Tidak pernah terbayang dalam benak saya selama ini untuk melakukan perjalanan bersepeda dengan jarak yang jauh. Apalagi sampai lebih dari satu hari alias harus pakai menginap di perjalanan. Perjalanan terjauh saya dengan bersepeda selama ini hanyalah Jakarta-Bogor PP dengan jarak kurang dari 200 km, itupun terkadang pulangnya saya menumpang KRL dari stasiun Bogor. Tapi entah apa yang ada di benak sayaa saat itu, ketika mengiyakan ajakan Asep untuk ikut touring ke Sawarna. Yang jaraknya dari
Dan
hari itu pun tiba. Sesuai dengan janjian sebelumnya, meeting point yang
disepakati adalah di rumah Iye di daerah Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ternyata
cukup banyak yang ikut dalam perjalanan ini. Di rumah Iye sudah ada Bayu, Devin
dan pak Mito .
Dari rumah Iye kita menuju rumah Odel di Tangerang dengan melalui BSD. Di
tengah perjalanan Asep pun bergabung. Perjalanan menuju Tangerang tentunya
tidak ada yang menarik selain kepadatan kendaraan dan jalanan yang berdebu juga
rusak disana sini. Setelah menjemput Odel di rumahnya, perjalanan pun kami
lanjutkan menuju Rangkas. Tidak jauh dari rumah Odel, kami sepakat untuk makan pagi
yang terlambat dulu di sebuah warung Warteg yang kami lalui.
Tidak
lama kami makan, sekedar menurunkan makanan, perjalananpun di lanjutkan.
Jalanan rusak cukup menyiksa dan menghambat perjalanan karena kecepatan tidak
bisa dipacu maksimal. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi terasa
sangat lama. Baru sekitar jam 15,00 rombongan kami sampai di kota Rangkas. Perut terasa sudah kosong lagi,
terkuras energi di jalanan rusak, berdebu dan panas matahari yang menyengat. Sebuah
warung yang lumayan lengkap kami temui. Lumayan cukup banyak pilihan menu untuk
mengisi perut kami yang kosong ini. Baru saja selesai makan dan bersiap
melanjutkan perjalanan, hujan deras mengguyur kota Rangkas. Dan ternyata hujannya cukup
awet. Dua jam sudah kami menunggu tidak ada tanda hujan berkurang. Akhirnya
kami putuskan untuk menginap di Rangkas malam itu. Karena cukup berbahaya jika
kita kemalaman di daerah Gunung Kencana nanti. Mencari-cari penginapan, belum
juga dapat yang sesuai. Tiba-tiba ibu warung menawari kami untuk meninap di
rumahnya. Wah Alhamdulillah kalo begitu. Tidak masalah untuk kami walaupun
hanya beralaskan matras, yang penting bisa beristirahat mala mini untuk
melanjutkan kembali perjalanan besok yang masih panjang menuju Sawarna. Melahap
tanjakan Gunung Kencana yang kabarnya aduhai.
Sekitar
jam 9 pagi esok harinya, selepas sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Asep
yang sudah berkali-kali ke Sawarna beada di depan sebagai penunjuk jalan.
Jalanan relative jauh lebih baik kondisinya dibandingkan jalan yang kemarin
kita lalui. Karakter jalannya mulai sedikit banyak menanjak. Awalnya saya piker
wajar karena seperti yang saya tahu dari Asep, kita akan menuju kawasan gunung
Kencana. Tapi setelah beberapa jam berjalan, Asep baru sadar kalo jalan yang
kami lalui ternyata berbeda dengan jalan yang biasa dia lalui. Wah bagai
mendapat jackpot kagetnya, kami membuang waktu berjam-jam untuk rute yang
ternyata salah. Untuk kembali lagi ke kota
Rangkas rasanya tidak mungkin. Akhirnya Asep memutuskan untuk memotong jalan
seperti arahan penduduk. Berjam-jam kami melalui jalan “potong” yang ternyata
merupakan jalanan yang belum selesai pembangunannya. Masih berbatu dan
bercampur tanah. Perjalanan pun saya rasakan semakin berat. Apalagi untuk saya
yang baru kali ini melakukan touring dengan sepeda.
Keuntungan
dari “nyasar” ini, kami menemukan pemandangan yang cukup indah. Tidak seperti
jalur normal yang biasa saja, khas daerah pinggiran Banten. Berjam-jam kami
lalui jalanan setengah jadi ini sebelum akhirnya kami menemukan kembali jalan
yang sebenarnya menuju Gunung Kencana. Perjalanan menanjak yang sebenarnya pun
saya lalui. Jalanan aspal cukup halus membelah perkebunan sawit Gunung Kencana.
Cuaca sangat panas. Perbaikan jalan sedang berjalan di beberapa titik yang kami
lalui. Makan siang hari ini lumayan membangkitkan selera. Tanpa sengaja kami
menemukan warung kecil yang menjual satay maranggi. Lumayan mengenyangkan,
mengisi perut yang terkuras menghadapi tanjakan Gunung Kencana, yang seperti
Asep bilang memang aduhai.
Rombongan
sudah terpecah, tidak lagi berjalan berdekatan seperti sebelumnya. Kemampuan
fisik dan pengalaman berjalan panjang terlihat sangat berpengaruh. Saya sudah
tidak peduli lagi dengan siapa yang ada dimana, yang ada dipikiran saya cuma
bagaimana bisa mencapai Malimping, kota
kecil sebelum masuk daerah Sawarna. Sial memang tidak bisa di duga. Tas Pannier
yang baru saja saya beli di Rodalink, jebol sangkutannya ke rack. Baut
pengikatnya hilang pula. Tidak lama, tiba-tiba sebuah angkot berhenti. Di
dalamnya ada Iye dan Bayu yang menawari saya ikut naik angkot dengan mereka
menuju Malimping. Tak berpikir dua kali, saya iyakan ajakan itu. Pikiran
terlanjur kesal dengan pannier bag yang jebol. Angkot yang kami tumpangi sampai
di Malimping pukul 16,00. Sambil menunggu teman-teman yang lain, saya langsung
berusaha memperbaiki pannier bag. Untungnya, saya punya cadangan baut yang saya
simpan di tools box. Tidak lama pak Mito ,
Devin dan Odel datang dan kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Sawarna.
Hari
semakin gelap dan hujan gerimis sudah mulai mengguyur membasahi perjalanan
kami. Kami memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan di pinggir jalan
sambil menunggu Asep. Beragam pesanan untuk mengisi perut yang kosong
dilayangkan ke pemilik warung. Sambil makan, candaan pun mengalir dari mulut
teman-teman. Apalagi setelah Asep tidak lama kemudian sampai juga di warung
itu. Hal lucu terjadi ketika kita membayar makan. Apapun makanannya, mulai dari
Indomie sampai nasi Ayam, harganya sama. Tentu saja hal itu membuat dongkol
kami yang hanya memesan indomie. Bukan marah yang keluar dari mulut kami, tapi
malah tawa yang berderai.
Asep
sebagai yang sudah tahu jalur berpesan kepada kami tentang perjalanan menuju
Sawarna. Perjalanan malam tentunya berbeda dengan perjalanan siang. Kami
diminta untuk saling menjaga jarak tidak lagi berjauhan seperti di Gunung
Kencana. Jalur yang akan kami lalui berikutnya akan didominasi dengan jalan
aspal halus di tengah hutan. Cuaca setelah hujan menimbulkan kabut tipis yang
menghalangi pandangan di tengah hutan itu. Kayuhan pelan tapi pasti terus kami
lakukan. Perjalanan naik turun, rolling menuju Sawarna. Cahaya lampu sepeda
kami tak mampu menembus kabut yang terus ada tak mau menyingkap. Tibalah kami
akhirnya di sebuah warung yang sudah tutup. Desiran angina laut akhirnya kami
rasakan. Di kejauhan di bawah sana
terlihat samar lampu-lampu dari rumah pedesaan. Yah akhirnya kami sampai di
desa Sawarna. Hampir jam 24,00 kami tiba di rumah kang Hendi. Tempat kami
menumpang menginap selkama di desa Sawarna. Dua buah saung telah disiapkan bagi
kami untuk menginap. Rasa lelah membuat kami tak banyak ngobrol malam itu.
Dalam sekejap, semua sudah terbuai dalam mimpi masing-masing.
Pagi
harinya, akhirnya saya baru bisa menikmati keindahan Sawarna seperti yang
selama ini saya dengar dari Asep. Pantai yang bersih dengan garis pantainya
yang panjang, tebing Tanjung Layar yang gagah menantang, dan masih banyak
tempat lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu keindahannya. Belum lagi
makanan lautnya yang berlimpah dan murah tentunya. Semua itu membuat kami betah
belum mau melanjutkan perjalanan yang seharusnya dilanjutkan menuju Sukabumi
hari itu. Kami sepakat untuk melupakan ke Sukabumi, kami extend menginap di
Sawarna. Belum puas mata ini rasanya menikmati satu lagi keindahan lukisan
Allah di muka bumi.
No comments:
Post a Comment