya dan Emil mulai mengayuh sepeda
membelah kota Malili menuju Sorowako, ditemani
hujan gerimis yang masih saja mengguyur kota
Malili. Etape terakhir ini paling pendek di bandingkan perjalanan kami di
hari-hari sebelumnya. Hanya 55 km, tapi full tanjakan. Karena kota Malili yang di pinggir laut, sementara
Sorowako adalah daerah pegunungan. Setengah jam kami mengayuh sepeda, suasana
daerah pertambangan mulai terasa. Kondisi jalan dan marka-marka jalan khas
pertambangan mulai menjadi pemandangan kami. Berbagai jenis kendaraan berat
milik PT Vale juga berkali-kali berpapasan atau melewati kami. Selintas,
berbagai memori ketika saya bekerja disana kembali menguasai pikiran. Ini
memang daerah yang ngangeni kalo kata orang Jawa. Pemandangan luar biasa kami
temui sepanjang perjalanan menuju Sorowako. Mulai dari danau buatan untuk PLTA
sampai air terjun kecil di pinggir jalan. Pemandangan alam yang “mahal”. Belum
tentu rasa yang sama akan kami dapatkan jika kami melewati jalur ini dengan
bermobil.
Jam
12.00 siang kami memasuki kota
Wasuponda. Disini kami mencari makan siang sekalian saya mencoba menghubungi
Asmar, teman kuliah yang sekarang bekerja di PT Vale dan tinggal di Wasuponda.
Sayang Asmar sedang di kantor, jadi kami belum bisa bertemu saat itu. Saya juga
menghubungi Chief Anto. Nah yang satu ini adalah mantan Bos saya ketika kerja
di PT Vale. Begitu saya kasih tau kalo sudah di Wasuponda, chief Anto kaget,
karena dia gak menyangka saya benar-benar akan bersepeda dari Makasar sampai
Sorowako. Dia berpesan untuk segera kasih kabar begitu masuk Sorowako. Makan
siang kami cukup nikmat. Ikan bakar nan lezat kembali bisa kami nikmati.
Membayar kesulitan makan kami sepanjang Masamba.
Karakter
jalan Wasuponda-Sorowako dahsyat. Tanjakan makin terjal dan tajam. Gir paling
ringan di sepeda kami gunakan. Kayuhan pelan terus dilakukan. Dan tetap hanya
mampu beberapa kayuhan harus istirahat kembali. Lucu sebenarnya kalo kita
memperhatikan ekspresi dari para pengendara kendaraan bermotor yang melewati
kami. Hampir semua pasti menengok dan melihat kami dengan pandangan “melongo”.
Seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mungkin di benak mereka
bilang kalo kami gila. Sebagai informasi, memang di kawasan ini sudah banyak
komunitas bersepeda. Tapi belum banyak yang melakukan touring jarak jauh
seperti yang kami lakukan. Sebelum kami, hanya chief Anto dan keponakannya yang
sudah menjajal rute yang sama seperti yang kami lalui. Saya masih hapal benar
dengan jalan ini. Bahakan masih ingat beberapa spot yang memiliki tanjakan
cukup berat. Menjelang masuk kota
Sorowako, saya ingat akan kita temui satu tanjakan tajam yang sangat panjang.
Maka sebelum sampai di tanjakan itu saya mengajak Emil utnuk istirahat di
sebuah warung minuman dingin. Toh ternyata kami jauh lebih cepat dari target
waktu yang kami rencanakan. Disini kami benar-benar melepas lelah, istirahat
cukup panjang. Mengumpulkan tenaga untuk tanjakan pamungkas memasuki kota tambang Sorowako.
Kehadiran
kami ternyata kembali mengundang ketertarikan penduduk sekitar. Anak-anak kecil
menegrumini sepeda kami, sementara ada beberapa bapak yang mengajak kami
mengobrol. Menannyakan perjalanan kami menuju Sorowako. Tiba-tiba dari kejauhan
ada sebuh mobil yang cukup saya kenal, mendekat ke warung tersebut dari arah
Sorowako. Gak salah itu adalah mobil dinas Chief Anto, dengan warna hijau khas
departemen Fire and Emergency Services. Ternyata dia gak sabar untuk bertemu
saya dan Emil. Sambil geleng-geleng kepala dia menyalami kami saat itu.
Pertemuan yang singkat karena dia harus kembali bertugas. Sebelum pergi dia
mengajak kami malam itu makan malam bersama dengan beberapa rekan FES dan teman lain di PT Vale. Wah-wah, dalam hati saya
dan mungkin juga Emil, ini kesempatan balas dendam makan nih. Memperbaiki gizi
makanan yang kami konsumsi.
Setelah
merasa tenaga sudah pulih, kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh, tanjakan
yang kami tunggu pun menanti di depan mata. Kembali saya istirahat di ujung jalan
sebelum menanjak sambil mengambil foto Emil yang langsung melahap tanjakan
panjang itu. Dan sayapun mulai mengayuh pelan melahap tanjakan terakhir ini.
Pelan tapi pasti, akhirnya saya sampai di ujung tanjakan. Marka jalan yang
menunjukkan Sorowako menyambut kami. Plant Site lokasi tambang nikel PT Inco
pun sudah terlihat di depan kami. Gak bisa kami sembunyikan rasa senang di
hati, karena setelah berhari-hari, kami akhirnya sampai di tujuan. Setelah ini
jalan hanya turun terus sampai masuk di kota
Sorowako. Kota
surga di tepian danau Matano. Sesampai di Sorowako jam masih menunjukkan jam
16,00. Saya mengajak Emil untuk keliling kompleks pemukiman karyawan PT Vale
dulu. Mengenang masa-masa tinggal di Jalan Sulawesi .
Melihat rumah yang dulu saya tempati, yang kinipun kondisinya masih kosong
tanpa penghuni. Setelah itu saya antar Emil untuk menikmati panorama danau
Matano. Landmark Sorowako. Salah satu danau terindah yang pernah saya jumpai.
Termasuk salah satu danau terdalam di dunia dan salah satu danau purba yang ada
di Indonesia .
Pemandangan yang luar biasa. Dan perjalanan Makasar-Sorowako pun kami akhiri di
tepian danau Matano.
Saya sadar bahwa mungkin secara jarak ini bukan apa-apa dibandingkan dengan rekan-rekan peturing lainnya. Tapi pengalaman yang kami dapatkan sepanjang perjalanan, menjadi ilmu sangat mahal yang kami dapatkan. Dan kami pun menyatakan dalam hati, bahwa ini adalah bukan yang terakhir, tetapi merupakan langkah awal kami untuk perjalanan berikutnya. Bukan jarak dan kecepatan yang kami cari, tetapi pelajaran hidup dan rasa mensyukuri rejeki Allah yang kami cari. Ya jalan masih panjang di hadapan kami untuk di jelajahi kembali…..
wahh saya tinggal DI WOTU tuh gan :D
ReplyDeleteBagus banget ceritanya.. sampai terharu nih, baper..
ReplyDeleteMantap ceritanya
ReplyDeleteMantap gan, boleh di coba nih
ReplyDelete